Wawancara Eksklusif
Wawancara Eksklusif Peneliti Senior BRIN Prof Siti Zuhro: Kalau Tidak Masuk Angin Tiga Capres
Peniliti Senior BRIN Prof Siti Zuhro mengatakan kandidat pemilu Pilpres 2024 masih sulit untuk ditebak.
POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Peniliti Senior BRIN ( Badan Riset dan Inovasi Nasional ) Prof Siti Zuhro mengatakan kandidat Pilpres 2024 masih sulit untuk ditebak.
Menurutnya, sebelum 25 November 2023 tidak ada yang pasti apakah tiga calon atau tambah dan bahkan bekurang menjadi dua calon.
“Kalau melihat sekarang ini tidak masuk angin tiga poros. Tiga pasangan calon gitu ya,” kata Siti saat Wawancara Eksklusif di kantor Tribun Network, Palmerah, Jakarta Pusat, Kamis 24 Agustus 2023.
Bukan hanya peneliti di Indonesia yang sulit menebak dinamika ini juga dirasakan Indonesianis (tokoh asing tertarik meneliti politik Indonesia) pun masih gamang memprediksi soal kandidat capres dan cawapres di tanah air.
“Indonesianis yang ada di Australia yang saya tahu mereka bilang very unpredictable. Karena ya tadi itu tiba pemilu ya tiba akal. Itu artinya memang istilahnya sangat kontekstual,” ungkap Prof Siti Zuhro.
Calon presiden dan wakil presiden tidak dapat diprediksi secara pasti hingga tiba hari Selasa (25/11/2023) di mana batas akhir pendaftaran peserta pemilu presiden 2024 di Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
Lanjutan Wawancara Eksklusif Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan Prof Siti Zuhro:
Melihat kondisi sekarang perkiraan di 14 Februari 2024 yang akan maju berapa pasang?
Kalau melihat sekarang ini tidak masuk angin tiga poros. Tiga pasangan calon gitu ya.
Ada leading partynya PDI Perjuangan. Leading party Gerindra dengan koaliasi yang rencananya besar. Lalu koalisi Perubahan leading partynya NasDem.
Apakah ini bisa lanjut sampai 14 Februari. Kalau bisa lanjut bagaimana kompetisinya untuk saat ini ya kita tidak bisa menyimpulkan. Mendadak besoknya berubah. Lho susah.
Bahkan Indonesianis yang ada di Australia yang saya tahu mereka bilang very unpredictable. Karena ya tadi itu tiba pemilu ya tiba akal. Itu artinya memang istilahnya sangat kontekstual.
Jadi momentumnya digunakan sedemikian rupa. Itu silih berganti, cair terus menerus. Sambil kita menunggu kan kepastian itu 19 Oktober sampai 25 November 2023, pendaftaran capres dan cawapres. Tanggal 25 November baru kita tahu apakah benar tiga calon atau tambah dan bekurang menjadi dua calon.
Kontestasi pilpres di Indonesia masih diikuti peserta partai politik, menurut Anda memungkinkan calon independen tanpa dicalonkan partai?
Satu partai politik ini dipayungi oleh konstitusi jadi kalau istilahnya independen harus ada amandemen partai politik dan gabungan partai politik yang mengusung capres/cawapres.
Maka kalau ada calon independen harus di independen. Kedua berdasarkan pengalaman empirik selama ini 2007 kalau nggak salah ketika muncul pencalonan independen pilkada. Yang muncul itu hanya hitungan jari. Yang saya hitung 8 perseorangan tapi endingnya calon perseorangan itu masuk ke parpol.
Kerepotan dia melakukan pola relasi dengan DPRD. Jadi saya hanya ngomong empiirik. Kalau persyarakat sebagai calon independen luar biasa susahnya. Ingat Faisal Basri waktu ikut Pilkada DKi saya sudah kurang apa mengetes supaya calon independen itu oke.
Ngumpulin KTP itu nggak bisa, jadi memang dibikin serumit mungkin untuk calon independen. Ini lagi-lagi siapa yang merumuskan undang-undang ya partai politik di DPR dan eksekutif bagian dari partai politik juga.
Secara empirik tidak mudah bagi calon indpenden ikut dalam pilkada. Apalagi ikut pilpres ke berapa titik itu, mumet yang punya mesin partai saja mumet terlebih yang individu.
Itu jadi bagus kalau ada warga negara yang memenuhi kualifikasi lalu partai politiknya mau mengusung meskipun belum tentu dia mau masuk partai. Komitmennya seperti apa kita nggak tahu.
Banyak pendapat kritis kalau partai politik ini kayak perusahaan keluarga. Sosoknya ada di ketua umum, apakah pendapat itu beralasan?
Pembangunan partai politik kota ini yang mesti didorong regenerasikan kurang cepat juga. Kalau saya melihat tidak sekedar pilar tetapi rumahnya demokrasi.
Bukan seperti sekarang ini partai politik kita justru melahirkan poltik dinasti. Calon dari keluarga dinasti ada ratusan bahkan ada yang istri pertama dan kedua. Ada yang lanjut ke anaknya, cucunya semuanya dicalonkan.
Dia membangun pohon kekerabatan yang luar biasa. Tadinya politik dinasti itu di Banten, namun kemudian juga terjadi di Bone. Saya melihat belakangan malah di Kediri. Hampir di setiap daerah.
Yang kita prihatin suksesi di partai politik. Tidak lagi berkompetisi jadi dibikin tunggal. Dalam sejarah juga pernah kubur hidup-hidup partai politik saking capeknya melihat parpol yang bukan dinamis lagi tapi gaduh melulu.
Mungkin ini yangl kita sebetulnya tidak menunjukkan legacy sejak awal membangun partai. Partai politik kita meletakkan ketua umum berlebihan.
Menurut Prof Siti ketua umum partai politik kita berlebihan ya?
Iya kayak suatu yang untouchable. Sehingga yang terjadi membangun dinasti. Itu yang mungkin perlu diperbaiki.
Kalau partainya sudah menjadi sebagai jantung demokrasi. Jangan pernah kita itu mengharapkan DPR RI, DPRD, legislatif dan yudikatif kita bagus
Di Republik kita ada rule of the game yang disebut presidential threshold 20 persen sehingga memaksa parpol harus berkoalisi. Menurut Anda masih perlu tidak aturan itu?
Kebetulan memang LIPI pada waktu itu melakukan penelitian tentang pemilu presidential threshold bagaimana menjelaskan memperkuat pelaksanaan sistem multi partai ekstrem.
Ini akan terus menjadi tantangan hambatan bagi Indonesia ketika partai-partai tidak berkoaliasi, tidak berkoalisi secara terformat dan terukur. Jadi acak mereka gitu kan.
Padahal partai mayoritas seperti PDI Perjuangan hasilnya cuma kurang dari 25 persen jauh. Asumsi-asumsi tadi itu nggak terjadi. Ini memang yang memberatkan Indonesia.
Dengan pemilu serentak seharusnya ambang batas seharusnya menjadi tidak ada karena ambang batas hanya untuk pemilu legislatif. Parlementary threshold tetap penting tetapi presidential threshold tidak perlu.
Idealnya pemilu presiden itu didahulukan baru pemilu legislatif. Kayak di Thailand begitu. Di Indonesia tidak, lama sekali mengatakan kita sistem presidential tapi pemilu legislatifnya duluan.
Ketika serentak maka apa dasarnya pilpres itu harus berdasarkan hasil pemilu yang lalu yakni presidential threshold. Itu sudsh diargumentsikan oleh pakar hukum tetapi tidak digubris.
Yang terjadi ini mungkin kekhilafan dari DPR waktu itu ketuk palu tidak ada revisi UU Pemilu maka di tengah jalan kita sudah menapaki pemilu 2024 dan munculnya judicial review tentang proposional terbuka dan terturup. Lalu soal umur, ini pilkadanya seperti apa, pelantikannya berlama-lama. Itu pasti silang sengkarut di daerah.
Ini semua kita itu memaksakan kehendak. Parpol besar tidak cukup antisipatif dan visioner melihat pemilu yang akan datang jauh lebih kompleks.
Ini yang kita sayangkan maka ke depan media-media harus lebih vokal lagi kalau memang pemilu kita masih berkomitmen dalam demokrasi. (tribun network/reynas abdila)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.