Breaking News

KKB Papua

TNI AU Punya Kospagat dan GFAC, Pendekatan Alternatif Menumpas KKB Papua

DALAM beberapa bulan terakhir, publik dihebohkan berbagai aksi yang dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua.

Editor: Frans Krowin
POS-KUPANG.COM/kolase foto
PENDEKATAN ALTERNATIF : Sampai saat ini pilot Susi Air, Philips Mark Merthens masih disandera oleh KKB Papua pimpinan Egianus Kogoya. Meski sudah lima bulan berlalu, tapi sampai saat ini belum ada tanda-tanda kalau pilot tersebut akan segera dilepas oleh Kelompok Kriminal Bersenjata. 

POS-KUPANG.COM - DALAM beberapa bulan terakhir, publik dihebohkan berbagai aksi yang dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua. Saat ini, kelompok yang dipimpin Egianus Kogoya tersebut melakukan penyanderaan terhadap salah satu pilot berkebangsaan Selandia Baru, yaitu Capt. Philip Mark Mehrtens sejak 7 Februari 2023 lalu.

Pada 7 Juli 2023 lalu, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pemerintah tidak tinggal diam dan terus melakukan berbagai upaya dalam rangka membebaskan pilot maskapai Susi Air tersebut.

Setidaknya, terdapat dua pendekatan yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam menghadapi KKB Papua hingga saat ini.
Pendekatan pertama terkait resolusi konflik di Papua adalah melalui jalan damai. Hal tersebut dilakukan dengan menegosiasikan uang tebusan demi membebaskan sandera serta membuka ruang dialog dengan pimpinan kelompok tersebut.

Pendekatan kedua adalah melalui jalur koersif. Aparat TNI dan Polri dikerahkan agar Papua kondusif serta melindungi masyarakat di wilayah Papua dari aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh KKB.

Sebagai alternatif dalam pendekatan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan resolusi konflik di Papua, TNI AU tentunya memiliki peran yang dapat dijadikan sebagai ujung tombak dalam menghalau berbagai aksi kekerasan serta menghancurkan berbagai titik penting operasi KKB di Papua.

Sebagaimana dilansir Pos-Kupang.Com dari Kompas.com, terkait hal ini, Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) sebagai salah satu Kotama Pembinaan TNI AU memiliki kemampuan potensial yang dapat dimanfaatkan guna meraih tujuan tersebut, melalui kapabilitas Ground Forward Air Control (GFAC) yang dimilikinya.

GFAC dilaksanakan untuk mendukung misi-misi seperti Close Air Support dan Air Interdiction yang dilaksanakan oleh TNI AU.
Mengenai Ground Forward Air Control (GFAC) dalam melaksanakan misi Close Air Support (CAS) dan Air Interdiction (AI), Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) TNI AU memiliki kemampuan khusus yang disebut dengan Ground Forward Air Control (GFAC).

Menurut petunjuk teknis yang dimiliki oleh Kopasgat, GFAC adalah kemampuan untuk mencari, menganalisa, menginformasikan, mengarahkan dan mengoreksi perkenaan sasaran yang akan dihancurkan, baik oleh pesawat tempur maupun helikopter serbu/serang milik kawan, serta pesawat tanpa awak (UCAV/Unmanned Combat Aerial Vehicle) pada saat pelaksanaan CAS dan AI.

Hal ini dilakukan untuk menghancurkan atau melemahkan kekuatan potensial lawan dan melancarkan gerak maju pasukan kawan dalam pelaksanaan operasi.

Sebagai informasi, Close Air Support (CAS) adalah misi yang dilaksanakan oleh pesawat-pesawat fixed dan rotary wing kawan terhadap target kekuatan darat dan laut milik musuh, yang berada dalam jarak dekat dengan kekuatan darat kawan.

Misi ini dapat dikategorikan sebagai bantuan serangan udara dalam mendukung pasukan kawan serta menghancurkan titik-titik tertentu yang penting bagi musuh.

Sedangkan, Air Interdiction (AI) merupakan operasi udara yang dilaksanakan untuk mengalihkan, mengganggu, menunda, atau menghancurkan potensi militer musuh sebelum mencapai posisi kawan, atau sebelum dapat mengganggu objektif yang diinginkan oleh Pangkogab.

Operasi ini utamanya dilakukan untuk menganggu pergerakan pasukan musuh serta mengacaukan kekuatannya sebelum kekuatan darat kawan maju untuk menghadapi serangannya. Dalam beberapa kasus, penggunaan GFAC guna mendukung misi Close Air Support dan Air Interdiction dalam OMSP terbukti efektif dalam menghadapi berbagai kekuatan dari musuh non-militer.

Sebagai contoh pada 2015, Angkatan Bersenjata Pemerintah Meksiko melaksanakan OMSP berupa perlawanan menghadapi organisasi kartel narkoba di wilayah barat laut negara Amerika Latin tersebut, tepatnya di Kota Culiacán.

Pada saat itu, kota tersebut sedang dalam kondisi konflik mengerikan akibat ditangkapnya salah satu anak dari gembong narkoba kelas kakap bernama “El Chapo”.

Aktivitas kartel narkoba yang dipimpinnya bahkan membentuk organisasi paramiliter yang memiliki persenjataan, kendaraan tempur, dan kemampuan serang layaknya militer suatu negara atau kelompok pemberontak pada umumnya. Meskipun jenis pesawat yang digunakan dalam serangan udara dalam kasus tersebut tidak terlalu jelas, dalam video yang beredar, militer Meksiko teridentifikasi menggunakan pesawat serang ringan berjenis antara Beechcraft T-6C+ Texan II atau Pilatus PC-7.

Dalam kasus ini, pemerintah Indonesia telah memiliki pesawat yang berkemampuan serupa, yaitu EMB-314 Super Tucano.
Walaupun surveillance selama pelaksanaan serangan dalam kasus Meksiko juga dibantu oleh pesawat CN-235 dan Beechcraft King Air yang telah dimodifikasi khusus untuk pengintaian, kehadiran pasukan darat yang memiliki kemampuan GFAC memiliki peran penting dalam mengintegrasikan unsur-unsur tersebut.

Dalam kasus lainnya, Forward Air Controller juga banyak digunakan dalam masa perang dingin. Amerika Serikat diketahui telah menggunakan kemampuan ini dalam Perang Korea, Vietnam, dan Afghanistan, sehingga menjadikan konsep yang mengintegrasikan kemampuan darat dan udara tersebut menjadi battle-proven atau teruji efektivitas serangannya.

Meskipun memiliki potensi timbulnya collateral damage atau kerusakan pada target non-militer, target serangan dari CAS akan semakin presisi apabila dibantu tidak hanya lewat air surveillance, tetapi juga oleh pasukan darat yang memiliki kemampuan GFAC.

Mengapa efektif dalam kasus KKB di Papua? Penumpasan KKB di Papua diketahui memiliki beberapa kendala utama, salah satunya adalah faktor geografis.

Penggunaan drone/UAV maupun pesawat intai tentunya tidaklah cukup untuk mengetahui sejauh mana pergerakan KKB beraktivitas di sekitar wilayah konflik, karena wilayah tersebut merupakan pegunungan dan didominasi kawasan hutan.

Anggota KKB yang kerap kali berpindah dan berbaur dengan masyarakat lokal setempat juga menjadikan pergerakan mereka semakin sulit untuk diketahui.

Hal inilah yang menjadi alasan pentingnya pengimplementasian kemampuan GFAC dalam misi menumpas KKB di Papua.
Selain itu, penggunaan serangan udara dalam CAS dengan asistensi GFAC juga dapat mengacaukan kekuatan dan pergerakan musuh sebelum pasukan darat melakukan penyerangan.


Hal ini dapat meminimalkan korban dari pasukan lawan saat penyerangan darat dilakukan. Tidak seperti kasus di Meksiko di mana kelompok kartel narkoba bahkan mempunyai senjata antiserangan udara, KKB Papua diketahui tidak memiliki kemampuan maupun senjata yang dapat menyasar pesawat serang ringan.

Dalam pelaksanaan misi, personel yang memiliki kemampuan GFAC dapat diintegrasikan dengan pasukan darat matra lain yang bersifat mobile, sehingga dapat pula membantu apabila membutuhkan dukungan serangan udara dalam berbagai situasi dan kondisi.

Penggunaan GFAC sejatinya merupakan bentuk pemanfaatan air superiority atau keunggulan udara yang tentunya tidak dimiliki oleh kelompok KKB. Maka dari itu, penggunaan GFAC dapat dijadikan sebagai alternatif yang dapat dilakukan demi memberantas kelompok-kelompok kriminal bersenjata maupun gerakan separatis lainnya di Indonesia.

Baca juga: Bantah Minta Uang Rp 5 Miliar, KKB Papua: Kalau Tidak Merdeka, Kami Tidak Serahkan Pilot


TNI AU sebagai matra yang memiliki kemampuan tersebut, khususnya melibatkan personel Kopasgat, dapat menjadi ujung tombak potensial dalam melumpuhkan serta menyelesaikan berbagai aksi kekerasan yang dilakukan oleh KKB, demi terciptanya situasi yang kondusif dalam mengkonsolidasikan resolusi konflik di Papua. (Kompas.com/Editor Sandro Gatra)

Ikuti Pos-Kupang.Com di GOOGLE NEWS

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved