Wabah Antraks

Waspadai Antraks Dijadikan Senjata Biologis

antraks akhir-akhir ini jadi sorotan karena telah menimbulkan korban jiwa di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Editor: Alfons Nedabang
pertanian.go.id
Ilustrasi virus antraks. 

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - antraks akhir-akhir ini jadi sorotan karena telah menimbulkan korban jiwa di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kementerian Kesehatan ( Kemenkes ) menyebut jika kasus antraks hampir tiap tahun dilaporkan.

Terlebih lagi di wilayah Gunungkidul, spora antraks diketahui dapat bertahan lama bahkan hingga puluhan tahun. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi bahkan mengatakan antraks bisa dijadikan senjata biologis.

Mengingat dampaknya yang cukup cepat dan bisa mematikan. Apalagi untuk antraks yang bertipe pernapasan. Jenis antraks satu ini memiliki tingkat case fatality rate hingga 80 persen.

"Adanya antraks itu bisa menjadi bio- weapons (atau) senjata biologis. Mungkin teman-teman pernah dengar antraks bisa digunakan teroris untuk meneror suatu wilayah," ujarnya, Senin 10 Juli 2023.

Oleh karena itu, menurut dr Imran, kewaspadaan perlu ditingkatkan bersama. Terutama daerah-daerah endemis antraks. "Sehingga sekali lagi kami menyampaikan bahwa yang tadi masalah hewan mati itu jangan dikonsumsi. Itu sangat penting dipatuhi," ujarnya.

Baca juga: Wabah Antraks di Gunungkidul, 3 Orang Meninggal Dunia, 93 Dirawat di Rumah Sakit

Ada beberapa gejala antraks pada hewan yang mesti diwaspadai. Diantaranya berupa demam tinggi pada awal infeksi, gelisah, kesulitan bernapas, kejang, rebah, dan berujung kematian.

Gejala lain yang biasa terjadi seperti perdarahan di lubang hidung dan mulut hewan. Tidak jarang hewan ternak mengalami kematian mendadak tanpa menunjukkan gejala klinis.

Hewan yang mati akibat penyakit ini perlu dibakar atau dikubur untuk mencegah penularan. Tidak boleh dibedah atau disembelih untuk mencegah penularan.

Kendati demikian lanjut Imran, antraks merupakan penyakit zoonosis yang menular dari hewan ke manusia. Sehingga tidak menular dari manusia ke manusia.

"Karena penyakit ini memang zoonosis, artinya memang tidak perlu dilakukan karantina," ujarnya.

Meski tidak menular, Imran mengajak masyarakat untuk tetap menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Apalagi spora yang dihasilkan oleh bakteri bacillus anthracis penyebab antraks pada hewan ternak maupun manusia dapat bertahan selama lebih dari 40 tahun.

"Memang tidak menular dari orang ke orang. Tapi memang betul bahwa sporanya itu lama bisa bertahan. Jadi memang sekali lagi terkait dengan PHBS itu sangat penting," tegasnya.

Baca juga: Kemenkes Imbau Waspada Wabah Antraks, Hewan Ternak Disuntik Antibiotik

Direktur Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan), Dr drh Nuryani Zainuddin mengatakan tradisi brandu atau purak menjadi biang keladi penyakit antraks.

"Jadi memang ada tradisi di suatu wilayah di Gunungkidul, mereka mengkonsumsi dan membagi hewan yang sudah mati. Atau hewan yang sudah kelihatan sakit, kemudian mereka sembelih," ujarnya.

Seusai dipotong, daging diberikan secara gratis kepada tetangga-tetangga. Tradisi ini disebut sebagai tradisi brandu atau purak. Menurutnya, hal ini dapat meningkatkan faktor risiko terjadinya antraks.

Halaman
12
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved