Opini
Inkarnasi dan Ketergantungan Allah
SALAH satu momen penting dan amat menentukan dalam sejarah keselamatan umat manusia ialah peristiwa “Inkarnasi”
POS-KUPANG.COM - SALAH satu momen penting dan amat menentukan dalam sejarah keselamatan umat manusia ialah peristiwa “Inkarnasi”, saat di mana Allah mengenakan kodrat manusia melalui Perawan Suci Maria.
Katekismus Gereja Katolik no. 461 menjelaskan – dengan mengutip ungkapan Penginjil Yohanes “Firman telah menjadi manusia” (Yoh 1:14) – memahami “Inkarnasi” sebagai sebuah fakta di mana Allah mengenakan kodrat manusia dengan maksud untuk menggenapi keselamatan manusia di dalamnya.
Siapakah Maria sehingga ia pantas dipilih oleh Tuhan menjadi Ibunda Yesus (bdk. Luk 1:26-38)? Pilihan ini sejatinya memperlihatkan bahwa dalam dirinya terdapat suatu keistimewaan (privilege) yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Keibuan Maria: ‘Locus’Inkarnasi Allah Dalam risalahnya tentang Perawan Maria, mariolog Prancis René Laurentin (1917-2017) mengatakan bahwa Inkarnasi muncul dilatarbelakangi oleh hasrat Sang Ilahi untuk mendatangkan sukacita bagi makhluk yang paling dicintai.
Baginya, peristiwa pengambilan kodrat manusia ini adalah propter nos homines et propter nostram salutem, untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita bahwa Sang Sabda menjadi manusia. Dalam pengertian ini, apa yang menjadi keibuan ilahi (maternità divina) Maria muncul sebagai sarana bagi Allah dalam mewujudkan rencana keselamatan.
Allah menghendakinya, seperti kata Laurentin, itu terjadi oleh karena “Sang Sabda” lebih suka dilahirkan oleh seorang wanita (bdk. Gal 4:4), daripada turun dari surga dengan tubuh dewasa, dibentuk oleh tangan Allah (bdk. Kej 2:7).
Baginya, Allah ingin menyelamatkan manusia dari dalam, yakni memakai salah seorang darinya dan dengan demikian penyelamatan itu tidak dilemparkan “dari atas”, melainkan ditarik dari dalam garis keturunannya sendiri.
Atau seperti kata Santo Louis Marie Grignion de Montfort (1673-1716), Allah justru mau memakai manusia, yakni Perawan Maria sebagai sarana kedatangan-Nya ke tengah-tengah manusia dan bukan melalui jalan lain, meskipun sebagai Allah, Ia sanggup melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya.
Allah memilih Maria untuk mengosongkan diri, menyembunyikan kesemarakan-Nya dan meraja di sana. Montfort melihat penghampaan Yesus melalui Maria sebagai hal yang mengherankan.
Menurutnya, bagaimana mungkin Dia yang Mahatinggi, yang Tak Tertampung, Sang Tak Terhampiri, ”Dia-yang-ada” (Kel 3:14) mau datang kepada manusia, “cacing-cacing tanah yang tak ada apa-apanya” (bdk. BS 157). Yang Mahatinggi turun ke dalam dunia dengan cara yang sempurna dan ilahi melalui Maria yang rendah hati. Ia tetap meyakini bahwa pada peristiwa penjelmaan ini, Yesus tidak kehilangan ke-Allahan dan kekudusan-Nya.
Ia samasekali tak terbagi dan tak bercampur. “Teolog klasik” dan misionaris Apostolik ini melihat pula bahwa yang “Tak Tertampung” mau membiarkan diri-Nya ditampung sepenuhnya dan dilingkupi secara sempurna oleh Maria yang kecil, tanpa melepaskan sedikit pun kodrat-Nya sebagai Allah. Jadi, Ia mendekati manusia, mempersatukannya dengan diri-Nya secara sempurna dan malahan secara pribadi dengan kemanusiaan manusia. Berkenaan dengan ini, Montfort menulis: “Akhirnya, ”Dia-yang ada” mau datang kepada yang tiada, dengan maksud membuat yang tiada menjadi Allah atau ”Dia-yang ada”. Ia telah melaksanakan hal ini dengan cara yang paling sempurna, yaitu dengan menyerahkan dan menundukkan diri seutuhnya kepada perawan Maria yang masih remaja. Namun dalam kefanaan, Dia tidak berhenti menjadi ’Dia-yang-ada sepanjang segala abad’... .” (BS 157).
Maria dan “Kelemahan/Ketergantungan Allah”
Menurut Stefano de Fiores (1933-2012), mariolog montfortan Italia, salah satu perhatian utama terhadap Maria dalam perspektif kenosis telah ditunjukkan oleh seorang penulis Protestan, S. Benko. Akan tetapi jauh sebelumnya Santo Agustinus (353-430) telah berbicara tentang hal ini.
Ia menyebut Maria sebagai Bunda kelemahan Kristus (Maria madre della debolezza di Cristo) dalam konteks di mana ia melahirkan Allah dalam kondisi manusia. Bagi De Fiores, konteks di balik pernyataan ini berpusat pada sebutan tentang “orang tua Yesus”, Maria dan Yosef berdasarkan “kesetiaan perkawinan” mereka, sekalipun Yosef adalah seorang suami dan ayah dalam “roh” dan bukan dalam “daging”.
Agustinus mengatakan bahwa walaupun Yosef adalah seorang ayah dalam “roh” dan Maria, ibu menurut “daging”, keduanya adalah orang tua dari kerendahan hati-Nya bukan dari kebesaran-Nya. Mereka adalah orang tua dari kelemahan-Nya dan bukan keilahian-Nya. Namun, Agustinus melanjutkan bahwa setelah melahirkan Yesus tanpa campur tangannya (Yosef), tentu saja keduanya (Maria dan Yosef) tetap hidup sebagai sebuah pasangan bahkan tanpa adanya penyatuan daging.
De Fiores melihat bahwa sekalipun Maria melahirkan Putranya, yang diyakini kaum Kristiani sebagai Allah yang menjadi manusia, sebagai wanita sederhana pada zamannya ia tetap setia menjalani kehidupannya tanpa keistimewaan duniawi.
Ia justru hidup dalam situasi kemiskinan dan tanpa power dan pengaruh apa pun. Puncak dari pengalaman kenosis-nya ialah saat ia berada di bawah kaki salib Putranya di Kalvari (bdk. Yoh 19:25-27), di sana seperti ramalan Simeon, dia pun mengalami apa yang disebut dengan “pedang penderitaan” (bdk. Luk 2:33-35).
Gagasan tentang “kelemahan Allah” dalam konteks Inkarnasi di atas, dapat dilihat pula dalam refleksi teologis Montfort ketika ia berbicara tentang “Maria dan ketergantungan Allah” padanya. Yesus Kristus tidak hanya sekedar mengosongkan diri, tetapi dalam pengosongan-Nya itu, Ia menggantungkan diri-Nya secara total pada Maria.
Montfort tidak memakai kata kenosis untuk melukiskan hal ini, tetapi memahaminya dengan lebih menggunakan istilah dependence (ketergantungan). Ini menunjukkan “ketaatan” Yesus kepada Maria (BS 18, 261:1). Montfort melihat bahwa Allah yang menjelma mau bergantung kepada Maria. Ada beberapa alasan yang mendasarinya.
Pertama, Ia mau menemukan kesenangan-Nya di sana. Kedua, di dalam ketersembunyian itu, Ia melakukan mukjizat-mukjizat. Ketiga, di dalam Maria, Ia menemukan kebebasan-Nya dalam keadaan terkurung. Keempat, di dalam Maria pula, Ia mengembangkan kekuatan-Nya dalam kemuliaan yang penuh dengan membiarkan diri dikandung olehnya (BS 18). Ini berarti Allah mau meluhurkan kedaulatan dan keagungan-Nya dengan bergantung pada Maria.
Ia mau “mengosongkan diri-Nya” dengan bergantung kepada Maria. Sang “teolog klasik” ini tidak hanya berbicara soal ketergantungan fisik kepada Maria saat penjelmaan, tetapi juga ketergantungan pribadi seorang anak kepada ibunya, yang diterima Yesus. Ketergantungan-Nya pada Maria dilanjutkan pada waktu kemuliaan-Nya di Surga.
Montfort menulis: “Rahmat menyempurnakan kodrat dan kemuliaan menyempurnakan rahmat. Jadi, di surga Tuhan Yesus masih tetap Putra Maria sama seperti dahulu di bumi ... .” (BS 27; bdk. 29, 164-165; CKA 205). Pernyataan orang kudus ini seakan-akan mau menunjukkan bahwa Maria berkuasa atas Yesus. Dengan kata lain, seolah-olah ada ketidaksempurnaan dari Yesus, sehingga Ia harus “tunduk dan bergantung” pada Ibu-Nya. Justru orang suci ini menegaskan sebaliknya.
Ketergantungan Yesus pada Maria adalah suatu bentuk perendahan diri (kenosis) Allah. Meskipun demikian, ini bukan berarti bahwa ada ketidaksempurnaan dalam diri-Nya oleh karena Ia dilahirkan oleh Maria. Baginya, Maria berada sangat jauh di bawah Putranya yang adalah Allah.
Maria tidak memberi perintah kepada-Nya sebagaimana layaknya perintah seorang ibu duniawi kepada anaknya. Bagi Montfort kalau dikatakan bahwa segala sesuatu di surga dan di bumi, malahan Allah, tunduk kepada Maria, maka sebetulnya Dialah yang berkenan memberikan kuasa yang begitu besar kepada Maria sehingga kelihatannya seakan-akan Maria berkuasa sama seperti Allah (bdk. BS 27).
Dengan demikian, ketergantungan Yesus kepada Maria sebagai seorang anak dengan ibu, harus dilihat secara lain antara ketergantungan selama di bumi dan ketergantungan setelah Yesus sudah berada dalam kemuliaan-Nya.
25 Maret: Hari Raya Kabar Sukacita
Setiap tanggal 25 Maret, secara liturgis, Gereja Katolik merayakan Hari Raya Kabar Sukacita (Annunciation), saat di mana Maria menerima sebuah kabar yang mengejutkannya, tetapi sekaligus menggembirakan manusia (dunia). Di hadapan Malaikat Tuhan, Maria menaruh sikap hormat yang mendalam, meskipun dia sempat bertanya-tanya tentang segala kemungkinan yang akan terjadi padanya.
Ia disapa dengan secara lembut dan sungguh menyentuh hatinya: “Salam hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau” (Luk 1:28). Maria memang dikatakan terkejut mendengar perkataan itu, dan ia pun bertanya dalam hati tentang arti salam itu.
Malaikat yang mengetahui situasi hati-batin Maria, langsung meyakinkannya: “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus … .” (Luk 1:31-33).
Rupanya Maria belum juga mengerti akan perkataan itu, lalu ia bertanya: “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku tidak bersuami?” (Luk 1:34). Dengan bertanya demikian, Maria ingin mengetahui bagaimana cara kerja Allah atas dirinya. Dia ingin mengetahui sejauh mana intervensi Allah itu terlaksana secara nyata dan tepat.
Jawaban Malaikat padanya pada ayat selanjutnya (ay. 35-37), memberi sebuah kepastian pada Maria bahwa Allah bekerja atas dirinya. Akhirnya, ia berani menjawab “ya” (bdk. Luk 1:38). Di sinilah letak totalitas Maria pada Allah. Dengan jawaban ‘ya’ tersebut, sejarah keselamatan manusia yang direncanakan Allah pun terjadi, dan itu terlaksana berkat kesiapsediaan Perawan Suci dari Nazaret, Maria. Ia mau menjadi rekan kerja Allah dalam karya keselamatan tersebut. Di hadapan Allah, Maria samasekali bukanlah alat impersonal atau sekedar instrumen fisik yang tak memiliki kehendak, melainkan dalam kehendak bebas dan penuh iman menjawab ‘ya’ pada rencana dan kehendak-Nya.
Di sini, seperti kata Santo Agustinus, Maria mengandung Kristus dalam rohnya sendiri oleh karena berkat imannya sebelum melahirkan-Nya. Untuk itulah, ia melepaskan kehendak pribadinya dan semata-mata mengikuti apa yang dikehendaki Allah. Dalam Teologi Kristiani, Inkarnasi memang diyakini sebagai saat Allah melepaskan keagungan dan kemuliaan-Nya dan menerima tubuh manusiawi dari Maria.
Maria tidak hanya sekedar menjadi Bunda Allah begitu saja, dalam pemahaman bahwa Allah hanya memperoleh tubuh manusiawi-Nya melalui Perawan Maria dan selesai. Kebundaan Maria justru mencakup aneka aspek seperti; jiwa, kehendak, akal budi, hati, serta seluruh hidupnya sebagaimana yang dikatakan oleh J. Bur: “The motherhood of Mary is not limited to the biological process of giving birth, since it carries with it a psychological and spiritual dimension.
Mary did not become mother of God only found his human body through her. Mary’s motherhood involved the whole of her soul, her will, her intelligence, her heart, her whole being”. Ia menerima secara bebas peran barunya sebagai Bunda Yesus Kristus yang adalah Putra Allah; menyetujuinya dengan mengatakan Fiat-nya itu (bdk. Luk 1:38).
Jawaban bebas ini memungkinkan Maria mampu bekerjasama dengan Allah. Berkenaan dengan Misteri Inkarnasi/Penjelamaan Allah, seringkali orang memahami secara keliru antara “Penjelmaan” dan “Natal Yesus”. Bagi sebagian orang, “Natal” kerap dipersepsi sebagai momen historis Allah menjadi manusia, tanpa berpikir bahwa itu sudah dimulai sejak Peristiwa Anunsiasi.
Peristiwa historis ini sejatinya sudah dimulai sejak Maria diberi kabar oleh Malaikat Tuhan. Dengan demikian, Peristiwa “Penjelmaan” yang secara liturgis dirayakan pada 25 Maret adalah saat historis yang menentukan dalam perjalanan sejarah keselamatan manusia.
Tanpa jawaban ‘ya’ Maria tadi, maka tentu saja tidak akan ada peristiwa kelahiran Kristus dalam ruang dan waktu. Peristiwa “Penjelmaan” yang telah dimulai pada 25 Maret di sini bisa dipahami sebagai “saat masuk-Nya Sang Sabda ke dunia lewat Maria”.
Sedangkan, “Natal” adalah peristiwa kelahiran dalam ruang dan waktu dari Sang Sabda di Betlehem pada 25 Desember. Dalam terang pemikiran Santo Efrem, penyair, teolog dan Bapa Gereja, dikatakan bahwa “Penjelmaan” Allah dideskripsikan dengan kata “masuk”, sedangkan Natal dilukiskan dengan kata “keluar”.
Jadi, sesungguhnya di sini terdapat suatu perbedaan antara saat Allah masuk dan saat Ia keluar. Di situ tampak suatu paradoks. Yang menerima “keadaan-Nya” saat masuk adalah rahim Maria. Kemudian yang memberi bentuk baru pada “keadaan” duniawi-Nya adalah juga rahim dari wanita yang sama, Bunda Maria.
Rahim sang Perawan ini menerima segala kekayaan, keagungan dan kemuliaan dari 4 Putera Allah. Rahim yang sama pula memberi keadaan pada-Nya sebagai seorang yang “miskin” dan tidak memiliki apa-apa (bdk. Luk 2:1-7). Dalam konteks ini, Allah justru digambarkan seperti seorang “pengemis”, dan “hina dina”. Dia yang tadinya kaya dalam segala kemuliaan-Nya, kini harus masuk dan mengalami kondisi manusiawi menjadi seorang “kecil, hina, miskin” dan diterima dalam rahim Maria.
Bagaimana seorang Kristiani mampu memahami kontradiksi ini? Hanya cinta yang bisa menjelaskan logika paradoks di atas (bdk. Yoh 3:16), sebab hanya cinta pulalah yang telah memungkinkan terjadinya peristiwa kenosis Allah yang sungguh melampaui akal budi manusia (bdk. Ef 3:19) ini.
Allah Bapa mengasihi umat-Nya, sehingga “tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua” (Rm 8:32). Berkenaan dengan ini, Montfort berkata: “Tetapi cinta kasih-Nya mengatur kekuasaan-Nya. Kebijaksanaan ingin menjelma untuk memberi kesaksian kepada manusia tentang persahabatan-Nya.
Ia rindu turun sendiri ke dalam dunia, supaya dunia dapat naik ke surga. Maka terjadilah demikian! (CKA 168), ketika merenungkan misteri Penjelmaan Allah, ia berkata: “Sang Mahatinggi, Sang Taktertampung, Sang Tak-terhampiri, “Dia yang -ada” (BS 157) yang menghampakan diri ini dan menjadi “rendah”, “dikandung” dalam rahim Maria, “dapat” didekati” manusia karena Dia hidup di antara kita dan ber-“ada dalam kefanaan” ….
Montfort juga berseru: “O altitude sapientiae Dei, (Rm 11:33): O! Betapa mendalam Kebijaksanaan dan Pengetahuan Allah! Betapa mengherankan pilihan-Nya ini dan betapa agung dan tak terpahami segala rencana dan keputusan-Nya.” (CKA 168).
Baca juga: Opini Paul Ama Tukan: Jeritan Bumi dan Pertobatan Ekologis
Dengan merayakan misteri agung, Sabda menjadi Daging (Manusia) dalam Perayaan Kabar Sukacita (25 Maret), barangkali setiap umat Katolik mau masuk dalam permenungannya yang lebih mendalam sembari membawa seribu satu macam pengalaman manusiawinya; sukacita-dukacita, keberhasilan-kegagalan atau pun aneka masalah, persoalan, keterbatasan dan kelemahan diri.
Dari sebab itu, pantaslah siapa pun dia, setiap murid Kristus menyadari bahwa dia juga masih seperti “seorang pendosa besar”, yang tetap merasa tidak pantas pula menerima Rahmat Allah. Hanya dalam kesadaran ini, akhirnya dia juga dengan rendah hati dan penuh rasa syukur yang mendalam mau menerima dan merasakan misteri Cinta Allah yang tremendum et fascinosum itu, suatu misteri Kasih yang dicurahkan padanya dalam dan melalui Perawan Suci Maria.
Hanya melalui KasihNya, Allah berkenan menjadi seperti kita manusia (bdk. Yoh 1:14) dalam dan melalui rahim IbuNya yang suci, Perawan Maria, dia yang membawa sukacita dan keselamatan bagi hidup manusia dan dunia. SELAMAT HARI RAYA KABAR SUKACITA!
(Penulis: Pater Fidel Wotan, SMM, Imam Montfortan Indonesia yang kini sedang studi doktoral di Pontificia Teologica, “Marianum”, Roma)