Wawancara Eksklusif
Wawancara Eksklusif Prof dr Zubairi Djoerban : Penderita HIV/AIDS Jangan Putus Obat (Bagian-1)
Pionir penanganan HIV/AIDS di Indonesia Prof dr Zubairi Djoerban angkat bicara soal merebaknya kasus HIV di wilayah Jawa Barat.
POS-KUPANG.COM - Pionir penanganan HIV/AIDS di Indonesia Prof dr Zubairi Djoerban angkat bicara soal merebaknya kasus HIV di wilayah Jawa Barat.
Dokter spesialis penyakit dalam dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menilai penyebaran masif HIV bisa diakibatkan beberapa faktor.
Prof Zubairi menyebut satu di antara alasannya banyak pasien HIV/AIDS yang putus meminum obat karena merasa sudah bugar.
"Sayangnya yang putus obat cukup banyak, putus obat yang banyak ini kemudian setelah 1 tahun, kondisinya menurun, sebagian lain meninggal dan sebagian lagi datang lagi, kemudian diberikan obat lini 2," kata Zubairi di Jakarta Breast Center, Jumat 2 September 2022.
Menurutnya, pemerintah Indonesia sangat menaruh perhatian terhadap penyakit HIV/AIDS. Terbukti obat HIV/AIDS hingga kini digratiskan seumur hidup kepada seluruh masyarakat.
"Untungnya pemerintah menyediakan obat Anti Retroviral (ARV) gratis seumur hidup. Jadi pasien-pasien HIV/AIDS tidak ada alasan berhenti minum obat," tukasnya.
Berikut kutipan wawancara Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan Prof. dr. Zubairi Djoerban:
Soal kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia, dan Prof terlibat di dalam temuan itu, bisa diceritakan?
Pada tahun 1982-1983 saya mendapat tugas belajar ke Perancis belajar lebih jauh mengenai leukimia, untuk memeriksa leukemia yang ternyata yang macam-macam itu diperlukan tes antibodi monoklonal untuk antara lain untuk memeriksa CT form.
Kemudian di tahun 1983 itu saya pertama kali di rumah sakit di bagian selatan Perancis ada kasus pertama itu HIV/AIDS waktu itu virusnya belum ketahuan hanya keluhannya kekebalan turun lama-lama menurun dan meninggal. Kemudian kekebalannya drop hanya CT form 4,5.
Akhirnya balik tahun 1983 ke Jakarta, dan lapor ke kepala departemen. Kami coba test waria di Taman Lawang, ada beberapa waria yang CT form rendah sekali. Meskipun CT formnya rendah tapi masih banyak penyebab lain.
Beberapa tahun kemudian saya tanya pada lingkungan ternyata sudah menjalar. Kebetulan atau entah kenapa dari teman media dari majalah Tempo terbit di majalah Tempo kemudian dipublikasikan di Kongres penyakit dalam tahun 1984.
Jadi tahun 1984 baru ketemu mula-mula virusnya, jadi virusnya kemudian tahun 1985 bulan Juli sampai dengan pertemuan Edge pertama dunia di di Atlanta di situ kemudian ketahuan virusnya namanya HIV.
Nah tes itu kemudian saya bawa ke Indonesia tahun 1986, ada kasus di Rumah Sakit Islam dan saya bekerja di sana perempuan dengan autoimun karena kondisinya lemah saya periksa ternyata positif. Dan kemudian juga meninggal dan menjadi viral istilahnya. Itu kasus-kasus pertama.
Si X ini, yang terinfeksi HIV. Itu dia dapatnya dari mana?
Iya jadi penerawang kami ternyata ada banyak yang ternyata dari hubungan seksual saja. Jadi riwayatnya waktu itu dari Amerika Los Angeles, San Francisco, New York, New Jersey yang di sebelah sana kebanyakan teman-teman muda di kalangan laki sama laki.
Kalau yg di New York dan New Jersey kebanyakan penggunaan narkotika. Jadi gampang ketahuan. Dan gampang ketahuan lagi ternyata bisa lewat laki ke perempuan. Dan kemudian makin banyak ditemukan di Afrika dan di hampir semua benua akhirnya.
Dan ternyata penularan laki ke perempuan dan perempuan ke laki, jauh lebih banyak daripada penularan homoseksual dan dalam tanda kutip orang yang lain seksual, bisa hetero bisa mono, kemudian narkotik, dan ketiga lewat transfusi darah.
Jadi waktu itu pasien-pasien hemofilia mendapatkan faktor 8 ini intinya adalah donor dikumpulkan banyak kemudian diolah, ketika tercemar satu, maka semuanya kena, banyak di indo kasus yang saya tangani dengan hemofilia.
Kemudian, setelah cara tesnya, sekarang proses untuk faktor 8 sudahi, dan darah yg keluar dari PMI dan program transfusi darah manapun disaring bersih, 99,9 persen tidak bisa 100 persen tapi bisa dikatakan semuanya tidak terjadi penularan.
Nah keempat, jadi kalau seorang ibu tertular hiv dan dia hamil, disitu resiko bayinya tertular itu antara 20-30 persen. Namun kemudian kalau Ibu ini minum obat maka resiko penularan nol.
Sekarang di banyak negara bagian di Amerika tidak ada lagi bayi lahir dari ibu yang positif yang tertular karena si Ibu minum obat. Namun kenyataannya di Indonesia berbeda karena Ibu ini ternyata tidak semua ibu hamil tes HIV itu yang terjadi di kita dan penularan di layanan kesehatan (jarum suntik).
Jadi misalnya menyuntik seseorang setelah suntik jangan ditutup lagi nah proses penutup ini kemudian bisa meleset. Jadi sekarang tidak boleh lagi, recapping, menutup kembali spet ke tutupnya. Itu yg kelima.
Dari kelima itu yang paling tinggi persentasenya yang mana (penularan)? Yang paling tinggi dari laki ke perempuan, perempuan ke laki, heterogen. Penularan seksual.
Apakah fenomena LGBT di Indonesia yang semakin hari semakin marak justru bisa menjadi pengungkit atau pemicu infeksi HIV AIDS?
Iya kan dari awal memang mula-mula dulunya di sana. Saya kira edukasi yang berulang-ulang itu ternyata yang banyak orang merasa cukup, ternyata tidak cukup karena masih banyak yang tidak tahu mengenai penularan.
Apakah pasien-pasien HIV AIDS itu bisa direcovery atau disembuhkan dan bagaimana caranya dan kiatnya?
Dulu pada waktu kasus pertama meninggal tahun 1985-1986 semuanya meninggal dalam waktu 2-4 tahun karena belum ada obatnya. Tahun 1987 mulai ada obat 1 obat 2 dan ada obat 3 ketemu dan dikombinasikan maka selama minum obat teratur maka yang bersangkutan hidup normal bahkan bisa hidup lebih sehat dari umurnya.
Saya selalu tanya kepada pasien dibandingkan teman-teman mu yang seumur jauh lebih sehat karena disini kan diperiksa dokter kalau nggak minum obat diomelin.
Cukup banyak yang bisa amat sehat, sebagian rata-rata. Sebagian lagi putus obat. Sayangnya yang putus obat cukup banyak, putus obat yang banyak ini kemudian setelah 1 tahun, kondisinya menurun, sebagian lain meninggal dan sebagian lagi datang lagi, kemudian diberikan obat lini 2.
Untungnya pemerintah menyediakan obat Anti Retroviral (ARV) gratis seumur hidup. Jadi pasien-pasien, tapi itu mulainya 20 tahun lalu mulai kehabisan kemudian, awal-awal dulu tim saya, Prof Samsul Rizal punya ide di sini mahal, obat dari Amerika mahal banget waktu itu sekitar Rp4 jutaan.
Pada saat itu kita bisa meyakinkan menteri keuangan mengeluarkan surat bahwa ada pengiriman obat dari luar tidak perlu bea cukai. Nah pada berikutnya sampai di RS Cipto, kemudian didistribusi, jadi sempat kita diskusi di banyak tempat, pada akhirnya pemerintah ambil alih, dan digratiskan.
Jadi pada waktu itu kombinasi murah, kalau beli sekitar Rp200-300 ribu. Ada juga kombinasi yang Rp800 ribu. Nah sekarang tersedia gratis, tersedia di banyak tempat tidak hanya di RS, tapi juga Puskesmas.
Obat HIV/AIDS itu produk kita atau impor?
Sebagian produk kita. Dan rata-rata yang meninggal dulu itu kalau minum obatnya teratur kebetulan pasien saya yang awal itu, yang mengandung, sehingga bisa periksa jumlah virus. Namun rata-rata dalam waktu 3 bulan jumlah virusnya 50-100 ribu ada 1 juta lebih itu langsung menjadi amat sangat rendah. Kurang dari 200 untuk tidak terdeteksi. Tidak lagi menular dan tidak lagi sakit.
Prof, apakah orang-orang yang sedang penyembuhan tidak boleh melakukan interaksi seksual? Atau kapan saatnya?
Dulu ada pasien bilang aku mau nikah, saya bilang calonmu sudah tau belum (pengidap HIV)? Belum kata dia, takut lah dok nggak jadi (nikah). Nikah boleh, tapi harus dipantau karena konsekuensinya istri bisa tertular.
Menikah memang hak setiap orang jadi tentu, kalau dua-duanya paham dia bisa tertular dan meninggal, ya itu hak mereka. Paling lama enam bulan virusmu akan tidak terdeteksi, dan Anda tidak lagi menular, karena itu keturunan tidak tertular. Jadi ditunda dulu 3-6 bulan. (tribun network/reynas abdila)