Pemerhati Pariwisata Dorong Penyelesaian Taman Nasional Komodo Labuan Bajo
Konsep PDKT menjadi solusi untuk membendung dampak ikutan dari kenaikan tarif masuk sebesar Rp 3, 75 juta ke Taman Nasional Komodo (TNK) Mabar
Penulis: OMDSMY Novemy Leo | Editor: OMDSMY Novemy Leo
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Konsep PDKT menjadi solusi untuk membendung dampak ikutan dari kenaikan tarif masuk sebesar Rp 3, 75 juta ke Taman Nasional Komodo (TNK) di Kabupaten Manggarai Barat (Mabar).
Konsep ini ditawarkan oleh Pemerhati pariwisata dari Indonesia Tourism Strategist, Taufan Rahmadi. Taufan mengatakan, PDKT dimaksud kepanjangan dari Policy, Destinasi, Kolaborasi dan Target.
Policy, artinya mesti dilakukan penundaan dan mengkaji ulang kebijakan terkait kenaikan tiket. Dengan kondisi itu, untuk sementara waktu diberlakukan masa transisi guna memperkuat sosialisasi dan penguatan edukasi melalui program – program Community Based Tourism di setiap lapisan masyarakat di Labuhan Bajo.
Poin berikutnya, Destinasi yakni upaya pembenahan fasilitas di destinasi mulai dari atraksi, akses, amenitas, activity, ambience, attitude dan akselerasi. Tujuannya untuk memberikan aturan dan SOP yang jelas dan menjadi win–win solution bagi semua pihak
"Contohnya, berwisata di Labuan Bajo destinasinya tidak hanya terbatas pada area TN Komodo saja. Tapi banyak atraksi lain yang tidak kalah menariknya dengan harga yang terjangkau sesuai pilihan kantong wisatawan," tambahnya.
Selanjutnya Kolaborasi, artinya, stakeholder pariwisata seluruhnya diikutsertakan di dalam proses penyusunan kebijakan terkait pariwisata di Labuan Bajo. Ia menyarankan untuk maksimalkan peran DMO setempat, sehingga mengurangi potensi polemik yang terjadi dilapangan.
Kemudian Target, dimana pengembangannya harus mampu menjaga kelestarian, keberlanjutan dan kesejahteraan bagi ekosistemnya bukan hanya satu pihak saja.
"Hal ini penting untuk dirumuskan bersama agar setiap stakeholder sama-sama mengerti apa yang menjadi hak dan tanggung jawabnya secara berimbang. Tidak hanya beban itu ditumpukan kepada wisatawan saja. Sehingga akan muncul aktifitas berwisata yang bertanggung jawab," kata Taufan menjelaskan.
Taufan mengatakan, kebijakan menaikkan tarif sebesar Rp 3,75 juta di TNK berbuntut panjang. Ribuan pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif (Parekraf) di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) terancam kehilangan pekerjaan.
Selama ini para pelaku usaha kecil itu menggantungkan nasibnya pada usaha di sektor wisata sebagai sumber pendapatan. Kini, deretan ancaman menghantui pergerakan ekonomi dari pelaku wisata, saat titik balik pasca pandemi covid-19.
Menurutnya, data yang dirilis Disparekrafbud Kabupaten Mabar, jumlah tenaga kerja yang berasal dari industri pariwisata sebanyak 4.412 orang pada tahun 2019 sewaktu awal pandemi berlangsung.
"Dan saat ini disaat trend pandemi yang menurun dan kunjungan wisatawan mulai meningkat ke Labuan Bajo ribuan tenaga kerja ini harus kembali dihadapkan pada ancaman kehilangan pekerjaan. Imbas polemik kebijakan kenaikan tiket masuk 3,75 Juta tersebut," kata Taufan, Selasa (2/8).

Kebijakan ini seakan mematikan semangat pelaku usaha untuk bangkit kembali setelah dua tahun diterpa pandemi. Selain berdampak ke hilangnya lapangan kerja, citra destinasi di Labuan Bajo juga ikut terancam.
Menurut Taufan, citra destinasi itu berkaitan dengan hal dirasakan wisatawan selama berwisata.
Oleh karena itu, sangat penting untuk menghadirkan citra destinasi yang positif bukan negative seperti terjadinya polemik kebijakan tiket. Ujungnya ada aksi mogok sebulan oleh para pelaku pariwisata di Labuan Bajo.
"Terlebih saat ini Indonesia menjadi tuan rumah dari perhelatan G20 dan event-event internasional lainnya," sebut Taufan.
Adapun, kata dia, potensi pendapatan kehilangan 28 miliar atau 38 persen dari sektor pariwisata. Ia menjelaskan, dampak pemberlakuan tiket masuk baru jutaan rupiah per sekali masuk, bukan saja menyebabkan tingkat kunjungan wisatawan, tapi sumber pendapatan sebagai PAD juga dikhawatirkan merosot.
Lebih lanjut Taufan memaparkan, data Disparekrafbud Kabupaten Mabar bahwa Realisasi PAD Manggarai Barat tahun 2022 dari sektor pariwisata masih jauh dari target yang ditetapkan Rp28 miliar, dimana hingga akhir Juni 2022, PAD yang terkumpul baru Rp3,2 miliar.
Sumber itu sebanyak 90 persen pendapatan per Juni 2022, berasal dari kunjungan ke dalam wilayah TNK, termasuk aktivitas diving dan snorkeling, wisatawan nusantara atau turis domestik mendominasi kunjungan ke Labuan Bajo.
Dari 65.362 wisatawan yang berkunjung ke Labuan Bajo selama setahun terakhir, sebanyak 53.824 merupakan turis domestic sebanyak 82 persen, sisanya 18 persen wisatawan mancanegara dengan jumlah 11.538 kunjungan.
"Tentunya kondisi Labuan Bajo yang tidak kondusif pasca aksi demo yang berlanjut pada aksi mogok kerja para pelaku pariwisata. Maka akan memicu para wisatawan untuk mengurungkan niatnya berkunjung ke Labuhan Bajo sehingga target PAD pun berpotensi tidak tercapai," jelas dia.
* Dukung Kenaikan Tarif
Sementara itu, Forum Masyarakat Peduli Pariwisata Manggarai Barat (Formapp) Mabar yang semula menolak, kini mendukung kebijakan tarif baru ke TNK tersebut.
Dalam video yang berdurasi 2.24 menit, sebanyak 19 organisasi yang tergabung dalam Formapp itu menyatakan sikap untuk mendukung pemerintah memberlakukan kebijakan itu.
Dikutip dari akun YouTube Ranggu TV dan di-posting kembali oleh gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat melalui akun instagramnya, @ViktorBungtiluLaiskodat, pernyataan sikap dukungan itu disampaikan ketua Formapp, Rafael Todowela. Pernyataan disampaikan di salah satu tempat di Labuan Bajo, Mabar.
Saat menyampaikan pernyataannya, Rafael menegaskan, pertama, kami pelaku asosiasi wisata Manggarai Barat yang tergabung dalam Formapp Mabar mendukung kebijakan pemerintah dalam pemberlakuan tarif oleh PT Flobamor senilai Rp 3, 75 juta. Kedua, menjaga Kamtibmas di Labuan Bajo Mabar.
Ketiga, mencabut kesepakatan bersama 30 juli 2022 oleh pelaku wisata dan memulai kembali aktivitas per tanggal 3 Agustus 2022.
Dan keempat, melakukan pengawasan independen kepada PT Flobamor dan mengevaluasi tiap tahun apabila kondisinya ini tidak sesuai kondisi masyarakat di Manggarai Barat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

"Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya tanpa ada tekanan dari pihak manapun," kata Rafael menyebut pernyataan itu dibuat Rabu (3/8).
Dia juga mengatakan kepada masyarakat di Mabar dan umumnya, ia menyampaikan permohonan maaf. Dia menyebut, video dan narasi yang bertebaran di media sosial telah membuat kondisi di Labuan Bajo tidak kondusif.
"Pada kesempatan ini saya secara pribadi menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat, TNI/Polri yang menyebabkan suasana seperti ada kegentingan," sebutnya.
Sebelumnya, Formapp Mabar melakukan aksi mogok masal menyoali kebijakan tarif baru itu. Rafael selaku ketua Formapp disebut sempat ditangkap aparat keamanan saat aksi mogok hari pertama di 1 Agustus 2022. Informasi yang dihimpun, aksi mogok pelaku wisata direncanakan berlangsung hingga akhir Agustus 2022. (fan)
Kabid Humas Polda NTT, Kombes Pol Arya Sandy mengatakan, guna mengamankan situasi saat pemberlakuan tarif baru Rp 3,75 juta di pulau Komodo dan Padar di Taman Nasional Komodo (TNK) Labuan Bajo, Manggarai Barat, hampir 1.000 personel aparat keamanan dikirim ke kawasan wisata premium itu.
Menurut Arya, penebalan pasukan dengan menyiagakan hampir seribu personil gabungan karena adanya ancaman dari kelompok tertentu.
"Itu awalnya ada ancaman, itu bahwa mereka akan melakukan kekerasan terhadap pelaku pariwisata yang membuka, bahkan sampai (ada ancaman) akan dibakar sehingga itu kita antisipasi," ujarnya, Selasa (2/8).
Dia menyebutkan personil yang diBKO-kan ditempatkan di obyek-obyek vital yang berada di Labuan Bajo. "Obyek-obyek vital termasuk bandara, tempat wisata, tempat penyeberangan ke Pulau Komodo," ungkapnya.
* Tak Berorientasi Pada Kepentingan Masyarakat Lokal
Pengamat politik dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Yeftha Y. Sabaat menyebut pelaku wisata yang mogok adalah tanda bahwa pariwisata NTT tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat lokal. Menurut Yeftha, terkait permasalahan tarif masuk TKN hingga adanya tindakan aksi demo dari elemen masyarakat, Pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap kebijakan agar semua pihak dapat menikmati manfaat dari skema kebijakan yang diambil.
Selanjutnya masalah ini tidak harus berkepanjangan apabila sejak awal sosialisasi kebijakan tersebut mewakili semua elemen yang ada seperti, masyarakat, pelaku wisata dan Pemerintah serta DPRD.
Yeftha mengakui, kehadiran TNK menjadi sarana perebutan sumber daya elit dan masyarakat lokal. Sehingga Pemerintah secara bijak perlu mengevaluasi evaluasi kebijakan untuk melahirkan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan publik, terlebih masyarakat lokal.
Selain itu, polisi wajib melaksanakan tugas pengamanan terhadap warga, tapi tidak harus represif, dan masyarakat yang menyampaikan aspirasi pun tidak harus dengan cara anarkis.
"Seyogiahnya dalam proses ini, aparat dan pemerintah perlu melakukan pendekatan yang lebih soft," sarannya. (fan/rey)
Sebaiknya Ditunda
ANGGOTA DPD RI dari Provinsi NTT, Abraham Paul Liyanto mendesak agar pemberlakuan kenaikan tarif masuk Taman Nasional Komodo (TNK) yang mulai berlaku 1 Agustus 2022 sebaiknya dibatalkan. Hal itu karena dasar hukum kenaikan tarif belum ada.
"Harus batal atau ditunda sampai ada dasar hukumnya. Timing-nya (waktu, Red) juga tidak tepat. Aktivitas pariwisata belum pulih 100 persen akibat wabah Covid- 19," kata Abraham di Kupang, NTT, Rabu (3/8).
Ia mengutip pernyataan Gubernur NTT, Viktor B Laiskodat pada Senin (1/8). Gubernur Viktor mengakui dasar hukum penetapan tarif baru masuk kawasan TNK sebesar Rp 3,75 juta belum ada.
Gubernur menyebut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT sedang menggodok Peraturan Daerah (Perda) terkait kebijakan tersebut dan segera rampung dalam waktu dekat.

"Memang, saat ini belum ada Perda yang mengatur tentang Penetapan Tarif Masuk Pulau Komodo. Sosialisasi dan evakuasi tetap berjalan dan penggodokan Perda juga tetap dilakukan sambil pembenahan. Tidak lama lagi sudah ada Perdanya," ungkap Gubernur Laiskodat.
Abraham menyebut penetapan tarif yang belum memiliki dasar hukum rawan digugat. Kebijakan itu juga mengesankan Pemprov NTT menabrak aturan hukum.
"Daripada menimbulkan gaduh, lebih baik tunda dulu. Selesaikan dulu Perda-nya," tegas mantan Ketua Kadin Provinsi NTT ini.
Dia mendukung ada penetapan tarif untuk masuk Taman Nasional Komodo. Namun, tidak waktunya sekarang. Tarif yang ditetapkan sebesar Rp 3,75 juta juga sangat tinggi.
"Jangan sekarang karena aktivitas pariwisata belum normal. Dua tahun lebih, kegiatan pariwisata mati karena wabah Covid- 19. Baru mulai bangkit sekarang. Masa baru bangkit, langsung ada kebijakan itu," jelas Abraham.
Senator yang sudah tiga periode ini memberi solusi atas pemesan tiket masuk. Caranya seperti pada penjualan tiket pesawat. Siapa yang pesan duluan, akan mendapat lebih murah. Namun, jika dipesan menjelang hari kunjungan atau pada hari kunjungan, harus dikenakan biaya tinggi.
"Maksimal Rp 1 juta saja harga tiket masuk. Tapi, khusus untuk area yang wajib tarif saja. Harga segitu pun kalau yang pesan hari H. Jangan terlalu tinggi, di atas Rp 1 juta. Kalau pesan lebih awal, harus ada kemurahan tarif," saran pemilik Universitas Citra Bangsa Kupang ini.
Dia juga menyarankan agar transportasi ke kawasan TNK tidak dimonopoli oleh satu kelompok atau satu perusahaan saja, tetapi dibuka ke masyarakat umum. Yang penting, pada saat menuju kawasan TNK, wisatawan harus scan tiket yang telah dibeli online.
"Saya dengar, aksi mogok di Labuan Bajo sekarang karena protes kenaikan tarif itu dan adanya monopoli dari pihak tertentu, terutama masalah transportasi. Padahal itu kan bisa untuk masyarakat kecil. Jadi, daripada buat gaduh, lebih baik dibuka saja ke masyarkat umum," tutup Abraham.
Di tempat berbeda, Wakil Ketua DPRD NTT, Inche Sayuna menyoali regulasi yang digunakan Pemerintah, khususnya Pemprov NTT menetapkan tarif jutaan rupiah itu. Menurutnya, Perda belum diketahui DPRD. Begitu juga dengan Peraturan gubernur (Pergub).
"Harus ada dasar hukumnya. Dasar hukumnya yang menetapkan tarif itu apa? Apa dasar hukumnya?" kritik Inche, Selasa (2/8).
Menurutnya, jika sudah ada dasar hukumnya, pihaknya akan melihat seperti apa aturannya. "Peraturan itukan ada masa ujinya. Ketika ditetapkan, lalu ada resistensi dari masyarakat, ya, kita harus melakukan evaluasi terhadap itu," ujarnya.
Ditegaskan Inche, ketika melakukan pungutan kepada siapapun maka harus punya dasar hukum yang jelas. "Mau Pergub, mau Perda itu harus ada. Itu legitimasi. Kalau tidak itu dianggap pungutan liar," katanya.
Ia mengatakan, peraturan itu tidak mutlak, tidak abadi. Ada uji sosiologi dan publiknya. "Jadi, kalau Pemerintah kemudian menerapkan aturan itu, lalu kemudian masyarakat melakukan penolakan, maka Pemerintah harus bisa melakukan evaluasi kembali kepada aturan itu. Supaya ada negosiasi berimbang antara rakyat dan Pemerintah," katanya.

Menurut Inche, ada 3 dasar membuat aturan, yakni ada kewenangan, rujukan hukum, dan prosedurnya. Tiga poin ini kata dia, harus diperhatikan secara baik-baik.
"Tiga poin ini betul-betul kita harus perhatikan. Prosedurnya itu, misalnya sosialisasi kepada masyarakat. Kami DPRD belum dapat penjelasan apa-apa ini," tuturnya.
Karena itu, kata dia, dalam waktu dekat pihaknya akan memanggil Pemerintah untuk bisa menjelaskan kepada DPRD terkait kenaikan tarif tersebut.
"Nanti kita agendakan untuk panggil Pemerintah terkait hal ini. Masa kami DPRD tidak tahu. Kami DPRD akan panggil Pemerinrah untuk bisa menjelaskan persoalan ini," katanya.
Anggota DPRD NTT Yohanes Rumat, meluapkan kekesalannya terhadap kenekatan Pemerintah menaikan tarif masuk di dua pulau itu.
"Terkait keputusan pemberlakuan tiket masuk Pulau Komodo dan Padar hari ini, kita sebagai anggota DPRD yang ada di provinsi menyatakan sungguh menyesal yang terkesan ada pemaksaan kehendak oleh pemerintah," kata Rumat, Selasa.
Politisi PKB itu menghargai sikap pemerintah yang berkomitmen dengan keputusannya. Namun dibalik keputusan tersebut, pelaku pariwisata maupun masyarakat secara keseluruhan di Manggarai Barat belum siap.
Menurut dia, konsekuensi dari keputusan itu akan berdampak buruk pada jasa pariwisata seperti hotel hingga UMKM. Rumat menegaskan, keputusan pemerintah atas kenaikan tiket masuk ke TN Komodo tersebut belum memiliki peraturan daerah (Perda) yang diketahui DPRD.
Pemerintah Provinsi NTT, juga belum memiliki peraturan gubernur (Pergub) yang belum diketahui DPRD secara kelembagaan.
"Bahwa kalaupun terjadi hari ini, saya kira tidak salah kalau mereka berhadapan dengan situasi tidak bagus di bawah terutama masyarakat yang merasa korban dari kebijakan ini. Tentu sebagai DPRD, kami hadir di tengah-tengah, di satu sisi kami hadir sebagai pemerintah, di sisi lain juga kami hadir sebagai masyakat," ujarnya.
Oleh karena itu, tegas Rumat, pihaknya tetap pada pendirian, di mana keputusan kenaikan tiket masuk ke TN Komodo tersebut dibatalkan. Menurutnya, momentum kenaikan ini tidak tepat. Ia bahkan menuding wibawa pemerintah rendah. Sebab, sosialisasi yang akan ataupun sedang berjalan, justru sangat tidak etis.
"Kalau sosialisasi itu sedang dan akan berjalan, tetapi tidak boleh mendahului keputusan. Itu tidak etis, itu wibawa pemerintah rendah sekali. Jatuh sekali," katanya.
Rumat berharap sebelum memberikan keputusan seharusnya pemerintah melakukan sosialisasi terdahulu. Ia menyarankan, agar dilakukan sosialisasi terlebih dahulu sebelum diberlakukan.
"Sosialisasi dulu, lalu hasil dari semua pendapat itu bawa ke gedung DPRD kalau memang itu perlu disampaikan, bawa ke kantor gubernur, kumpulkan. Kira-kira dari sekian pendapat masyarakat ini kita mau pakai pola yang mana. Tapi sekarang terkesan memaksa. Itu tidak bagus. Jadi, kita mau bersandar ke siapa lagi kalau bukan ke pemerintah. Kalau sampai ada hal-hal buruk di lapangan jangan salahkan masyarakat. Pemerintah yang memberikan keputusan tidak waktu, tidak tepat sasaran, bahkan menyengsarakan masyarakat," kata Rumat. (fan/pol)
Petisi Tolak Kenaikan
PENOLAKAN terhadap kenaikan tarif masuk ke Taman Nasional Komodo (TNK) khusus pulau Komodo dan Padar di Labuan Bajo NTT, terus bergulir. Selain penolakan secara langsung di Labuan Bajo, beredar petisi penolakan kenaikan tarif hingga Rp 3, 75 juta itu.
Edaran petisi telah ditandatangani lebih dari 6.000 orang hingga Selasa (2/8) pukul 19.00 Wita. Petisi itu dimulai oleh seorang bernama Marcus Antoni.
Marcus menjelaskan, kajian kenaikan harga tiket TNK NTT dengan alasan biaya konservasi adalah sesuatu yang tidak logis. TNK adalah cagar alam budaya indonesia, sesuai yang disampaikan Anggota Komisi V DPR RI Effendy Sianipar.
"Politisi dari Fraksi PDI Perjuangan ini menegaskan bahwa Indonesia mampu merawat dan melindungi habitat asli Komodo. Menurutnya keindahan alam Indonesia merupakan berkah bagi penduduknya, sehingga menjadi tanggung jawab bersama untuk menjaga dan melestarikan berkah dari Yang Maha Kuasa," kata Marcus, mengulang pertanyaan Effendy.
Marcus kembali menjelaskan, persoalan pengelolaan dan pemeliharaan TNK nantinya bisa sharing tugas dan tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
"Jadi kita sudah hitung matang-matang, nanti ini dirawat dengan baik tentu diselaraskan dengan APBD dan APBN. Dan belum ada 1 kajian pun yang mevalidasi bawa kunjungan turis sudah merusak ekosistem taman nasional komodo dan TNK akan kehilangan nilai jasa ekosistem sebesar 11trilliun rupiah pd tahun 2045, mohon publikasikan bukti konkrit atas kajian tersebut ,rincian kerugian dan bukti2 , dari bagian apa kunjungan turis ke taman nasional yang sudah menganggu kelangsungan hidup satwa komodo dan ekosistem di TNK," tulis Marcus mengutip Effendy.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno menyebut populasi komodo di Taman Nasional Komodo (TNK) Labuan Bajo cenderung meningkat.
Menurutnya, total komodo pada 2018 sebanyak 2.897 ekor dan pada 2019 bertambah menjadi 3.022. Pernyataan ini dilontarkan 27 Oktober 2020, Wiratno mengklaim, jika komodo dilindungi secara serius dan konsisten, aktivitas wisata dengan kondisi saat ini tidak bakal membahayakan satwa.
"Kita melihat ada perlunya memperketat aturan di Taman Nasional Komodo, tetapi bukan dengan cara menaikan harga tiket masuk sampai dengan 17x lipat dari sebelumnya. Cara tersebut hanya akan melemahkan daya saing Taman Nasional Komodo dan bisnis pariwisata di Labuan Bajo dan sekitarnya. Efeknya akan berimbas ke warga Labuan Bajo yang mengandalkan pariwasata dan turis untuk memulihkan ekonomi daerah dari pasca Pandemic yang menyerang dari 2020 hingga 2021 akhir," ujarnya. (Fan)
NEWS ANALYSIS
Bikin Perda
Pengamat Hukum di NTT, Deddy Manafe, SH
PENETAPAN tarif masuk ke Pulau Komodo dan Pulau Padar, dapat dilihat dari pendekatan konstitusi. Pasal 23A UUD NRI 1945 dengan tegas menyatakan bahwa, Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang (UU).
Artinya hal yang perlu dicermati antara lain Penetapan tarif masuk Pulau Komodo dan Pulau Padar itu masuk pada kategori pajak atau pungutan lainnya?
Hal tersebut penting karena hak yang diberikan rakyat kepada negara untuk melakukan pungutan. Apabila Pungutan tarif masuk Pulau Komodo dan Pulau Padar dalam bentuk pajak maka tarif tersebut harus masuk dalam jenis pajak untuk objek yang jelas sehingga harus ada aturan UU atau produk turunannya peraturan pemerintah yang mengaturnya.
Apabila masuk dalam kategori Pungutan lain, maka perlu juga diperjelas jenis pungutan dan objek pungutannya berikut rujukan undang-undangnya.
Terhadap penetapan tarif masuk Pulau Komodo dan Pulau Padar harus memiliki sifat yang memaksa. Artinya, untuk dijadikan sebagai tarif, harus ada kajian yang mendalam apa yang memaksa negara melalui Pemerintah Provinsi NTT untuk harus menetapkan tarif masuk tersebut.

Terkait penetapan tarif Pulau Komodo dan Pulau Padar harus diperuntukan bagi keperluan negara.
Hal ini juga tentunya harus berdasarkan kajian yang mendalam terkait keperluan negara macam apa yang akan terpenuhi dari penetapan tarif ini. Kepentingan negara menetapkan tarif masuk Pulau Komodo dan Pulau Padar harus mendasarkan pada kepentingan negara dan target pungutannya.
Jika konsep keperluan negara yang diusung, yakni kehadiran Taman Nasional Komodo (TNK) sebagai destinasi wisata, maka siapa saja yang bisa mengakses dengan besaran tarif seperti itu? Kajian seperti ini penting karena jangan sampai Orang NTT hanya akan melihat komodo di foto dam video tanpa bisa melihat secara langsung. Lantas, pertanyaannya Taman Nasional Komodo itu untuk siapa sih? Oleh karena untuk masuk saja harus membayar dengan gaji ASN Golongan IIIa satu bulan untuk satu orang.
Penetapan tarif itu harus diatur dengan UU. Artinya, pada level Provinsi dan Kabupaten/ Kota harus dengan Peraturan Daerah (Perda). Mengapa begitu? Jika pada level nasional harus ditetapkan dengan UU karena harus dibahas dan disetujui bersama antara Presiden dan DPR.
Dengan demikian pada level Provinsi NTT juga harus dengan Perda yang dibahas dan disetujui bersama oleh Gubernur dan DPRD NTT. Peraturan Gubernur itu bisa dibentuk sebagai pelaksana atas Perda misalnya terkait tata laksana dan tata kelola pungutan tarif, termasuk Sistem bagi hasil dari pungutan, serta lainnya.
Apabila penetapan tarif masuk Pulau Komodo dan Pulau Padar tersebut tidak memenuhi parameter UUD NRI 1945, maka itu inkonstitusional. Dengan kata lain batal demi hukum atau dapat diajukan pembatalannya secara hukum.
Terkait demonstrasi di Labuan Bajo, itu merupakan hak konstitusional dari rakyat yang juga dijamin dalam UUD NRI 1945. Pasal 28 UUD NRI 1945 dengan tegas menyatakan, Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Artinya, ketika masyarakat Labuan Bajo merasa bahwa aspirasi mereka tidak tersalurkan dengan baik melalui DPRD NTT/DPRD Kabupaten Manggarai Barat, mereka berdemonstrasi.
Sepanjang demonstrasi itu dilakukan dengan tidak melanggar UU seperti melakukan tindakan anarki, maka demonstrasi itu tidak boleh dikekang atau dibatasi dengan dalih apapun. (cr14)