Renungan Harian Katolik
Renungan Harian Katolik Minggu 10 Juli 2022, Memeluk Identitas Orang Samaria
Renungan Harian Katolik berikut disiapkan oleh RP. Steph Tupeng Witin SVD dengan judul Memeluk Identitas Orang Samaria.
Perhatian kepada mereka yang tersingkir pun menjadi sesuatu yang seolah-olah berada di luar teritorinya. Ketidakpedulian pun menjadi sobat karib perampasan dan perampokan.
Ketidakpedulian adalah bentuk pembiaran atas tindak kejahatan. Saat ini, banyak pihak yang terluka dan terkapar secara ekonomi, sosial, kultural, dan politik.
Mereka yang miskin dan mengalami diskriminasi adalah pihak yang pantas mendapat perhatian.
Akan tetapi, tidak sedikit orang gagal mengidentifikasikan diri dengan rasa sakit yang dialami orang-orang yang mengalami diskriminasi, ketelantaran, dan eksploitasi.
Paus Fransiskus menyatakan bahwa kerap kali banyak orang “merasa telah memiliki perhatian kepada mereka yang membutuhkan. Akan tetapi, kerap kali muncul rasa kecil dan tidak mampu memberi uluran tangan karena tidak adanya dukungan dari masyarakat pada umumnya”.
Perhatian itu pun menjadi sekadar sebuah perhatian yang tidak terjelma dalam tindakan. Sekalipun telah membicarakan dan melihat berbagai tayangan tentang keprihatinan, seseorang jatuh pada rasa empati semu tanpa sekalipun menyentuh keprihatinan tersebut (FT.76).
Fakta ketidakpedulian ini semakin dipertajam dengan sebuah ironi. Mereka yang melewati orang yang terkapar adalah kalangan yang mengedepankan praktik keagamaan, yaitu seorang imam dan anggota suku Lewi.
Inilah yang menjadi gugatan kritis dalam praktik keagamaan. Ada kalanya kesalehan dalam peribadatan kepada Tuhan, tidak cukup berdampak dalam hidup konkret seseorang.
Kedekatan seseorang dengan Tuhan dapat dipertanyakan saat iman yang diyakini tidak terjelmakan dalam tindakan.
Di titik kritis ini orang Samaria tampil sebagai pahlawan kemanusiaan universal yang melampaui dinding kesalehan ritualistik dan pengetahuan dogma yang kaku.
Orang Samaria adalah yang asing bagi orang Yehuda, tetapi memiliki perhatian pada yang terluka. Orang Samaria dipenjara dalam stigma “berdarah campuran”, bukan keturunan asli Yahudi, penyembah berhala dan deretan stigma negatif lain.
Akan tetapi kehadirannya dikontraskan dengan kaum agamawan yang mengaku dekat dengan Tuhan, tetapi perbuatannya tidak mencerminkan kedekatan tersebut.
Kehadiran orang Samaria menggambarkan cinta tanpa syarat, “yang tidak peduli, apakah mereka yang membutuhkan berasal dari tempat tertentu atau tempat lain”.
Orang Samaria juga dikontraskan dengan mereka yang “melewati dari seberang jalan”. Mereka terpecah konsentrasi dan terburu-buru sehingga derita yang terluka gagal membuat mereka berhenti.
Sebaliknya, orang Samaria berhenti beberapa saat dan menolong orang yang terluka. Ia memberikan sesuatu yang tidak dapat dibayar kembali oleh orang yang terluka. Ia memberikan waktunya.