Berita Manggarai Barat Hari Ini
Pelaku Pariwisata Akan Unjuk Rasa Bila Penolakan Tarif Baru Masuk Pulau Komodo Tidak Direspon
wacana tersebut dilakukan oleh Pemerintah Provinsi NTT melalui PT Flobamor (BUMD milik Pemerintah Provinsi NTT) dengan Balai TNK.
Penulis: Gecio Viana | Editor: Rosalina Woso
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Gecio Viana
POS-KUPANG.COM, LABUAN BAJO - Para pelaku pariwisata akan melakukan Demonstrasi bila penolakan wacana penetapan tarif baru masuk ke Pulau Komodo Taman Nasional Komodo atau TNK tidak direspon pemerintah, Senin 4 Juli 2022.
Hal tersebut disampaikan Ketua Perhimpunan Hotel dan Restaurant Indonesia atau PHRI Cabang Manggarai Barat (Mabar), Silvester Wanggel usai rapat dengar pimpinan DPRD Manggarai Barat dengan para pelaku pariwisata di Labuan Bajo terkait wacana tarif masuk TNK yang mencapai Rp 3.7 juta di Aula Kantor DPRD Manggarai Barat.
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi NTT dan Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) mulai 1 Agustus 2022, berencana menetapkan biaya ke kawasan konservasi Taman Nasional Komodo (TNK), menjadi Rp 3,75 juta per orang untuk periode satu tahun.
Baca juga: Satu Korban Meninggal Kecelakaan Kapal Wisata di TNK Ditemukan
"Kalau misalnya tidak ada tanggapan, bukan tidak mungkin teman-teman pelaku pariwisata akan melakukan demonstrasi penolakan dan mungkin beberapa teman-teman asosiasi pariwisata akan ke Jakarta untuk meminta penjelasan," katanya.
Silvester juga mengatakan, wacana tersebut dilakukan oleh Pemerintah Provinsi NTT melalui PT Flobamor (BUMD milik Pemerintah Provinsi NTT) dengan Balai TNK.
Silvester Wanggel juga menolak adanya kebijakan pembatasan masuk ke area TNK oleh pemerintah.
"Sangat kontraproduktif, di satu sisi pemerintah berusaha untuk meningkatkan angka kunjungan wisatawan hingga jutaan orang per tahun, namun di sisi lain ada pembatasan kuota masuk TNK yakni 250 ribu orang. Ini kontraproduktif, kami sebagai pelaku pariwisata bingung, saya sebagai Ketua Asosiasi Hotel dan Restoran di Labuan Bajo ini merasakan sekali bagaimana selama dua setengah tahun pandemi Covid-19 tingkat okupansi hotel yang jatuh," katanya saat ditemui di Kantor DPRD Mabar, Senin 4 Juli 2022.
Menurutnya, kebijakan tersebut akan berdampak kepada kurangnya pendapatan masyarakat yang bergantung pada tingginya angka wisatawan ke Labuan Bajo.
Baca juga: Kecelakaan Kapal Wisata di TNK, Satu Wisatawan Meninggal dan Satu Hilang
"Pertanyaan kami, apakah ada studi bahwa orang-orang yang ke Labuan Bajo adalah orang-orang kelas atas semua, sementara harapan kami adalah orang-orang biasa, backpacker yang bisa membeli karcis dengan murah. Menjadi ukuran adalah distorsi pembangunan pariwisata terhadap peningkatan ekonomi masyarakat, bukan hanya kepentingan segelintir orang atau elit, tapi kepentingan masyarakat Manggarai Barat," jelasnya.
Kebijakan tersebut, lanjut dia, dinilai sangat kontraproduktif dengan komitmen pemerintah daerah menjadi sektor pariwisata sebagai lokomotif pembangunan.
"Pemda Manggarai Barat menjadi pariwisata sebagai leading sector, kalau leading sector berarti menggerakkan ekonomi masyarakat pada umumnya. Ini bukan wacana sudah ada penandatanganan kerja sama antara Pemerintah Provinsi NTT dan Balai TNK, jadi akan melakukan pada 1 Agustus mendatang," katanya.
Kebijakan tersebut akan berdampak juga terhadap pelaku UMKM yang menggantungkan usahanya dari kunjungan wisatawan yang tinggi ke Labuan Bajo.
"Kami rasa khawatir, kami melihat taman nasional seperti Galapagos di Pasifik tidak seperti itu, memang mereka mengutamakan konservasi, tetapi mereka melihat dampaknya kepada masyarakat. Di Labuan Bajo ada ratusan UMKM, kalau orang yang datang dibatasi bagaimana nasib UMKM, hotel dan restoran ke depan," tandasnya.
Baca juga: Polisi Tunggu P21 Dari Kejaksaan Kasus Pemboman Ikan di Kawasan Taman Nasional Komodo
Terpisah, Ketua DPRD Manggarai Barat, Martinus Mitar mengatakan, kenaikan tiket masuk ke TNk boleh-boleh saja, asalkan harus berdampak bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat di daerah itu.
"Jika wacana ini benar, kita sepakat, tetapi kenaikan itu harus berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat dan PAD," katanya.
Pihaknya pun mengakomodir penolakan para pelaku pariwisata atas kebijakan tersebut.
Menurutnya, bila informasi kenaikan tiket Pulau Komodo, TNk menjadi keputusan final, perlu keterlibatan semua stakeholder yang bergelut di bidang Pariwisata dalam menelurkan sebuah kebijakan.
Terlebih, lanjut dia, kebijakan tersebut berdampak bagi kepentingan masyarakat secara luas.
"Sejauh ini DPRD Mabar belum mendapatkan keputusan resmi terkait isu tersebut. Tetapi sekali lagi, itu harus berdampak terhadap perekonomian masyarakat dan penerimaan daerah," ujarnya.
Pelaku Pariwisata dan DPRD Gelar RDP
Sebanyak 14 asosiasi di sektor pariwisata mendatangi DPRD Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) menolak wacana Pemerintah Provinsi NTT dan Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) yang berencana pada 1 Agustus 2022 mendatang menetapkan biaya ke kawasan konservasi Taman Nasional Komodo (TNK), menjadi Rp 3,75 juta per orang untuk periode satu tahun.
Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait wacana tarif masuk TNK yang mencapai Rp 3.7 juta di Aula Kantor DPRD Manggarai Barat, Senin 4 Juli 2022 itu dipimpin Wakil Ketua DPRD Mabar, Marselinus Jeramun didampingi Ketua DPRD Mabar, Martinus Mitar.
Sebanyak 14 pelaku pariwisata yang hadir diantaranya, ASITA (Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia), Asosiasi Kapal Wisata (Askawai), Persatuan Penyelam Profesional Komodo (P3KOM), GAHAWISRI (Gabungan Pengusaha Wisata Bahari dan Tirta), PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia), HPI (Himounan Peramuwisata Infonesia), Astindo (Asosiasi Travel Agen Infonesia), dan AWSTAR (Asosiasi Angkutan Wisata Darat Labuan Bajo).
Selanjutnya, Formapp (Forum Masyarakat Peduli dan Penyelamat Pariwisata), IPI (Insan Pariwisata Indosesia), DOCK (Dive Operator Comunity Komodo), JANGKAR (Jaringan Kapal Rekreasi), AKUNITAS Mabar (Asosiasi Kelompok Usaha Unitas) dan BPLP (Barisan Pengusaha Pariwisata Labuan Bajo).
"Kenaikan tiket tersebut kami dengan tegas menolak," kata Ketua PHRI Cabang Manggarai Barat (Mabar), Silvester Wanggel.
Dalam kesempatan itu, mereka juga menyampaikan tuntutan dan memberikan pernyataan sikap yang ditandatangani bersama.
Dalam pernyataan sikap, para pelaku menilai pertama: Kebijakan kenaikan harga tiket ke Pulau Komodo hanya akan bisa dijangkau oleh pasar menengah ke atas. Sampai sekarang, belum ada survey terkait besaran jumlah segmen ini. Kami menilai kebijakan ini akan berdampak pada penurunan jumlah kunjungan wisata atau pembatalan reservasi calon klien kami.
Kedua: Argumen konservasi yang dipublikasikan di beberapa media sangat tidak masuk akal. Ini dikarenakan :
a. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa peningkatan jumlah kunjungan wisatawan berdampak penurunan jumlah Komodo. Bahkan pada tanggal 2 Maret 2022, Balai TNK justru menyatakan bahwa populasi Komodo selalu bertambah dari tahun 2018-2021.
b. Zona pemanfaat wisata di Pulau Komodo adalah sebesar 1,3 persen dari total
luas wilayah Pulau Komodo (1.300 Ha). Jumlah Komodo yang ada pada zona pemanfaatan wisata Pulau Komodo pada kisaran 60-70 ekor dari 1700-an ekor populasi Komodo pada pulau tersebut, mayoritas Komodo hidup di zona inti. Bahkan maksimal belasan ekor yang biasa dijumpai bila pelaku wisata melakukan trekking di zona pemanfaat wisata.
c. Penelitian terkait perilaku Komodo dilakukan pada tahun 2018. Dengan
berdasar pada penelitian ini, aktivitas feeding pun dilarang. Tapi, dari 2018-2022 tidak ada penelitian terbaru terkait perilaku Komodo. Artinya, hasil penelitian tahun 2018 tidak bisa menjadi argument valid sebagai dasar
kebijakan penaikan harga tiket.
d. Pemerintah memberlakukan kebijakan konservasi yang berbeda atas objek yang sama. Komodo yang sama bisa dilihat oleh banyak orang di Rinca tapi Komodo di Pulau Komodo hanya bisa dilihat oleh sedikit orang.
Ketiga: Meminta Bupati Manggarai Barat untuk menarik pernyataannya yang mendukung penerapan kebijakan menaikan harga tiket sebesar Rp 3.75 juta ke Pulau Komodo karena alasan konservasi, seperti yang diberitakan pada beberapa media. Selain pernyataan tersebut tidak didasari kajian dan pertimbangan yang
matang, juga karena pernyataan tersebut akan menyebabkan menurunnya animo wisatawan untuk mengunjungi Manggarai Barat.
Tokoh masyarakat sekaligus tokoh pariwisata Manggarai Barat, Pastor Marselinus Agot, SVD dalam RDP mengatakan, kebijakan tersebut dinilai 'melecehkan' pemerintah daerah.
"Ini kesannya pelecehan terhadap pemerintah daerah, baik legislatif maupun eksekutif. Ini sangat total, pemerintah pusat memaksakan untuk dijalankan di daerah otonomi. Sehingga Kita tidak boleh biarkan. Taman Nasional Komodo berada di daerah ini, di mana otonomi daerah ini, nanti ada kesan bahwa di sini ada beberapa bupati ini tidak boleh terjadi," katanya.
Menurutnya, kebijakan tersebut tidak melibatkan masyarakat lokal dan pemerintah daerah yang memiliki wilayah secara administratif.
"Ini juga pelecehan terhadap kearifan lokal yang kita junjung hingga hari ini, kita kenal lonto leok duduk bersama, runding bersama. Ini tidak dijalankan oleh tingkat pusat, apakah mau kita biarkan seperti ini?," jelasnya.
Lebih lanjut terkait konservasi, berdasarkan penelitian dari Yayasan Survival Program TNK, populasi Komodo saat ini meningkat.
"Tahun 2018 ada 2.897 ekor Komodo, naik selanjutnya pada tahun 2019 menjadi 3022 ekor, tahun 2020 naik lagi jadi 3.163 ekor dan pada tahun 2021 sebanyak 3.303 ekor. Jadi kalau alasan pemusnahan Komodo karena alasan banyak wisatawan yang masuk, Saya kira tidak masuk akal. Bongkar mafia ini, apakah mafia kelompok, mafia partai dan lain sebagainya, kita harus bongkar," katanya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Fraksi PDIP DPRD Mabar, Robertus Loymans mengaku menolak kebijakan tersebut.
Menurutnya, berbagai kebijakan pemerintah pusat seperti wacana kenaikan harga tiket tersebut tidak mengakomodir berbagai masukan dari akar rumput seperti para pelaku pariwisata di Labuan Bajo.
"Pemerintah pusat tidak pernah sedikitpun mengajak berdiskusi dengan stakeholder stakeholder yang ada di Manggarai Barat. Karena itu kami juga sesalkan isu kenaikan tiket ini," sesal Robert.
Kebijakan tersebut menurutnya bentuk sikap arogansi pemerintah pusat yang tidak mengakomodir kepentingan stakeholder lain di tingkat lokal.
"Karena itu, saya selaku ketua Fraksi PDI Perjuangan sangat menyesalkan kebijakan tersebut," tutupnya.
Wakil Ketua DPRD Mabar, Marselinus Jeramun mengatakan setiap aspirasi akan dilanjutkan untuk diperjuangkan oleh DPRD Kabupaten Mabar.
Dalam RDP tersebut, Komisi III DPRD Mabar diberikan tanggung jawab untuk melakukan rapat bersama dengan semua pihak, termasuk dengan pihak Balai TNK dan Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores atau BPOLBF terkait wacana kebijakan tersebut. (*)