Berita NTT Hari Ini
Sajeng Patala, Tuak Aren Bali yang Sarat Makna
Minuman beralkohol di Indonesia bukan sesuatu yang baru. Beberapa daerah bahkan memiliki minuman tradisional
Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Ferry Ndoen
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Michaella Uzurasi
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Minuman beralkohol di Indonesia bukan sesuatu yang baru. Beberapa daerah bahkan memiliki minuman tradisional yang diproduksi turun temurun.
Jika selama ini minuman keras dari Bali yang paling dikenal adalah arak, maka saat ini, Ari Putra bersama kelima temannya dari Pandawa Multifest mengangkat kembali minuman tradisional Bali yang bernama Sajeng.
"Covid adalah sebuah bencana buat kita semua, sedunia lah. Tapi dibalik bencana itu ada berkah karena gara - gara covid saya dan teman - teman saya tidak punya kerjaan jadi waktu itu punya waktu untuk membuat sesuatu. Nah lahirlah sebuah mahakarya yang dibalut oleh ikatan emosional, idealis dari sahabat saya, lahirlah Sajeng Patala namanya," kata Ari dalam Podcast Pos Kupang, Rabu, 22/06/2022.
"Sajeng kalau biasa dibilang arak tapi sebenarnya jauh sebelum ada akulturasi budaya datang ke Indonesia, orangtua, leluhur kami di Bali itu sudah punya minuman beralkohol yaitu Sajeng. Ada yang disebut Sajeng Matah atau Sajeng yang belum diapa - apain, Sajeng Rateng tuak yang sudah didestilasi sudah disuling," lanjutnya.
Ari menjelaskan, misinya bersama lima temannya di Pandawa Multifest adalah ingin mengangkat warisan leluhur yang sangat mulia sehingga diangkatlah Sajeng.
"Kami di Bali punya Sajeng dan bukan disebut arak. Kami lagi merintis untuk bagaimana Bali itu punya Sajeng seperti Kupang ini punya sopi. Padahal bahannya sama," jelasnya.
Menurut Ari, sebelum ada akulturasi budaya Cina di Bali, ada tiga elemen, tiga jenis palm yang dipakai untuk membuat Sajeng yakni kelapa yang menghasilkan arak kelapa, lontar dan aren.
"Untuk Sajeng Patala ini sendiri, kita memilih untuk memakai aren karena aren itu bagi saya adalah pohon yang sangat sakral. Dari baru mulai bikin tuaknya dia harus melalui ritual," ungkap Ari.
Dijelaskan, membuat tuak aren tidak gampang karena langkahnya berbeda dengan lontar.
Dari berbagai macam sumber yang pernah ditanya Ari, jika petani tuak bertengkar dengan isteri atau pasangan di rumah maka tuak itu tidak akan keluar.
"Segitu sakralnya," tukasnya.
Untuk membuat tuak aren Ari dan teman - temannya bekerjasama dengan 104 petani di Desa Sangkan Gunung, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem, Bali.
"Maksud kami adalah kami membangun sebuah ekosistem. Ekosistem yang kami bangun itu dari hulu ke hilir dimana hulunya itu adalah petani, hilirnya itu adalah distributor yang akan menjual produk kami dan kami lah yang di tengah - tengah ini," kata Ari.
Lanjut dia, tujuan membangun ekosistem ini adalah karena sebelumnya pada masa pandemi COVID-19, orang - orang membuat tuak karena tidak ada pekerjaan sehingga ketika covid berhenti, pariwisatanya sudah berjalan normal lagi kemungkinan petani - petani tuak tidak akan membuat tuak lagi karena mereka sudah punya penghasilan lain yang lebih menjanjikan.