Berita Kota Kupang Hari Ini
Monumen Sonbai Jadi Taman Gemerlap, Hiasi Wajah Kota Kupang di Malam Hari
Perubahan Monumen Sonbai menjadi taman gemerlap diakui oleh masyarakat telah menjadi wajah baru Kota Kupang
Penulis: Ray Rebon | Editor: Edi Hayong
"Terus terang perjuangan dari Sobe Sonbai III ini tidak diketahui oleh milenial sekarang. Jangankan anak muda, orang tua pun tidak tahu karena orang NTT tidak belajar sejarahnya sendiri," kata dia.
Baca juga: Wali Kota Kupang Jefri Sebut PT Sasando Bakal Kelola Taman Wisata Kuliner
Ia menilai hal ini dipengaruhi juga oleh kurikulum pendidikan di Indonesia selama ini monoton mengangkat sejarah dari daerah-daerah lain seperti Jawa dan Sumatera dibandingkan sejarah lokal NTT.
Literatur mengenai tokoh-tokoh sejarah lokal NTT juga masih kurang ditulis dan diterbitkan kepada khayalak padahal banyak penelitian sejarah yang sudah dilakukan sejak lama di NTT.
Beberapa hal ini menyebabkan tenaga pendidik di NTT tidak paham benar soal sejarah daerahnya sendiri dan lebih paham sejarah-sejarah pahlawan dari luar.
Untuk itu, ia berharap Taman Sonbai dapat lebih interaktif menggunakan media literasi dan edukasi kepada publik yang berkunjung ke taman tersebut. Tidak saja menjadi spot wisata tetapi masyarakat akan mendapatkan pengetahuan sejarah.
"Patung itu hanya simbol tetapi ada cerita seperti relief atau semacam ada alat atau orang yang menceritakan hal ini, entah apa, sehingga anak-anak yang mengunjungi tempat itu tahu cerita dibalik perjuangan Sobe Sonbai III," kata dia.
Baca juga: Jokowi Resmikan Tiga Lokasi Wisata Kuliner dan Taman, Terkesan Pembangunan Kota Kupang
Zakaria juga menjelaskan riwayat perjuangan Sobe Sonbai III yang merupakan Raja Oenam di Pulau Timor dan diabadikan menjadi monumen yang kini dapat ditemui di Taman Sonbai.
Raja Sobe Sonbai III, jelasnya, melakukan perlawanan keras terhadap kolonialisme Belanda hingga dirinya meninggal dan dikuburkan di sekitar Benteng Concordia Kupang. Tetapi pihak Belanda letak pasti makam Sobe Sonbai III dan tidak diketahui sampai sekarang.
"Sobe Sonbai III tidak sudi wilayahnya diambil oleh Belanda yang mencaplok wilayah kerajaan, termasuk Kauniki, pada masa Raja Sonbai sebelumnya berdasarkan perjanjian Paravicini tahun 1756," ungkapnya.
Paravicini adalah kontrak dagang yang ditandatangani oleh semua raja yang berada di Pulau Timor dengan VOC.
Kontrak itu berisi persetujuan memberikan daerah 6 pal (zes palen gabied) atau luas daerah dengan jarak 9 kilometer ke darat mulai dari Tanjung Oesinas sampai dengan Tanjung Sulamu untuk pemerintah Belanda.
Baca juga: Potret Aktivitas Petugas Kebersihan Pertamanan di Kota Kupang
"Wilayah Oepaha mengitari Pantai Barat Pulau Timor terus ke arah Utara kupangp tarus Baubau, Pariti hingga perbatasan Timor Leste yang merupakan Kerajaan Ambenu saat itu. Daerah zes palen gabied yaitu daerah enam pal dihitung dari garis pantai ketika air surut," jelas dia.
Ia menyebut zes palen gabied adalah daerah yang tidak boleh ditempati oleh orang Timor dan harus dikosongkan enam pal atau kurang lebih 9 kilometer dari pantai.
Masyarakat Rote kemudian ditempatkan Belanda di wilayah zes palen gabied tersebut sebagai perisai terhadap serangan dari masyarakat Timor yang dipimpin Sonbai III. Menurutnya, ini bagian dari politik pecah belah yang dilakukan pihak Belanda saat itu.
Pada tahun 1903 Sobe Sonbai III melakukan penyerangan melawan Belanda sehingga terjadi Perang Bipolo. Kemenangan diraih oleh Sobe Sonbai III dan karenanya memancing Belanda membuat serangan balasan terhadap Sobe Sonbai III. Serangan satu malam itu juga menyebabkan Desa Nunkurus terbakar.