Opini

I Agree with Doctor Brigjen Ben Mboi At This Point

Sebagai leader government di daerah ini, beliau sangat bernas merekam apa yang penting dan apa yang urgen dibutuhkan oleh rakyat NTT.

Editor: Agustinus Sape
DOK
Gubernur NTT periode 1978-1988, dr. Brigjen Aloysius Benediktus Mboi. 

I Agree with Doctor Brigjen Ben Mboi At This Point

Oleh: Eddy Ngganggus

POS-KUPANG.COM - Sebagian simpton kemiskinan di Nusa Tenggara Timur (NTT) berupa kekurangan pangan sudah berhasil diredakan oleh Ben Mboi, Gubernur NTT periode tahun 1978 - 1988 dengan Program Operasi Nusa Makmur dan Operasi Nusa Hijau sebagai prime policy saat itu ditunjang dengan secondary policy seperti industri Semen Kupang yang masih berdiri hingga saat ini, meskipun size bisnisnya tidak sebesar ekspektasinya saat itu, mampu berproduksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam NTT, selebihnya baru diekspor ke luar NTT.

Sebagai leader government di daerah ini, beliau sangat bernas merekam apa yang penting dan apa yang urgen dibutuhkan oleh rakyat NTT. Ia bisa peka memisahkan secara tegas yang penting dari yang urgen.

Yang urgen lebih mendesak dari yang penting. Manusia NTT bisa makan tiga kali sehari adalah hal yang urgen, bisa berpakaian yang rapi adalah hal yang penting.

Berangkat dari reason seperti itu, ia mengutip kata-kata James Madison, “A good government implies two things: first, fidelity to the object of government, which is the happiness of the people; secondly, knoweldge of the  means by which that object can be best attained”.

Sebuah pemerintahan yang baik menyiratkan dua hal, yakni: pertama, kesetiaan pada pada tujuan pemerintahan, yaitu kebahagiaan rakyatnya, dan yang kedua, pengetahuan tentang cara-cara atau instrumen apa untuk mencapainya (mencapai point pertama).

Sebuah rujukan yang  dipakai sangat rasionil sekaligus humanis. Setia yang didasari atas pengetahuan yang cukup akan kebutuhan rakyat yang dipimpinnya.

Dua hal, Kesetiaan dan Pengetahuan, menjadi kapasitas dwitunggal dalam diri sang Gubernur, yakni memiliki minimal dua kapasitas yaitu kapasitas teknis dan kapasitas etis.

Tidak cukup jika ia memiliki kecerdasan intelek saja, namun pada saat yang bersamaan ia memiliki kecerdasan rasa.

Pak Ben Mboi kebetulan satu klan dengan penulis, sama-sama berasal dari Klan Pongkor. Jika beliau dari sub Klan Niang Wowang, penulis dari sub Klan Nangka.

Mengapa perlu kesamaan genealogis ini saya sertakan? Saya mau menggambarkan bagaimana rasa saya sebagai orang yang satu klan dengan beliau menyelami kecerdasan rasa yang beliau miliki, dikaitkan dengan keterlibatan Pak Ben kepada klan dari mana ia berasal.

Sejak pak Ben menjadi Gubernur hingga beliau pensiun dari jabatan Gubernur, Kampung Pongkor amat sulit dijangkau karena jalannya tidak beraspal. Puskesmas yang layak tidak dibangun, sekolah yang layak juga tidak dibangun di wilayah kampung Pongkor.

Bisa saja dengan jabatan beliau sebagai Gubernur saat itu dapat mengarahkan proyek-proyek yang ada di dalam previlese dan kuasa beliau ke Pongkor. Namun hal itu tidak dilakukannya.

Rupanya cara pandang primordial kedaerahan tidak menggerus rasionalitas dan humanitasnya, karena kebutuhan NTT secara keseluruhan menjadi orientasi pembangunan beliau.

Sebagai sesama satu klan sempat saya berpikir minor tentang sikap beliau, tega sekali ia tidak memperhatikan kampung halaman tempat ia dilahirkan yang dari tanah dan air di kampung itu ia telah dibesarkan.

Namun kelak setelah dewasa mindset saya berubah bahwa pembangunan itu bukan saja soal kemajuan suatu wilayah, tetapi  distribusi pembangunan yang merata di seluruh wilayah yang dipimpinnya jauh lebih urgen.

Distribusi yang merata ke seluruh wilayah tanpa membuat previlese khusus buat kampung dari mana ia berasal, buat yang sesuku dari mana dia berasal.

Di sini tampak bagaimana kapasitas rasa/ empati yang dimiliki pak Ben diintegrasikan ke dalam rasionalitasnya menjadi sebuah kekuatan yang serempak cerdas dan mulia.

Inilah model leadership ideal yang mestinya menjadi orientasi semua pimpinan pada level apa saja.

Semoga sejarah kepemimpinan yang sudah ditorehkan beliau dapat menjadi teladan kita.

Bukankah sejarah adalah cara semesta berpetuah kepada kita? Pada titik ini I agree with Doctor Brigjen Aloysius Benediktus Mboi. *  

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved