Cerpen

Surat Sakti untuk Umbu 

Umbu, surat sakti ini Bapak tulis akhir Januari 2022 ketika hujan air mata sudah berhenti. Sekarang Bapak sudah sehat walafiat.

Editor: Agustinus Sape
KOMPAS.com
Ilustrasi 

Surat Sakti untuk Umbu 

Cerpen: Aster Bili Bora

POS-KUPANG.COM - Salam jumpa, anak sayang. Sudah lama tidak bertemu. Maklum jauh: Umbu di kota, Bapak di kampung. Sesungguhnya bisa saja kita saling menyapa, namun aturan belum membolehkan karena handphone Umbu sedang diamankan pihak berwajib.

Dengan putusnya komunikasi antara kita, hati Bapak tidak nyaman, lebih-lebih ketika mendengar kabar burung, bahwa tidak lama lagi kasusnya akan dilimpahkan ke pihak kejaksaan.

Sebelum berkasnya dikirim, Bapak akan usahakan semaksimal mungkin, sejauh masih ada ruang yang terbuka, agar kasusnya dipending dan selanjutnya diselesaikan secara kekeluargaan.

Jika dikabulkan permintaan Bapak, maka syukur puji Tuhan kita kembali bersatu dengan suka cita, tanpa harus melihat apa yang sudah terjadi di belakang.

Manakala polisi tidak mengabulkan permintaan Bapak lalu perkaranya tetap dilanjutkan dengan alasan tertentu, maka dari ujung kaki sampai ujung rambut Bapak mohon maaf sebesar-besarnya.

Saya berharap anak Umbu tetap berjiwa besar menerima kenyataan, apa pun bentuknya, karena negara kita memiliki hukum dan perundang-undangan yang berlaku sama bagi setiap warga negara.

Memang kalau sedikit kembali mengingat, tentu dalam hati ada penyesalan mengapa hal itu harus terjadi. Masalahnya kecil dan tidak berarti.

Manakala tidak tersulut emosi atas tusukan pihak  tertentu, entah sengaja atau tidak sengaja merusak keutuhan keluarga, maka tidak akan ada masalah. Kita pasti baik-baik saja, rukun-rukun saja dalam kehidupan keluarga dan dalam lingkungan sosial.

Sakit hati Bapak telah selesai. Dengan jiwa besar Bapak menerima kenyataan sebagai takdir hidup, bahwa di usia 60-an Bapak menderita hampir mati dipukul anak kandung sendiri yang bernama Umbu.

Banyak pihak yang prihatin dan katakan “kasihan sekali” karena  Bapak ditarik paksa dari dalam toko, diseret, dan diinjak macam pencuri yang  ketangkapan di konter.

Ketika Bapak berteriak, “Umbu.., Umbu.. cukup sudah” karena pinggul dan belakang kesakitan macam patah tulang, Umbu makin tensi dan injak tambah mulut Bapak karena Umbu menilai Bapak orang tua “munafik”.

Waktu kejadian banyak  yang menyaksikan, tetapi tidak ada yang menegur. Dalam posisi Bapak telentang di bibir aspal jalan umum, Umbu mencari sesuatu dengan paksa dalam saku baju dan celana dalam Bapak. Rasa malu ketika itu tidak sedikit karena Bapak diperlakukan seperti kambing yang siap dihorok leher.

Bapak memberontak dan mempertahankan apa yang akan diambil dengan paksa. Karena apa yang dicari tidak diperoleh, maka Umbu tidak hanya menginjak mulut Bapak sampai berlumuran darah tetapi juga dengan kata-kata kasar bernada fitnah, seakan-akan hidup Bapak tidak berarti apa-apa sejak Umbu lahir sampai besar begini.

Sebelum Bapak pingsan seorang anak kecil dalam gendongan dengan sangat prihatin bertanya pada mamanya, “Kenapa si Dia?”

Hati Bapak tambah sedih di kala itu, karena anak kecil yang belum kenal huruf A sebesar lopo memiliki perasaan kasih, sementara…

Setelah seminggu Bapak keluar dari opname dan berada di rumah, video yang sangat viral itu dipertontonkan di depan Bapak. Kejadian awal di depan penjual Hanphone, ditarik paksa seperti orang PKI  yang siap ditembak mati di pantai Rua, dirogo-rogo, diinjak, kerumunan orang banyak yang menonton gratis, dan siapa yang angkat bapak ke rumah sakit;  semuanya lengkap dalam video.

Melihat ulang peristiwa tersebut, hati Bapak remuk-redam dan menangis terseduh-seduh karena anak kandung buat Bapak demikian.

Ketika itu, alam bawah sadar Bapak bertanya, “Seandainya orang yang menyiksa saya, maka siapakah yang  berani membela?”

Kalau akhirnya Umbu ditahan pihak yang berwajib semata-mata atas desakan publik dan relawan kemanusiaan.

Kakakmu yang di kampung, engkau jangan salahkan. Hatinya memberontak seperti halnya juga orang lain dengan komentar-komentar yang menyalahkan engkau, tetapi bukan dialah  pelapor kalau akhirnya  sampai engkau diciduk polisi. Kakakmu diam dan pasrah, karena dia tidak mau memperbesar rasa malu keluarga.

Kepada teman-teman dan juga kepada istrinya, ia sering berkata, “Kita percayakan saja pada penegak hukum. Bagaimana awal persaoalan, saya tidak ikut campur. Bapak rumah sendiri, Umbu rumah sendiri, dan kita juga sudah rumah sendiri. Prinsipnya, tidak mau intervensi.”

Dengan Umbu ditahan, tidak ada dari mulut Bapak yang keluar, ”Biar tahu rasa!” Sumpah demi Tuhan, karena engkau adalah tetesan darah Bapak yang terbentuk jadi manusia dalam rahim mamamu.

Haram untuk mengutuk dan membenci, entah apa pun alasannya, karena engkau adalah darah-daging saya sendiri. Justru saya terus berdoa kiranya Tuhan tetap memberikan berkat dan rahmat berlimpah kepada kalian semua.  

Bapak saat ini sudah sadari akar masalahnya. Ya, Bapak harus katakan bahwa Umbu tidak salah. Bapaklah yang salah dari awal mengapa manja kelewat bodoh. Sekarang orang tua petik hasilnya.

Di masa kecil engkau dimanja-manja. Apa pun yang engkau minta, jarang orang tua menolak. Bapak tidak hitung-hitungan karena engkau anak bungsu tumpahan kasih sayang terakhir bapak-mama.

Setelah engkau dewasa, lebih-lebih setelah engkau ada istri-anak, maka tidak seluruh yang engkau minta  dipenuhi karena orang tua mencintaimu dengan setulus hati.

Sejatinya Bapak tidak rela engkau menderita setelah orang tua mati. Sebab itu, selama Bapak masih hidup, Bapak tidak terus-menerus memberi setiap apa yang engkau minta.

Maksudnya apa, supaya engkau belajar tentang kehidupan nyata. Engkau tahu suka-dukanya sehingga nanti engkau menjadi manusia sukses yang pantang menyerah.

Ketika engkau dewasa, Bapak beri pancing sehingga engkau pancing sendiri ikan dari kolam kehidupan. Seandainya Bapak berikan  terus setiap apa yang engkau minta, maka Bapak sangat takut kalau nanti engkau hanya mampunya meminta.

Engkau bukanlah manusia boneka, Umbu! Bapak mau engkau jadi manusia sukses seperti yang lain, dan kalau boleh melebihi yang lain.

Di sinilah bedanya engkau dengan Bapak. Umbu menuntut supaya Bapak perlakukan engkau yang sudah dewasa sama dengan ketika engkau masih kecil. Karena perlakuannya beda, maka engkau menghajar Bapak yang  menurut penilaianmu sendiri Bapak jahat, kikir, dan pelit sehingga tidak beri ATM dan PIN ATM.

Ya, Bapak terima kenyataan, Bapak babak belur, pingsan, dan masuk rumah sakit. Mungkin saja mamamu yang  sudah mati, seandainya saja masih hidup dan menyaksikan langsung dalam video yang viral, maka pasti saja ia marah karena mama sungguh paham, bahwa jikalau bukan Bapak yang menabur benihdi rahim mamamu, maka tidak akan terjadi kamu ada bumi ini.

Tetapi Bapak tahu, mama kamu hanya marah sesaat. Dia bukan perempuan pendendam. Dia perempuan murah hati. Bapak sesalah apa pun, mama kamu selalu maafkan. Apa lagi anak kandung dari dirinya sendiri?

Umbu, sejujurnya saya katakan, bahwa Bapak sakit karena disakiti. Saya pingsan dan opname, tetapi untungnya Bapak masih hidup. Seandainya Bapak mati, maka yang malu bukan saya. Bapak sudah mati, mau tahu dari mana lagi. Kamu buang ke laut lepas atau kamu biarkan saja jasad Bapak dimakan anjing, daku panewiki, ango.

Cuma saja hati ini terus bersedih kalau cucu-cece yang tidak menyakiti, mereka memikul rasa malu sepanjang sejarah keturunan karena telanjur mereka memiliki ayah yang  membunuh ayah kandungnya.

Sesungguh tidak beralasan engkau membenci Bapak. Kamu cuma dua orang yang bersaudara. Harta warisan sudah dibagi rata, dan masing-masing anak dengan rumah tangganya sendiri.

Baik buruknya rumah tangga kalian, ada di tangan kamu sendiri. Bapak sesekali boleh menolong di kala kamu sangat sulit, tetapi tidak setiap hari.

Tentu  kamu akan malu kalau kamu hanya kerjanya meminta dan meminta, entah kepada siapa pun. Kamu masih muda, sedangkan Bapak sudah tua.

Jika Bapak sulit dan susah karena faktor usia lamban berjalan, maka sesungguhnya kepada kamulah Bapak berharap karena kamu adalah darah-daging.

Itu cuma Bapak berharap. Apakah nanti harapan benar jadi kenyataan, tentu ada dalam hati dan perasaan kalian sendiri.  

Jika tidak menjadi sebuah kenyataan, dan bahkan hanya harapan palsu belaka, maka sedikit pun Bapak tidak akan katakan “anak kualat”. Umbu adalah darah daging Bapak, bukan palsu.

Terkutuklah kalau ada dalam relung hati saya sebuah penyangkalan, bahwa Umbu bukan anak kandung. Sumpah demi Tuhan, Umbu anak kandung Bapak. Mamamu seorang perempuan yang paling setia, apa lagi dia seorang guru, tidak sembarang dalam pergaulan.

Dengan tindakan Umbu menyiksa orang tua, publik menilai bahwa engkau anak durhaka, kualat, dan tidak tahu berbalas budi.

Ya, sudahlah, anak! Orang punya kebebasan untuk menilai apa yang sudah terjadi. Kita ambil saja nilai positifnya, untuk refleksi demi perbaikan di kemudian hari.

Bapak mungkin saja ikut-ikutan mengatakan, bahwa kamu tidak baik karena memang saya rasakan betapa sakitnya diri Bapak saat itu. Tetapi Bapak sangat percaya, bahwa dengan campur tangan Tuhan suatu waktu kamu baik dan berbuat baik pada Bapak.

Di kala engkau melakukan yang terbaik dalam hidupmu dan juga berbuat baik pada Bapak, maka di sanalah engkau mengalami kemenangan abadi. Tuhan pasti memberi engkau berkat dan rahmat berlimpah-limpah seperti yang engkau inginkan.

Di situlah engkau merasa, bahwa engkau berada dalam ruang pembelajaran yang tepat yang sangat berbeda ruang pembelajaran masa lalu yang disarati dengan masalah pembunuhan orang tua kandung, pemerkosaan terhadap saudari kandung, dan masih banyak lagi yang lain.

Cukup sudah dengan satu peristiwa yang terjadi pada diri bapak. Untung Bapak sendiri yang jadi korbannya. Kalau korbannya orang lain, maka tidak tahu apa yang terjadi, mungkin saja kita yang satu turunan disapu habis.

Setelah jadi orang bebas bisa saja engkau lakukan perbuatan yang lebih kejam daripada yang Bapak rasakan seandainya engkau masih kembali di ruang pembelajaran yang salah.

Bapak berharap dan kiranya surat Sakti yang Bapak kirim dan Bapak pastikan sampai di tanganmu disimpan dengan rapi dan selalu dibaca demi masa depanmu yang lebih baik sebelum dan sesudah Bapak  mati.

Tetapi manakala takdir hidupmu yang Tuhan atur, engkau harus membunuh orang baru puas hatimu, maka janganlah jauh-jauh mencari. Bapak siap sorong leher dan Bapak tidak melawan. Demi Tuhan, Bapak tidak melawan kalau anak kandung yang haus darah. Setelah Bapak mati daku panewiki, ango…

Umbu, surat sakti ini Bapak tulis akhir Januari 2022 ketika hujan air mata sudah berhenti. Sekarang Bapak sudah sehat walafiat. Dengan Tuhan tolong Umbu juga pasti sehat dan ke depan Bapak yakin engkau baik. Salam damai dari SP 2.

Tambolaka, 16 Maret 2022

Catatan:

1. Daku panewiki, ango: tidak bicara (makna denotasi), tidak sumpah, tidak kutuk (makna konotasi)

2. Horok: sembelih, potong

 Aster Bili Bora, sastrawan tinggal di Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT. Email: asteriusbilibora@gmail.com

Antologi cerpennya: Bukan sebuah jawaban (1988), Matahari jatuh (1990),  Bilang saja saya sudah mati ( 2022), dan yang akan menyusul terbit: antologi cerpen Laki yang terbuang, dan antologi Lahore. Karya novel yang sedang disiapkan: Laki yang kesekian-sekian. Antologi bersama pengarang lain:  Seruling perdamaian dari bumi flobamora tahun 2018 , Tanah Langit NTT tahun 2021,  Gairah Literasi Negeriku tahun 2021 .

Baca juga: Seandainya Engkau Perempuan, Dia Tidak Akan Mati

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved