Berita Nasional
Jokowi Tekankan Digitalisasi untuk Meminimalisir Perilaku Koruptif di Birokrasi
Dalam sambutannya, Jokowi kembali membahas tentang birokrasi dan upaya meminimalisasi perilaku koruptif di lembaga-lembaga pemerintah.
Jokowi Tekankan Digitalisasi untuk Meminimalisir Perilaku Koruptif di Birokrasi
POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo alias Jokowi menghadiri acara Penganugerahan Kepatuhan Standaar Pelayanan Publik Tahun 2021 yang digelar Ombudsman RI di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Rabu 29 Desember 2021.
Dalam sambutannya, Jokowi kembali membahas tentang birokrasi dan upaya meminimalisasi perilaku koruptif di lembaga-lembaga pemerintah.
Jokowi berharap penyelenggara pelayanan publik terus menciptakan birokrasi yang berkelas dunia.
Untuk itu, Presiden meminta semua kementerian/lembaga meningkatkan inovasi digital untuk mencegah perilaku koruptif.
Menurut Presiden, sudah saatnya untuk mewujudkan birokrasi berkelas dunia secara merata di semua tingkatan di seluruh Indonesia.
"Kita tekan, kita minimalkan penyimpangan dan perilaku koruptif di semua lini, di semua lembaga," kata Jokowi.
Presiden juga mengatakan peningkatan digitalisasi penting untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, produktivitas, dan akuntabilitas setiap lembaga.
Terlebih di masa pandemi ini bisa dijadikan momentum tepat bagi penyelenggara pelayanan publik untuk bertransformasi dan memanfaatkan lebih banyak teknologi serta digitalisasi pelayanan.
Kepala Negara juga menyebut transformasi yang telah dilakukan di era pandemi dapat menjadi modal kuat untuk mengembangkan inovasi pelayanan publik.
Jokowi pun memerintahkan penyelenggara pelayanan publik terus meningkatkan pelayanan.
Presiden tidak ingin ada lagi lembaga yang lambat dan berbelit dalam memberikan pelayanan ke masyarakat.
"Mempermudah akses, memberikan pelayanan yang lebih cepat dan terjangkau," jelas Presiden.
Jokowi menambahkan, penyelenggara pelayanan publik tidak bisa bekerja biasa-biasa saja. Artinya perlu adanya mengubah cara berpikir, mengubah cara merespons, mengubah cara bekerja, orientasinya harus hasil untuk mewujudkan pelayanan yang prima. Dengan tujuan memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat dengan cepat dan tepat.
Namun, pelayanan publik yang prima memerlukan komitmen, memerlukan upaya bersama, sinergitas antar lembaga, memerlukan ikhtiar berkelanjutan, disiplin yang panjang, transformasi sistem, transformasi tata kelola, perubahan pola pikir dan perubahan budaya kerja.
Pada masa pandemi saat ini penyelenggara pelayanan publik diwajibkan bertransformasi memanfaatkan lebih banyak teknologi untuk melakukan tugas-tugas pelayanan, melakukan digitalisasi pelayanan untuk mempermudah akses, memberikan pelayanan yang lebih cepat dan terjangkau.
Oleh karenanya, Jokowi menyebut upaya transformasi yang telah dilakukan di masa pandemi dapat menjadi modal awal untuk mengembangkan inovasi pelayanan publik untuk menciptakan terobosan dan solusi.
Dalam pelaksanaan pelayanan publik yang berkualitas, perlu adanya penilaian kepatuhan guna melihat kemampuan, melihat keberhasilan, dan melihat kekurangan dalam proses pengembangan lembaga pelayanan publik agar semakin efektif, akuntabel, dan transparan.
"Saya mengapresiasi upaya Ombudsman Republik Indonesia untuk melakukan penilaian kepatuhan dalam meningkatkan pemenuhan hak masyarakat di dalam memperoleh pelayanan publik yang berkualitas," imbuhnya.
Ombudsman Bicara Pegawai Honorer
Sebelumnya, anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng menyebut, ada beragam masalah yang dijumpai dalam tata kelola tenaga honorer pada instansi pemerintah. Aneka masalah itu diidentifikasi Ombudsman dari hasil kajian sistemik yang mereka lakukan.
Salah satu masalah yang disoroti adalah soal proporsi kerja tenaga honorer yang tidak sebanding dengan pendapatan.
“Di sini isunya soal kesejahteraan, jaminan sosial, dan juga perlakuan atas tenaga honorer. Ibaratnya, ada yang mengatakan honorer itu gajinya jauh lebih kecil—sesungguhnya honorer tidak menyebutnya gaji, tapi gaji saja lah bahasanya—tapi pada konteks tertentu, pekerjaannya lebih banyak dari ASN-nya,” ungkap Robert dalam diskusi publik yang dihelat secara daring melalui akun YouTube Ombudsman RI, Selasa 28 Desember 2021.
“Mungkin juga ASN-nya entah ngapain, lalu honorernya yang kemudian mengerjakan pekerjaannya. Ini fakta, kita buka-bukaan saja,” tambahnya.
Di samping itu, penganaktirian tenaga honorer juga tercermin dari kebijakan instansi untuk pengembangan kompetensi sumber daya manusia.
Porsi pengembangan kapasitas SDM di instansi pemerintah, selama ini, lebih banyak diberikan bagi ASN. Padahal, instansi selalu memiliki kebutuhan terhadap tenaga honorer.
Tak jarang, tenaga honorer juga sudah berbakti di instansi tersebut selama bertahun-tahun. Ombudsman menemukan, tenaga honorer digunakan instansi pemerintah dari office boy hingga tenaga administrasi dan substansial.
“Jadi seolah-olah tenaganya digunakan tapi tidak dikembangkan kapasitasnya. Ya, ada 1-2 kegiatan, tentu, terkait pengembangan kapastias/kompentensi, tapi itu tidak terencana dan sistematis, sangat situasional,” ucap Robert.
“Kalau ada pelatihan ya dikirim. Ada seminar yang tidak bisa dihadiri ASN, maka honorer yang kemudian akan menggantikan. Kira-kira seperti itu cara kerjanya,” kata dia.
Atas masalah-masalah itu, Ombudsman menyampaikan sejumlah opsi perbaikan tata kelola tenaga honorer di instansi pemerintah.
Salah satu opsinya, memperlakukan tenaga honorer selaiknya karyawan.
“Hari ini tidak jelas. Honorer tidak mengikuti kerangka Undang-Undang ASN, tapi juga bukan dalam rangka seperti karyawan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Bagaimana honorer yang berkepastian dan berkesejahteraan juga harus diperjuangkan,” tutupnya.
Sumber: tribunnews.com/kontan.co.id/kompas.com
Berita Nasional lainnya