Frans Lebu Raya Meninggal

In-Memoriam Frans Lebu Raya (Bagian 1) Tanpa Tangan Tuhan Menjamah, Semuanya Tak Mungkin Terlaksana

sekira di atas pukul 14.00 Wita lokus Minahasa Utara, datang kabar duka berpulangnya Drs. Frans Lebu Raya, Gube

Editor: Ferry Ndoen
zoom-inlihat foto In-Memoriam Frans Lebu Raya (Bagian 1) Tanpa Tangan Tuhan Menjamah, Semuanya Tak Mungkin Terlaksana
foto kiriman Viktus Murin
Mendiang Frans Lebu Raya, bersama yuniornya di GMNI Kupang, Viktus Murin, pada momen syukuran sederhana wisuda kesarjanaan Viktus, September 1995.

Pos Kupang.com - In-Memoriam Frans Lebu Raya (Bagian 1)

“Tanpa Tangan Tuhan Menjamah, Semuanya Tidak Mungkin Terlaksana”
(Oleh: Viktus Murin)

Prolog Penulis:
Minggu siang, 19 Desember 2021, sekira di atas pukul 14.00 Wita lokus Minahasa Utara, datang kabar duka berpulangnya Drs. Frans Lebu Raya, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) dua periode; 2008-2013/2013-2018. Saat itu saya sedang bertelponan dengan Bung Fransiskus Roi Lewar mendiskusikan isu sensitif terkini yang ‘berseliweran’ di seputar partai kami, Partai Golkar.

Tiba-tiba Bung Roi meminta agar telpon disenyapkan sekelebatan waktu, karena ada telpon yang masuk ke ponselnya. Begitu tersambung kembali komunikasi kami, berita duka yang tak diinginkan itu datang. Kabar duka berpulangnya Pak “Frans” Lebu terdengar melalui Bung “Frans” Roi. Frans mengabarkan Frans. Ini bukanlah kebetulan.

Pada kira-kira dua pekan sebelum kabar lelayu ini, puji Tuhan, saya sempat menghubungi Ibu Lusia Adinda Lebu Raya; isteri Pak Frans, melalui saluran pesan WhatsApp, untuk menyampaikan doa bagi pengobatan dan pemulihan kesehatan Pak Frans.

Halmana setelah beberapa jam sebelumnya terbetik kabar dari sumber terbatas bahwa kondisi kesehatan Pak Frans ‘drop’ dan sedang dirawat di rumah sakit di Bali. Kaka Nona Uci (demikianlah kami menyapa Ibu Lusia) pun membalas WA saya, dan memastikan bahwa pesan mengenai topangan doa pasti disampaikan kepada Pak Frans, suaminya.

Kaka Nona Uci menginfokan, setiap kali ia pribadi selesai berdoa, ia langsung membisikkan ke telinga Pak Frans inti pesan dari para sahabat. Tetapi, seiring waktu berjalan, untung tak dapat diraih, malang tak kuasa ditolak.

Di luar tumpukan harapan atas kesembuhan Pak Frans, kehendak Tuhan sajalah yang jadi. Maka, rancangan Tuhan mesti ikhlas kita terima, sebab rancangan itulah yang terbaik! Seperti nabi Ayub bertutur dengan iman yang teguh-kokoh:

“Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” Sebagai rasa hormat, dan demi mengenangkan mendiang Pak Frans, saya tuliskan catatan “in-memoriam” mengenai beliau dalam tiga seri tulisan. Semoga bermakna bagi Sidang Pembaca di hari-hari perkabungan ini.*

Judul tulisan in-memoriam seri pertama di atas, saya kutip dari “kalimat berkadar hikmat iman” yang dulunya sering diucapkan oleh senior saya di organisasi, Frans Lebu Raya pada masa-masa kami bergelut di dunia aktivis pergerakan mahasiswa, yakni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Kupang.

Dalam interaksi kami, termasuk setelah kami menjadi alumni GMNI, setiap kali bersua wajah atau bertelpon, saya selalu menyapanya dengan sebutan “Senior”. Ini adalah sapaan akrab saya kepada beliau, sejak sebelum beliau menjadi pejabat publik di NTT, hingga beliau telah menjadi Gubernur NTT selama dua periode.

Seperti diketahui, sebelum menjadi gubernur, beliau menjabat Wakil Gubernur NTT satu periode (2003-2008) pada masa kepemimpinan mendiang Gubernur Piet Alexander Tallo. Sebelum menjabat Wagub, beliau adalah Pimpinan DPRD Propinsi NTT.

Kebersamaan saya bersama Senior Frans, bermula saat saya resmi diterima sebagai Aggota GMNI Cabang Kupang untuk Tahun Angkatan 1990, setelah lolos pada fase seleksi calon anggota pada Pekan Penerimaan Anggota Baru (PPAB).

ingat, lokasi favorit yang acapkali dipakai GMNI Kupang untuk melaksanakan kegiatan PPAB, adalah gedung sederhana di dalam area Stadion Merdeka Kupang. Apa mungkin nama stadion yang menggunakan kata “merdeka” ini, secara natur memiliki resonansi dengan “semangat merdeka” yang menyala-nyala pada kami aktivis GMNI? Walauhallambisawab. Entahlah.

Bagaimana sampai organisasi GMNI yang pada masa di mana kekuasaan rezim Orde Baru sedang kuat-kuatnya, bisa sampai berdiri di Kupang, jantungnya provinsi kepulauan ini?

Ketika itu, aroma ‘politik de-Sukarno-isasi’ masih begitu kuat terasa. Kaum aktivitas pergerakan dari organ-organ yang beririsan dengan ajaran-ajaran ideologinya Bung Karno sudah pasti jadi sasaran empuk ‘pemantauan’ intelijen rezim Orba.

Seperti menghadapi sorot mata elang yang tajam saat hendak terjun melandai untuk mencengkeram mangsanya, begitulah kira-kira situasi batin keberadaan dan tumbuhkembang GMNI di masa sukar ‘politik depolitisasi’ ala rezim Orba.

Tetapi, perahu pergerakan sudah dikayuh, layar ideologi telah dibentangkan, pantang surut kaki melangkah! GMNI mesti berdiri di bumi NTT, bumi Pancasila; tempat di mana Bung Karno merenungkan dan menggali Pancasila yang kemudia menjadi dasar negara dan basis filosofis pandangan hidup berbangsa.

Merujuk pada perjalanan sejarah berdirinya GMNI Cabang Kupang, maka ada dua orang yang patut disandingkan sebagai “founding fathers” GMNI di bumi NTT, yakni Senior Frans, dan Silvester Mbete (Bung Sil); putra NTT pertama yang menjadi pengurus pusat Presidium GMNI yakni pada periode 1989-1992.

Pada paruh awal perjalanan tahun 1989, Bung Sil mendapat tugas khusus dari Presidium GMNI di Jakarta yang saat itu dinahkodai duet Kristiya Kartika (Ketua) dan Heri Wardono (Sekjen), turun ke NTT untuk membawa surat mandat pembentukan “cabang caretaker” GMNI Kupang sekaligus penunjukan Frans Lebu Raya sebagai Ketua Caretaker GMNI Cabang Kupang.

Begitu banyak rekaman mengenai ziarah pengalaman idealisme yang terajut dalam benak dan hati mengenai kebersamaan kami di GMNI Kupang, yang tentu saja tidak dapat disuratkan dalam catatan in-memoriam ini.

Sehingga hanya beberapa momen penting dan atau istimewa saja yang akan dikenangkan mengenai kepemimpinan Senior Frans semasa kami ber-GMNI. Yang pasti, tiap kali menghadapi kesulitan perjuangan untuk menegakkan eksistensi organisasi GMNI Kupang, Senior Frans selalu memotivasi rekan-rekan pengurus cabang dan para anggota GMNI Kupang untuk yakin pada kehendak Tuhan, dengan kalimat khasnya: “Tanpa tangan Tuhan menjamah, semuanya tidak mungkin terlaksana”.

Tahun 1992, GMNI Kupang yang sudah berstatus defenitif untuk pertama kalinya mengikuti Kongres GMNI yang diselenggarakan di Batu-Malang, Jawa Timur. Kendati masih berusia “seumur jagung” kiprah GMNI Kupang berdinamika dan berargumentasi dalam persidangan Kongres GMNI relatif mengejutkan dan menggentarkan aura “cabang-cabang tua”. Ini sungguh merupakan kebanggaan historis bagi GMNI Kupang yang dipimpin “duet Frans” yakni Senior Frans sebagai Ketua, dan Bung Niko Frans sebagai Sekretaris.

Tahun 1993. Transisi kepemimpinan GMNI Kupang pun bergulir untuk pertama kalinya. Posisi ketua cabang yang sebelumnya diemban Senior Frans, beralih ke Bung Niko. Sedangkan posisi sekretaris cabang yang disandang Bung Niko, diestafetkan ke tangan saya. Puji Tuhan.

Pada tahun itu, saya sendiri sudah bergelut secara profesional sebagai wartawan Pos Kupang. Pada paruh akhir tahun 1992, saya masuk ikut test wartawan Pos Kupang angkatan perdana dan lolos test, sekembalinya kami mengikuti Kongres GMNI di Batu-Malang. Di bawah Kepemimpinan Bung Niko dan saya berlangsung hingga tahun 1996, untuk kemudian dialihkan lagi ke generasi berikutnya.

Tahun 1995. Berpisah kota tempat domisili dengan Senior Frans pada tahun 1995, sesudah saya pamitan dari Pos Kupang, untuk kemudian hijrah ke Jakarta menjadi wartawan harian Berita Yudha. Saat di Jakarta, sesuai kesepakatan DPC GMNI Kupang saya tetap menjalankan tugas-tugas organisasi sebagai sekretaris cabang, dengan fokus membuka dan memperluas akses sinergi GMNI Kupang dengan simpul-simpul alumni GMNI di aras nasional. Pasca pindah dari Kupang, kontak komunikasi saya dan Senior Frans secara face to face menjadi terbatas.

Namun begitu, setiap kali Senior Frans bertugas ke Jakarta, baik ketika masih memimpin LSM “Yasmara” (Yayasan Masyarakat Sejahtera), bahkan hingga belasan tahun kemudian setelah beliau menjadi petinggi Propinsi NTT, Senior Frans selalu menyempatkan waktu bertemu dan bersilaturahim dengan kader-kader GMNI asal NTT yang ada di Jabodetabek.

Demikian pun saya, setiap kali ada kesempatan pulang sejenak ke NTT dan atau bertugas kantor di NTT, saya pasti datang “melapor” ke Senior Frans di kantornya.

Meloncat jauh ke dimensi waktu yang lain, tahun 2005. Saat itu, puji Tuhan, saya sedang mengabdi sebagai Tenaga Ahli Menteri (TAM) untuk Menteri Pemuda dan Olahraga, Dr. H. Adhyaksa Dault, M.Si pada era kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhooyono dan Wapres Jusuf Kalla (SBY-JK). Bung Adhyaksa yang adalah sahabat aktivis saya sejak masa perjuangan pra-era reformasi, dalam kapasitasnya sebagai Menpora RI memberikan amanah kepada saya untuk menjadi penulis pidato menteri (speech writer).

Pada tahun 2005 inilah, saya kembali bertemu dengan Senior Frans yang saat itu sedang menjabat Wakil Gubernur NTT. Kami bertemu di acara pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Bidang Pemuda dan Olahraga (Rakornas Pora) di Istana Negara yang dibuka langsung oleh Presiden SBY, Senior Frans hadir sebagai representasi Pemprov NTT.

Tatkala mengikuti pembukaan Rakornas Pora itu, Senior Frans duduk di barisan depan, kursi yang disiapkan untuk para kepala daerah. Saya duduk pada barisan kursi tengah, agak di belakang, kursi yang disiapkan untuk jajaran panitia Rakornas Pora. Tibalah sesi sambutan sebagai laporan Menpora kepada Presiden.

Menpora Adhyaksa pun membacakan sambutannya di hadapan Presiden SBY dan hadirin. Dalam untaian kalimat pidatonya, terdengar suara lantang Adhyaksa membacakan kalimat ini: “Tanpa tangan Tuhan menjamah, semuanya tidak mungkin terlaksana” Dari arah belakang saya dapat menangkap reaksi bahasa tubuh Senior Frans. Beliau menoleh seperti hendak mencari-cari seseorang.

Dalam diam saya tersenyum sekaligus yakin bahwa beliau pasti berbangga hati mendengarkan kalimat tersebut.

Seusai rangkaian acara resmi pembukaan Rakornas Pora, saat hendak masuk ke sesi ramah-tamah, dengan sikap takzim saya mendekat ke Senior Frans sembari berkata dengan sedikit membisik kepada beliau, seperti memberi laporan: “Senior, kalimat dari Kupang sudah masuk dalam teks pidato Pak Menteri”.

Senior Frans tersenyum sumringah, dan dengan sangat ramah menepuk bahu saya sembari berujar singkat, seperti hendak memotivasi yuniornya, kader ideologis binaannya di GMNI Kupang: “Vik, selamat ya!” Saya pun tersenyum sumringah, lalu membalas lagi dalam nada penuh hormat: “Terima kasih, Senior!”* (Bagian 1 dari tiga tulisan/Bersambung)

Viktus Murin, adalah Anggota GMNI Cabang Kupang (1990-1993), Sekretaris DPC GMNI Kupang (1993-1996), Ketua Komite Kaderisasi Presidium GMNI (1996-1999), Sekjen Presidium GMNI (1999-2002); Mantan Wartawan Pos Kupang. Kini menjadi Tenaga Ahli Ketua MPR RI, H.Bambang Soesatyo, SE, MBA. *)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved