Banyak Kaum Muda Menerima dan Menyebar Konten Kebencian

Banyak Kaum Muda Menerima dan Menyebar Konten Kebencian. Bahkan, pemuda menjadi sasaran empuk paham-paham radikal melalui media.

Editor: Gordy Donofan
Humas Undana
PEMBICARA - Para pembicara, unsur pimpinan Undana Kupang serta mahasiswa peserta kegiatan ini. 

POS-KUPANG.COM | KUPANG - Mahasiswa Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang diminta untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila melalui media, maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Pasalnya, di tengah menjamurnya penggunaan patform media sosial saat ini, banyak kaum muda yang cenderung membuat, menerima dan menyebar konten-konten yang menyebar kebencian.

Bahkan, pemuda menjadi sasaran empuk paham-paham radikal melalui media.

Demikian sari pendapat empat narasumber, yakni Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP RI, Romo Antonius Benny Susetyo, Pengajar Prodi PPKN FKIP Undana, Dr. Petrus Ly, M.Pd, Perancang Peraturan Ahli Madya Kemenkumhan NTT, Yunus P. S. Bureni, S.H., M. Hum, Musisi Project Pop dan Influencer Indonesia, Herman Josi ketika menjadi narasumber dalam seminar bertajuk  “Peran Generasi Muda dalam Aktualisasi Nilai-nilai Pancasila Melalui Media dalam seminar yang terselenggara atas kerja sama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Universitas Nusa Cendana (Undana).

Seminar ini dimoderatori Dosen FKIP Dr. Marsel Robot itu digelar di Aula Rektorat Undana, Kamis 7 Oktober 2021.

Hadir, Direktur Evaluasi Edi Subowo, para dosen dan mahasiswa Undana.

Romo Benny Susetyo dalam paparannya menegaskan, dalam era digitalisasi saat ini, konten-konten yang ditampilkan tak lagi memerhatikan kedalaman isi, tetapi lebih pada aspek kecepatan menyajikan konten, tanpa peduli aspek etis dan nilai-nilai.

Menurutnya, era digital, pada satu sisi sebagai keuntungan, tetapi di sisi yang lain, menjadi era kebohongan.

Misalnya, banyak investasi bodong yang ditawarkan dan berseliweran di media sosial. Ia menyatakan, dalam era digitalisasi saat ini, kerap kali orang mengalami kehilangan kemanusiaannya.

Menurut data yang ia paparkan, netizen Indonesia menjadi paling tidak sopan dalam bermedia sosial.

“Orang tidak lagi membedakan mana dunia nyata dan maya. Padahal, dalam dunia maya kita tidak bisa lepas dari realitas. Semisal kasus Jokowi dan Ganjar baru-baru ini, dalam medsos penggunanya tidak memiliki pendidikan etika bermedia, tidak ada pendidikan etis, dan pendidikan narasi. Jadi, kita gunakan medos bukan untuk majukan suatu bangsa tetapi bisa menghancurkan suatu bangsa,” tandasnya.

Menurutnya, orang tidak selektif memilih isu, namun cepat menyebarluaskan   sebuah informasi. “Bahkan, minta maaf, oleh orang luar kita menjadi pengguna medos yang tidak sopan dan menjadi alat provokasi. Kalau di luar, orang gunakan medsos bukan sebagai alat provokasi, menghancurkan karakter atau alat kampanye. Tetapi menjadi sarana memajukan bangsa, seperti bisnis, iptek, menambah informasi dan wawasan,” ungkapnya.

Bahkan, kata dia, medos juga saat ini dipakai sebagai alat untuk merekrut kelompok radikal. “Kalau dulu orang mencari pengantin lewat perjumpaan, sekarang bisa lewat medsos. Jadi banyak generasi muda yang terpapar radikalisme karena salah menggunakan medsos,” paparnya.

Romo Benny juga melarang pengguna media sosial agar tidak membagikan data pribadi, seperti nomor ponsel, rekening dan lainnya. “Maka tabungan di bank bisa dilacak, dibobol karena kita sudah pamer di Instagram,” katanya.

Menurutnya, generasi saat ini lebih gampang memosting dan mengekspos hampir seluruh aktivitas bahkan personalnya.

“Kita ini orang yang eksotik, berlebihan pamer diri, maka gampang kena tipu daya, karena data pribadi sudah tersedia. Maka gampang terjadi muda diperdaya,” ungkapnya.

Karena itu, menurutnya, kedasaran literasi media juga sangat penting. Hal ini agar mudah merebut ruang public dan wacana public. Untuk itu, pihaknya mengajak mahasiswa agar menawarkan konten positif, semisal membuat film pendek inspirasi budaya, makanan tradisional, kegiatan kampus, dan lainnya. “(Tinggal) bagaimana konten positif dinarasikan dan dikomodifikasi menjadi nilai tambah terhadap kesenian, tradisi. Misalnya di Sumba ada pacuan kuda, karena orang terkagum melihat ritual yang terjadi,” bebernya.

Untuk mengaktualisasikan nilai Pancasila, menurutnya, hal itu harus dimulai dari keluarga, kebijakan public dan pendidikan. Undana menurutnya, harus menjadi pusat peradaban dan urat nadi Pancasila. “Pancasila lahir di Ende, maka Undana jadi pusat peradaban dan nadi Pancasila. Undana punya moralitas untuk menyebar nilai Pancasila,” tuturnya.

Dr. Petrus Ly dalam paparannya menegaskan, orang mudah menerima paham-paham radikal karena masih berperilaku primitif. Menurutnya, ciri orang berperilaku primitif adalah suka akrab dengan penghinaan, bully, tidak masuk akal dan cenderung radikal.

Meski sesoorang berpendidikan tinggi, namun masih berperilaku primitif, karena belum mengalami perubahan perilaku, baik cerdas secara sosial, spiritual, emosional dan sosial. Karena itu, sambung dia, dunia pendidikan, termasuk perguruan tinggi, sebagai wadah dimana mahasiswa meninggalkan perilaku primitif.

Dikatakan, mahasiswa sebagai kaum intelektual dan berpikir ilmiah, namun kerap masih mengutamakan intuisi.

 “Lucu kalau mahasiswa yang adalah orang-orang beridealisme dan ilmiah menjadi pengguna di medsos yang menimbulkan kekacauan dan permusuhan,” ungkapnya.

Ly menyebut, di tangan generasi muda Pancasila dipertaruhkan. Karena itu, jika Indonesia gagal, maka generasi muda harus menyalahkan diri sendiri, bukan orang lain. Ia mamaparkan, aktualisasi nilai-nilai Pancasila di dunia kampus harus dimulai dari pimpinan perguruan tinggi, mulai dari rektor, wakil rektor, hingga kepada mahasiswa. Tugas pimpinan kampus dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila menurutnya adalah dengan menolong mahsiswa dari berbagai kesulitan da tidak membuat aturan dan norma yang tidak bertiolak belakang dengan pancasila.

Sebab, mahasiswa bukan sebagai obyek semata dalam dunia kampus.  Demikian juga pegawai, harus membangun budaya melayani dengan hati, adil, toleran, dan mengedepankan humanisme dalam pelayanan public.

Yunus P. S. Bunreni, S.H., M. Hum dalam paparannya menegaskan, Pancasila tidak seharusnya dipelajari, sebab Pancasila sudah menjadi jiwa segenap bangsa Indonesia. Ketika berbicara mengenai pemuda, maka tidak terlepas dari bingkai dan tatanan perundang-undangan yang berlaku.

Karena itu, ungkap Bureni, pemuda memiliki hak untuk mengembangkan diri, berbicara dan berinovasi karena pemuda adalah kelompok orang yang tak mau dibatasi.

Ia menyatakan pemuda memiliki tiga peran, yakni pertama, pemuda sebagai kekuatan moral yang menumbuhkan aspek etik dan moralitas dalam bertindak dalam setiap dimensi kehidupan.  Pemuda perlu  memperkuat iman dan takwa serta ketahanan mental spiritual dan meningkatkan kesadarn hukum.

Kedua, kontrol sosal, yakni memperkuat wawasan kebangsaan, membangkitkan kesadaran atas tanggung jawab hak dan kewajiban sebagai warga negara, serta membangkitkan sikap kitis terhadap lingkungan dan penegakan hukum.

“Ketika kita bicara medsos tadi, maka di mana peran kita sebagai orang muda, untuk awasi atau sebagai kotrol sosial,” ujarnya.

Ketiga, sebagai agen perubahan, pendidikan politik dan demokratisasi yang kemudian diaktualisasikan dalam lima sila tersebut.

Ia mengatakan, Pancasila sebagai ideologi sejatinya tidak perlu dipelajarai karena Pancasila adalah jiwa dari setiap anak bangsa. “Kita punya yang namanya Pancasila sebagai ideologi, tidak perlu saya pelajari karena dia adalah jiwa saya, setiap hembusan nafas yang saya keluarkan itu adalah Pancasila,” ujarnya.

 Dengan adanya ideologi Pancasila kemudian dituangkan dalam peran pemuda dalam melalui kekuatan moral, kontrol sosial dan agen perubahan agar pemuda bisa mengaktualisasikan Pancasila melalui media cetak-elektronik.

“Berapa banyak di antara kita satu hari diposting di facebook terkait semangat Pancasila, atau tulisan, bicara mengenai nilai Pancasila. Ini pertanyaan refleksi. Kita bicara aktualisasikan nilai Pancasila jangan bertanya ke orang lain, tapi diri kita masing-masing,” ujarnya.

“Contoh pagi-pagi, terima kasih Tuhan, itu sudah aktualisasikan, Pancasila ada di dalam jiwa kita,” sebutnya menambahkan.

Herman Josi Mukalu melalui zoom meting pada kesempatan itu memotivasi mahasiswa agar membuat konten-konten kreatif yang menumbuhkan semangat Pancasila. Menurutnya, saat ini masih banyak generasi muda yang masih mencari jati diri, sehingga mudah disusupi pikiran-pikiran intoleran bahkan radikal.

Dikatakan, keluarga sebagai tempat untuk menumbuhkan nilai-nilai Pancasila. Tetapi, situasi dan lingkungan juga ikut memengaruhi dan memberi kontribusi terhadap nilai-nilai tersebut.

Salah satu hal yang menjadi penting untuk menumbuhkan nilai Pancasila adalah dengan gotong-royong. Sebab, menurutnya sejak dahulu para pendiri bangsa ini bahu'membahu menyusun Pancasila bahkan jauh sebelumnya tahun 1928, Budi Utomo.

 Ia mengajak, agar para generasi milenial bisa menabur kasih dalam setiap aspek kehidupan agar tidak mudah saling menuduh, menghakimi.

Deputi Bidang Pengendalian BPIP, Dr. Rima Agistina S.H., S.E., M.M ketika membuka webminar tersebut menyatakan, generasi milenial saat ini sangat melek terhadap perkembangan teknologi. Namun demikian, perlu diingatkan agar bisa menjaga nilai-nilai Pancasila.

Rima menyebut, di ruang fisik ada norma dan tata cara sebagai konsensus dalam berbangsa. Demikian juga di ruang digital, seseorang berada dalam kebebebasan tanpa batas, tidak ada norma-norma yang harus dipatuhi sebagai konsensus berbangsa dan bernegara.

Karena itu, ia berharap melalui webminar tersebut para mahasiswa yang adalah generasi milenial dapat merawat nilai luhur Pancasila. Dikatakan, " Ssaat ini kita sedang berada pada perkembangan dunia yang dinamis, ditandai dengan banyak informasi yang menyerbu handphone hingga ke ruang pribadi."

Karena itu, dibutuhkan kesiapan dan kewaspadaan untuk memertahankan hal-hal yang bersifat pribadi agar tidak menjadi milik public. Hal tersebut dapat dilakukan ketika para generasi milenial  mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila.

Sementara Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Dr. Siprianus Suban Garak, M. Sc,  dalam sambutannya menegaskan, dengan adanya webminar tersebut diharapkan dapat menumbuhkan semangat para mahasiswa agar mampu menghadapi tantangan zaman, terutama pandemi  Covid-19. 

Ia menyebut, webminar tersebut sangat penting agar generasi milenial dan z mampu membedakan ideologi Pancasila dan ideologi dari negara lainnya.

 “Jangan sampai kita tidak bisa bedakan ideologi Indonesia dan luar negeri. Jadi butuh wawasan kebangsaan yang kuat agar kita tidak terjerumus dalam radikalisme,” ungkapnya.

Ia mengatakan, sebagai peran Perguruan Tinggi, Undana sejak berdiri hingga saat ini masih mewajibkan mata kuliah Pancasila kepada para mahasiswa. Hal itu sebagai wujud komitmen agar mahasiswa bisa mengamalkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila.

“Saya mengajak kita menghayati Pancasila. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang. Tapi kita dirikan negara satu buat semua, semua buat satu,” ungkapnya. (rfl/humas undana/pol).

Baca Berita Undana Kupang Lainnya

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved