Renungan Harian Katolik
Renungan Harian Katolik Rabu 6 Oktober 2021: "Relasi Cinta"
Salah satu akar kerusakan hidup sosial adalah terawatnya egoisme. Manusia memiliki kecenderungan alamiah untuk mengabdi diri sendiri.
Relasi Cinta
Rabu 6 Oktober 2021
Luk 11: 1-4
Salah satu akar kerusakan hidup sosial adalah terawatnya egoisme. Manusia memiliki kecenderungan alamiah untuk mengabdi diri sendiri.
Di satu sisi, memang setiap kita mesti merawat diri sebagai bentuk lain dari penerimaan diri. Kita mesti sehat, bersih, tumbuh dengan segar agar bisa mendapatkan “tempat” dalam ruang sosial. Perawatan diri sebagai bentuk konkret penerimaan diri merupakan gerbang untuk hadir dan menerima orang lain sebagai bagian dari diri.
Kita bisa katakan bahwa hanya orang yang mampu menerima diri sendiri dapat diterima oleh orang lain. Tapi penerimaan diri itu berbeda dengan terpusat pada diri. Kita tidak akan berkembang kalau hanya terpusat pada diri sendiri. Kita hanya menjadi ibarat katak di bawah tempurung. Tuhan tidak hanya menciptakan manusia sebagai makhluk personal tapi juga makhluk sosial. Ruang sosial ini menuntut kesediaan dan keberanian manusia untuk “meninggalkan” egoisme dan bergerak masuk ke ranah hidup sosial.
Tuhan mengajarkan hal itu dalam doa Bapa Kami sebagaimana ditulis Penginjil Lukas hari ini. Sepintas, kalau kita berdoa sekenanya saja, doa Bapa Kami seperti air yang mengalir tanpa tepi. Tapi jika kita berdoa dengan penuh kesadaran dan penghayatan, doa Bapa Kami mengilhami kita bagaimana seharusnya kita berdoa. Kita mesti keluar, meninggalkan “diri” dan memberikan tempat utama pada Tuhan. Kesadaran ini merupakan bukti bahwa kita beriman kepada Dia. Kita bisa katakan bahwa orang beriman melupakan diri sendiri dan hanya Tuhan dan sesama di luar diri yang lebih utama.
Ada dua bagian dalam keutuhan doa Bapa Kami. Pertama, doa yang berpusat pada Tuhan: Dimuliakanlah nama-Mu! Datanglah kerajaan-Mu! Jadilah kehendak-Mu! Intinya, hal yang utama adalah kemuliaan Tuhan. Kedua, kita fokus pada “kami” yang mengungkapkan keinginan manusiawi kita: Berilah kami rezeki, ampunilah kesalahan kami, jauhkanlah kami dari segala yang jahat dan seterusnya hingga akhir.
Tuhan mengingatkan kita agar belajar bagaimana Dia berdoa kepada Bapa-Nya di Surga. Doa merupakan ungkapan relasi kita yang intim dengan Tuhan. Mfokus utama adalah kemuliaan Tuhan. Kita menempati porsi urutan kedua setelah nama Tuhan mencapai puncak kemuliaan. Titik inilah yang membuat kita kadang lupa diri karena nafsu menggebu-gebu untuk memuaskan egoisme yang tidak akan pernah terpuaskan. Tuhan selalu punya rencana atas hidup dan pekerjaan-pekerjaan kita.
Ketika kita mengutamakan dan mendahulukan kemuliaan nama Tuhan maka hal-hal lain yang menjadi kebutuhan-bukan keinginan-akan Tuhan tambahkan. “Carilah dahulu Kerajaan Surga, baru yang lain akan ditambahkan kepadamu” (Mat 6: 33). Boleh jadi karena kita terlampau mengutamakan diri egoisme maka kadang kita kecewa karena telah lama berdoa tapi Tuhan tidak pernah kabulkan. Kita jadi frustrasi dan kehilangan gairah untuk berdoa. Malah ada doa yang diungkapkan dengan begitu lama dan panjang sampai kehabisan kata-kata. Sementara Tuhan sudah tahu ujung dari doa kita: hasrat egoisme. Kita masih main kucing-kucingan dengan Tuhan. Kita belum matang. Kita masih anak-anak.
Menurut Romo Mangunwijaya, orang beriman telah melewati batas-batas primordial: diri, suku, agama, ras dan mengarahkan diri kepada Tuhan yang terungkap dalam tindakan kasih konkret kepada orang lain. Tuhan ingatkan kita bahwa iman kepada-Nya mesti terbahasakan dalam tindakan kasih yang nyata setiap hari. Di sini, Romo Mangun mengingatkan kita agar menjadi orang beriman, ketimbang sekadar orang beragama. Orang beriman menjadikan doa sebagai momen mengutuhkan relasi cinta dengan Allah (akan datang) dan sesama (nyata hari ini).