Renungan Harian Katolik

Renungan Harian Katolik, Rabu 16 Juni 2021: BUKAN PAMER

Hati saya selalu diliputi rasa haru saat menyaksikan umat yang bersusah payah untuk menghadiri misa, khusus pada hari Minggu atau hari raya.

Editor: Agustinus Sape
Foto Pribadi
RD. Fransiskus Aliandu 

Renungan Harian Katolik, Rabu 16 Juni 2021: BUKAN PAMER (Matius 6:1-6.16-18)

Oleh: RD. Fransiskus Aliandu

POS-KUPANG.COM - Hati saya selalu diliputi rasa haru saat menyaksikan umat yang bersusah payah untuk menghadiri misa, khusus pada hari Minggu atau hari raya. Ada yang harus menempuh perjalanan panjang belasan atau malah puluhan kilometer. Menumpang angkutan pedesaan atau mengendarai sepeda motor butut, melewati hutan belantara dengan kondisi jalan berlubang dan berlumpur. Tak terbayangkan kondisi yang harus mereka hadapi saat hujan lebat dengan terpaan badai.

Terlintas tanya dalam benak, untuk apa mereka ke gereja? Sekedar marminggu (istilah Batak) untuk memenuhi hukum Tuhan atau kewajiban agama? Terdorong oleh perasaan takut berdosa? Atau, didesak oleh keyakinan yang sudah mendarah daging? Atau, apa? Jawabannya, kembali pada hati tiap orang.

Terlepas dari itu, cukup umum bahwa baik tidaknya seseorang sering dinilai atas dasar praktek keagamaan yang ia jalani. Seseorang dianggap saleh dan baik, kalau ia secara teratur melaksanakan kewajiban agamanya. Katakanlah kalau ia rajin berdoa, patuh pada ketentuan dan pelaksanaan hukum Tuhan. Salahkah itu? Nggak juga sih!

Menurut Webster, agama adalah suatu sistem devosi, kesetiaan, kesadaran atau keyakinan akan adanya Hakikat Tertinggi, yang membangkitkan rasa hormat, cinta, syukur, kehendak untuk patuh kepada-Nya. Jadi, adanya kepercayaan dalam diri, menggerakkan orang untuk melaksanakan praktek kesalehan.

Bagi kita, penting dicatat, bahwa menurut Yesus, kesalehan itu mempunyai 2 (dua) dimensi, yakni dimensi agamawi berkenaan dengan penunaian kegiatan ibadah dan dimensi moral berkenaan dengan perjumpaan dan darma bakti nyata dalam masyarakat.

Yesus mengajarkan bahwa kesalehan yang otentik itu mencakup kedua-duanya. Tidak ada keharusan mementingkan dan memilih antara ibadah dan moralitas, antara kebaktian dalam gereja dan karya kasih nyata dalam masyarakat, antara mengasihi Allah dan mengasihi manusia sesama kita.

Lebih jauh dan dalam lagi, Yesus mengajarkan bahwa kesalehan yang sejati itu bukan merupakan manifestasi lahiriah semata, melainkan salah satu hal yang rahasia dalam hati. Tak hanya berfokus seputar tindakan-tindakan dan ucapan-ucapan saja, melainkan harus merembes masuk ke dalam hati, akal budi, serta motivasi-motivasi dan menguasai diri, bahkan dalam relung-relung hati yang paling tersembunyi dan rahasia sekali pun. Orang Latin punya ungkapan, "Contemplatio in actione, actio in contemplatione".

Dalam kerangka itu, dengan tegas Yesus memberi peringatan kepada kita para pengikut-Nya. "Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka ... apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, supaya dipuji orang ... apabila kamu berdoa, janganlah supaya dilihat orang ... apabila kamu berpuasa, janganlah supaya orang melihat" (Mat 6:1.5.16).

Dengan sengaja tiga praktek keagamaan disinggung. Ketiga-tiganya mencerminkan tanggung jawab kita terhadap Tuhan, sesama manusia, dan diri sendiri. Memberi sedekah adalah usaha melayani sesama, khususnya yang berkekurangan. Berdoa adalah usaha bertemu dengan Tuhan, memandang wajah-Nya dan mengakui ketergantungan kita pada-Nya. Berpuasa, setidak-tidaknya adalah cara untuk mengekang, mendisiplinkan diri. Dengan begitu, ketiganya dilakukan bukan dengan maksud untuk memamerkan diri.

Sepintas lalu peringatan fundamental Yesus seakan-akan menentang peringatan-Nya terdahulu "hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat ..." (Mat 5:16). Tapi kontradiksi itu sebetulnya hanya menurut kata-kata, bukan menurut hakekatnya. Kuncinya terletak dalam fakta bahwa ada dua hal yang disoroti. Yesus berkata, "hendaknya terangmu bercahaya di depan orang", justru karena kita pengecut; sedangkan yang membuat Ia melarang supaya jangan menunaikan kewajiban agama kita di depan orang, itu karena hasrat dan kesombongan manusiawi kita.

De facto, dengan kemajuan teknologi sekarang, hidup kita menjadi kian berubah dan terbuka. Ada kecenderungan dan hasrat untuk meng-upload apa saja yang kita jalani agar diketahui publik. Tak terkecuali praktek hidup keagamaan kita.

A.B. Bruce memberi ungkapan yang menarik saat kita membatinkan ajaran peringatan Yesus, "Kita harus memamerkan kalau tergoda untuk menyembunyikan" dan "menyembunyikan kalau tergoda untuk memamerkan".*

Simak juga video renungan harian katolik berikut:

Akses artikel-artikel renungan harian katolik lainnya, klik DI SINI

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved