Renungan Harian Katolik
Renungan Harian Katolik, Kamis 10 Juni 2021: MENGGALI INTI & TERAPANNYA
Yesus menegaskan bahwa Ia datang untuk menggenapi hukum Taurat. Ia tidak meniadakan satu titik pun dari tuntutan-tuntutan hukum Taurat.
Renungan Harian Katolik, Kamis 10 Juni 2021: MENGGALI INTI & TERAPANNYA (Matius 5:20-26)
Oleh: RD. Fransiskus Aliandu
POS-KUPANG.COM - Yesus menegaskan bahwa Ia datang untuk menggenapi hukum Taurat. Ia tidak meniadakan satu titik pun dari tuntutan-tuntutan hukum Taurat. Ia mengangkat ke permukaan tuntutan-tuntutan yang terdalam, paling mendasar dari hukum Allah dan penerapannya yang benar.
Zaman memang berubah. Sejalan dengan itu berbagai peraturan dan pedoman terapan hidup keagamaan kita pun bermunculan bak jamur di musim hujan yang dipandang selaras tuntutan zaman. Tapi inti terdalam dari ajaran Sang Guru pasti tak berubah. Sebagai murid-Nya zaman ini, kita coba menggali untuk menemukan prinsip dasar dan penerapan yang benar hukum Allah sebagaimana yang diajarkan Yesus.
Yesus menerangkan arti perkataan-Nya "menggenapi" dengan mengemukakan salah satu contoh yang mudah kita pahami, yakni "amarah dan kafir". "Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum. Siapa yang berkata kepada saudaranya:Kafir! harus dihadapkan kepada Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala" (Mat 5:21-22).
Kita tahu bahwa perintah keenam menegaskan "jangan membunuh". Inti dari perintah ini adalah perintah untuk tidak menumpahkan darah manusia. Sebab siapa pun tidak berhak mencabut nyawa seseorang. "Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri" (lih. Kej 9:6).
Inilah yang diajarkan para ahli Taurat dan orang Farisi. Tapi rupanya mereka berusaha membatasi terapan perintah keenam itu semata-mata kepada perbuatan membunuh itu saja; kepada tindakan menumpahkan darah manusia. Dengan menjauhkan diri dari perbuatan membunuh, mereka menganggap sudah memenuhi perintah tersebut.
Bagi Yesus, inti dan penerapan dari perintah itu jauh lebih luas. Dalamnya terkandung kepatuhan hati kepada Tuhan dan kasih kepada sesama manusia sebagai gambaran Allah. Itu berarti, tercakup hati yang penuh kasih dan pikiran, ucapan maupun perbuatan sebagai ungkapannya. Dalam hal ini pikiran, emosi, kata-kata pun perbuatan, baik amarah dan caci maki maupun pembunuhan.
Mungkin saja, amarah dan caci maki tak akan dituangkan dalam tindakan membunuh yang benar-benar pembunuhan. Namun sesungguhnya di mata Allah, amarah dan caci maki setingkat dengan pembunuhan. St. Yohanes menulis di kemudian hari, "Setiap orang yang membenci saudaranya, adalah seorang pembunuh manusia" (1 Yoh 3:15).
Amarah dan caci maki merupakan pertanda-pertanda jelek dari keinginan hati untuk menghabisi seseorang yang menjadi penghalang bagi kita atau yang tidak kita sukai. Kita sering mengalami dalam hidup, ucapan "semoga cepat mati", dan berbagai sumpah serapah sebagai luapan kesombongan dan kebenciatan. Semua itu langsung atau tidak langsung telah mengiris dan mematikan orang yang menjadi obyeknya.
Banyak orang barangkali menganggap remeh masalah kekerasan verbal. Padahal pepatah pun mengatakan "Fitnah lebih kejam dari pembunuhan". Bukankah itu berarti kata-kata bisa lebih menyakitkan daripada tusukan pedang?
Masalahnya, banyak orang terkadang tidak mau ambil pusing dengan memilih kata-kata sebelum menyemburkannya ke orang lain. Toh, orang itu tidak mengalami luka fisik. Padahal mereka lupa, kata-kata bisa membunuh karakter seseorang secara perlahan-lahan. Kata-kata bisa membunuh tanpa menyentuh.
Menurut Yesus, dalam konteks masyarakat Yahudi tempo dulu, siapa yang menginginkan kebinasaan orang sebagaimana terungkap juga dalam amarah dan caci maki, tergolong pelanggar perintah keenam. Si pelanggar itu harus diganjar pengadilan dengan hukuman yang sama dengan hukuman kepada pembunuh sungguhan.
Dalam konteks kekinian, mungkin tidak bisa terlaksana secara harfiah dalam pengadilan. Soalnya, amarah dan caci maki mungkin tak termasuk delik pembunuhan. Tapi yang jelas akan dituntut dalam pengadilan Allah.
Yesus menyebut dengan jelas kata "saudara" sebagai obyek amarah dan caci maki. Hal itu tentu mengindikasikan amarah dan caci maki itu begitu serius dan berbahaya, karena telah sirna kasih dari hati, sehingga "saudara" sendiri pun bisa dijadikan obyek untuk dihilangkan. Itu berarti, yang tersisa di hati hanyalah keangkuhan, kecongkakan, kebencian, kedengkian dan dendam.