Kerja Tugas Tanpa Batas "Bukan" Ciri Merdeka Belajar
Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2021 di tengah pandemi Covid-19 mestinya menjadi momentum luar biasa bagi seluruh elemen bangsa
Kerja Tugas Tanpa Batas "Bukan" Ciri Merdeka Belajar
Oleh Apolonius Anas
Direktur Lembaga Bimbingan Kursus dan Pelatihan U-Genius Kefamenanu
POS-KUPANG.COM - Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2021 di tengah pandemi Covid-19 mestinya menjadi momentum luar biasa bagi seluruh elemen bangsa dalam merenung proses pendidikan yang dijalani belakangan ini.
Patut disadari bahwasannya pandemi Covid-19 telah menjadi ancaman nyata dalam pendidikan. Dampak kehadirannya telah memungkinkan lost generation terjadi lebih cepat dalam peradaban manusia Indonesia.
Di lapangan, kekhawatiran dan kebingungan massal semakin mengemuka. Hal itu menerpa anak bangsa terutama peserta didik, orang tua, guru dan elemen pendidikan lainnya. Sebab pandemi Covid-19 telah memporak-porandakan alur ideal dan normal yang seharusnya dilakoni oleh para stakeholder pendidikan dalam mewujudkan tujuan luhur pendidikan di negara ini.
Hilangnya generasi emas bisa terjadi jika proses pendidikan di negara ini tidak dijalankan secara utuh sesuai dengan roh dan semangat pendidikan yang telah ditanam dan diamanatkan oleh Ki Hajar Dewantara. Apa yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara adalah harapan dan cita-cita emas menjadikan generasi Indonesia unggul lahir batin demi menanggapi perubahan zaman.
Dalam praktiknya memang jika semakin lama peserta didik berada dalam situasi kedaruratan belajar maka spirit menjadi masyarakat Indonesia seutuhnya tentu akan terhambat. Dengan demikian peristiwa lost generation bisa terjadi lebih cepat menerpa dan mengancam peradaban.
Oleh karena itu, maka semboyan merdeka dalam belajar di tengah pandemi Covid-19 mesti ditelaah ulang dalam praktiknya. Kemerdekaan belajar mestinya harus bisa disederhanakan dan direlaksasikan di lapangan terutama oleh para guru demi kebaikan peserta didik.
Hal itu berbasis pada pertanyaan apakah para peserta didik selama ini benar-benar mengalami kemerdekaan dengan praktik kebijakan pembelajaran di tingkat sekolah? Mungkinkah peserta didik mengalami tekanan psikologis yang amat dalam karena beban tugas yang diberikan guru yang terus menumpuk? Jika beban psikologis karena tumpukan tugas sekolah yang tidak mampu dikerjakan siswa terjadi, siapa yang bertanggung jawab menampung kondisi ini?
Tentu saja pertanyaan-pertanyaan di atas sangat beralasan sebab proses pembelajaran selama ini hanya mengandalkan kerja tugas melulu yang dikirim guru dari sekolah. Itu adalah fakta bahwa ada beban psikologis yang dialami peserta didik. Beban psikologis juga menghempas pada orang tua siswa juga. Siswa dan orang tua sama sama meratapi tekanan itu dan hanya pasrah pada keadaan dan tututan pragmatisme pendidikan yang hanya kejar nilai mengabaikan esensi dasar dari pembelajaran itu sendiri.
Para guru kehilangan cara alternatif dalam merelaksasi dan menyederhanakan pembelajaran yang ada. Peran guru hanya sampai pada ritus buat soal, bagi soal, kumpul soal, periksa soal dan memberi penilaian pada pekerjaan siswa. Hanya itu. Peristiwa lain yang mestinya harus dilakukan guru diabaikan. Misalnya bimbingan dan pendampingan psikologis dan relasi sosial. Utamanya bimbingan terhadap materi pelajaran tidak dilakukan dengan baik bahkan mungkin tidak dilakukan sama sekali.
Patut disadari bahwa proses pendidikan di negara ini serasa pincang belakangan ini terutama dalam menginterpretasi model pembelajaran yang pas di tengah pandemi. Dan kepincangan itu terkait dengan eksekusi kebijakan pembelajaran yang tidak menyentuh kepentingan siswa dalam bentuk pola bimbingan dan proses pembelajaran bagi peserta didik.
Tanggung jawab guru dalam konteks keseimbangan relasi sosial dan psikologis antar sesama pembelajaran tidak bisa dilaksanakan dan bahkan diabaikan dengan alasan pandemi Covid -19. Praktik pembelajaran di tengah Covid-19 memang tidak menyentuh perjumpaan sosial dan peristiwa psikologis. Ini memungkinkan anak tidak mengalami peristiwa pendidikan secara benar dan utuh. Padahal banyak cara bisa dilakukan oleh guru demi mencapai tuntutan luhur dari pendidikan.
Mestinya pada konteks pembelajaran ideal, merdeka belajar tidak sekedar konsep belaka tetapi bagimana proses pembelajaran itu mampu menangkal perubahan zaman dan menguatkan fondasi dasar cita-cita luhur manusia Indonesia yang utuh walaupun di tengah pandemi.
Apa yang terjadi selama pandemi adalah bukti bahwa pengekangan terhadap proses pembelajaran itu memang diciptakan oleh kebijakan yang tidak menyentuh pada aspek kebutuhan siswa. Itu tidak direnungkan secara sungguh oleh stakeholder pendidikan.
Sehingga hambatan menjadi manusia seutuhnya bisa terjadi. Kebijakan pendidikan yang terlalu mengedepankan sisi akademik dari suatu proses pendidikan mengabaikan sisi non akademik memang berbahaya. Mestinya sisi perubahan mental, spiritualitas dan psikologis menjadi sesuatu yang sangat penting dalam mewujudkan generasi muda Indonesia tumbuh dan berkembang seutuhnya. Itu harus dilakukan juga oleh guru.
Ada pemahaman yang keliru tentang kebijakan di level sekolah yang hanya mengandalkan kerja tugas sebagai jawaban satu-satunya menapaki proses pembelajaran. Alhasil para peserta didik merasa jenuh dengan praktik kebijakan pembelajaran yang tidak memerdekakan itu. Seperti yang dikeluhkan oleh para siswa dan orang tua belakangan ini.
Anak-anak ditekan secara terselubung dalam kemasan "kerja soal". Hal itu dilakukan sedemikian rupa sehingga tugas-tugas mata pelajaran dikerjakan oleh peserta didik dalam suasanan tekanan sosial.
Merasa bersyukur kalau guru peduli dalam membimbing pasca anak mengerjakan tugas. Artinya alur bimbingan tidak putus di tangan siswa.
Padahal di tengah pandemi, relaksasi proses pembelajaran memungkinkan itu terjadi misalnya dengan mengadakan visitasi siswa secara kelompok atau mengelompokkan siswa berdasarkan kategori wilayah.
Para guru harus berkunjung ke tempat tinggal siswa jika memungkinkan itu terjadi. Tentu saja protokol kesehatan diterapkan secara ketat. Jika guru melakukan visitasi kepada siswa berdasarkan katergorisasi wilayah maka siswa akan mengalami trust pada guru dan lembaga pendidikan yang sedang diikutinya. Sehingga secara terselubung peserta didik tetap mengalami perjumpaan sosial. Beban psikologi bisa ditekan walaupun perjumpaan itu dalam bingkai protokol kesehatan Covid-19.
Dalam proses pendidikan sikap trust harus dialami siswa. Karena relasi sosial antara guru dan siswa itu amatlah penting menyangkut keabsahan tambahan dalam proses belajar. Siswa lebih diperhatikam kebutuhannya, siswa bisa berkeluh kesah pada guru kemudian guru juga memberi support kepada siswa tentang penguatan belajar di tengah situasi pandemi Covid-19.
Maka yang terjadi pada peserta didik adalah perubahan psikologis dan sosial sebagai hal yang penting dalam proses belajar yang ideal. Belajar bisa jadi tidak lagi dilihat sebagai beban tetapi jalan sukacita yang mesti dilalui siswa.
Jadi kebjikan yang pas dalam praktek pendidikan yang utuh di tengah pandemi Covid-19 adalah guru melakukan kunjungan ke tempat tinggal siswa demi memastikan kepada peserta didik bahwa batinnya diperhatikan secara saksama oleh sekolah melalui guru.
Selama pandemi Covid-19, para siswa kebingungan dalam mencari pendamping belajarnya bukan berkaitan dengan masalah akademiknya, melainkan hal lain di luar akademik. Untuk itu maka di tengah pandemi Covid-19 perlu adanya kebijakan relaksasi pembelajaran tatap muka terbatas bagi para siswa berdasarkan protokol kesehatan Covid-19. Dengan demikian tema merdeka belajar dalam permenungan Hardiknas 2 Mei 2021 bisa bermartabat dan mencapai tujuan mulia pendidikan yaitu menciptakan generasi yang seutuhnya.*