Renungan Ramadhan
Ramadhan Momentum Tepat untuk Taubat
Ramadhan juga dikenal sebagai syahrut taubah. Disebut sebagai syahrut taubah karena Ramadhan memang momentum yang tepat untuk bertaubat.
“Ya Rasulullah, engkau menshalatinya padahal ia telah berbuat zina?” tanya Umar bin Khatab meminta penjelasan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Sungguh dia telah bertaubat. Seandainya taubatnya dibagikan kepada 70 penduduk Madinah, taubat itu pasti mencukupinya. Apakah kamu menjumpai seseorang yang lebih utama daripada seorang yang mengorbankan dirinya untuk Allah Ta’ala? (HR. Muslim)
Allah Gembira Saat Hamba-Nya Bertaubat
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyeru kita dengan ayat di atas untuk menyegerakan taubat. Juga dalam ayat yang lainnya:
Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuha. (QS. At-Tahrim : 8)
Allah menyeru hamba-Nya untuk bersegera bertaubat karena Dia menghendaki hamba-Nya mendapatkan ampunan dan surga.
Dan Allah menyeru kalian kepada surga dan ampunan dengan izin-Nya. (QS. Al-Baqarah : 221)
Allah sangat sayang kepada hamba-Nya. Dibukakan pintu taubat. Diserunya kita menuju ampunan dan surga-Nya. Allah sangat gembira saat hamba-Nya bertaubat. Kegembiraan Allah bahkan lebih besar daripada seorang musafir yang menemukan kembali untanya setelah hilang di gurun sahara berikut segala perbekalan yang ada padanya.
Sungguh Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat kepada-Nya daripada seseorang yang menunggang untanya di tengah gurun sahara yang sangat tandus. Lalu unta itu terlepas membawa lari bekal makanan dan minumannya. Ia putus harapan untuk mendapatkannya kembali. Kemudian dia menghampiri sebatang pohon lalu berbaring di bawah keteduhannya karena telah putus asa mendapatkan unta tunggangannya tersebut.
Ketika dia dalam keadaan demikian, tiba-tiba ia mendapati untanya telah berdiri di hadapannya. Lalu segera ia menarik tali kekang unta itu sambil berucap dalam keadaan sangat gembira: Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhan-Mu.” Dia salah mengucapkan karena sangat gembira. (HR. Muslim)
Pembagian Dosa
Imam Al-Ghazali di dalam Ihya’ Ulumuddin menyebutkan sifat-sifat pembangkit dosa yang kemudian diringkas oleh Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin. Menurut beliau, sifat pembangkit dosa dibagi menjadi empat:
1. Sifat rububiyah (ketuhanan). Dari sini muncul takabur, membanggakan diri, mencintai pujian dan sanjungan, mencari popularitas, dan lain sebagainya. Ini termasuk dosa-dosa yang merusak, sekalipun banyak orang yang melalaikannya dan menganggap bukan dosa.
2. Sifat syaithaniyah (kesetanan). Dari sini muncul kedengkian, kesewenang-wenangan, mnipu, berdusta, makar, kemunafikan, menyuruh pada kerusakan, dan lain-lain.
3. Sifat-sifat bahamiyah (kebinatangan). Dari sini muncul kejahatan, memenuhi nafsu perut dan syahwat kemaluan, zina, homoseks, mencuri, dan lain-lain
4. Sifat sabu’iyah (kebuasan). Dari sini muncul amarah, dengki, menyerang orang lain, membunuh, merampas harta, dan lain-lain.
Di antara empat sifat itu, penjenjangannya bermula dari bahamiyah. Bahamiyah yang dominan lalu diikuti oleh sabu’iyah, kemudian syaithaniyah dan rububiyah.