Renungan Harian Katolik
Renungan Harian Katolik, Jumat 19 Maret 2021 Hari Raya St Yusuf Suami SP Maria: BERI DIRI SEPENUHNYA
Seorang penulis Polandia, Jan Dobraczynski, dalam bukunya 'The Shadow of the Father", menuliskan kehidupan St. Yusuf dalam bentuk sebuah novel.
Renungan Harian Katolik, Jumat 19 Maret 2021, Hari Raya St. Yusuf, Suami SP Maria: BERI DIRI SEPENUHNYA (Matius 1:16.18-21.24a)
Oleh: Pater Steph Tupeng Witin SVD
POS-KUPANG.COM - Seorang penulis Polandia, Jan Dobraczynski, dalam bukunya 'The Shadow of the Father", menuliskan kehidupan St. Yusuf dalam bentuk sebuah novel. Dengan gambaran yang menggugah hati tentang bayang-bayang, ia menjelaskan sosok St. Yusuf yang di hadapan Yesus adalah bayang-bayang Bapa Surgawi di dunia yang menjaga Yesus, melindungi-Nya, tak pernah meninggalkan-Nya untuk mengikuti langkah-langkah-Nya.
Membaca dan merenungkan injil, setiap orang pasti akan menemukan sosok St. Yusuf, pribadi yang dalam kehadiran sehari-hari tidak diperhatikan, tersembunyi; namun berperan sentral sebagai seorang bijak, pendukung dan pembimbing pada saat-saat sulit. St. Yusuf mengingatkan orang bahwa yang tampaknya tersembunyi, di belakang layar atau di "barisan kedua" memiliki peran tak tertandingi dalam sejarah keselamatan.
Keagungan St. Yusuf ada dalam fakta bahwa ia adalah suami Maria dan bapak Yesus. Ia menerima Maria tanpa menuntut syarat apa pun. Memang awalnya ia sangat risau oleh kehamilan Maria yang tidak dapat dipahami dan ia tidak mau "mencemarkan nama istrinya di muka umum. Maka ia bermaksud "menceraikannya dengan diam-diam".
Namun dengan kehadiran malaikat Tuhan yang membantunya memecahkan dilema beratnya, "janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai istrimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus" (Mat 1:20), Yusuf segera menanggapi. "Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai istrinya" (Mat 1:24). Itulah sebabnya ia disebut sebagai seorang yang tulus hati (Mat 1:19).
Yusuf, dalam perannya sebagai bapa, ia tentu mengenalkan Yesus kepada pengalaman hidup, kepada realitas. Seorang bapa tidak dilahirkan, tetapi diciptakan. Seorang laki-laki tidak menjadi seorang bapa semata-mata karena seorang anak dilahirkan, tetapi karena ia merawatnya secara bertanggung jawab. Kapan pun seseorang bertanggung jawab atas kehidupan orang lain, dalam arti tertentu ia menjalankan peran kebapaannya terhadap orang itu.
Yusuf mengajar banyak hal kepada Yesus. Ia mengajar Yesus untuk patuh kepada orang tuanya (bdk. Luk 2:51), seturut perintah Allah (bdk. Kel 20:12). Dalam kehidupan di Nazaret, di sekolah Yusuf, Yesus belajar melakukan kehendak Bapa.
Kehendak itu menjadi makanan-Nya sehari-hari (bdk. Yoh 4:34). Bahkan pada saat paling sulit dalam hidup-Nya, yang dialami di Getsemani, Yesus lebih suka melakukan kehendak Bapa dan bukan kehendak-Nya sendiri, dan Ia menjadi taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib (Flp 2:8). Untuk ini, penulis surat kepada orang-orang Ibrani menyimpulkan bahwa Yesus "belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya" (Ibr 5:8).
Penginjil mengisahkan bahwa Yusuf menjalankan perannya sebagai kepala keluarga dengan sangat luar biasa. Pada bagiannya, Lukas mengisahkan bahwa Yusuf menghadapi perjalanan panjang dan tidak nyaman dari Nazaret ke Bethlehem untuk didaftarkan di kota asalnya. Dan justru dalam keadaan inilah Yesus lahir (bdk. Luk 2:1-7). Matius mengisahkan bagaimana perjuangan Yusuf menyelamatkan Maria dan Yesus ke Mesir karena terancam oleh Herodes yang mau membunuh Yesus (Mat 2:13).
Dari semua peristiwa yang dikisahkan dalam injil, tampaklah bahwa Yusuf menjawabi panggilannya sebagai pribadi dalam perannya di barisan kedua sepanjang hidupnya. Ia menjalani perannya itu dengan ketaatan dan kesepenuhan hati.
Dalam Surat Apostolik "Patris Corde", Bapa Suci Paus Fransiskus, mengingatkan bahwa "hidup kita dijalin bersama dan ditopang oleh orang-orang biasa, yang biasanya dilupakan, yang tidak muncul pada berita-berita utama surat kabar-surat kabar dan majalah-majalah, atau juga dalam catwalk besar dari pertunjukan-pertunjukan terakhir, tetapi tak diragukan lagi, sedang menulis peristiwa-peristiwa menentukan sejarah kita saat ini: para dokter, perawat, penjaga toko dan pekerja supermarket, petugas kebersihan, pengasuh, pekerja transportasi, para penegak hukum, relawan, imam, biarawan-biarawati, dan banyak lagi lainnya yang telah memahami bahwa tak seorang pun bisa diselamatkan sendirian".
Merayakan St. Yusuf menggugah kita untuk memberikan pengakuan dan penghargaan kepada siapa pun yang berperan di barisan kedua, di belakang layar, terutama untuk kebaikan diri kita, pun untuk kebaikan dan kemajuan bersama. Dan, kita pun mesti berbangga meski berperan dalam barisan kedua. Kita bersemangat untuk terus memberikan diri dengan kesepenuhan hati untuk kemajuan dan keberhasilan orang lain. *