Renungan Harian Katolik

Renungan Harian Katolik, Minggu 14 Maret 2021: HATI RELIGIUS

Kota kuno Ur diyakini sebagai tempat kelahiran nabi Ibrahim (Abraham), bapak agama-agama samawi yaitu Islam, Kristen dan Yahudi.

Editor: Agustinus Sape
Foto Pribadi
Pater Steph Tupeng Witin SVD 

Renungan Harian Katolik, Minggu 14 Maret 2021: HATI RELIGIUS (2Taw 36:14-16.19-23; Ef 2:4-10; Yoh 3:14-21)

Oleh: Pater Steph Tupeng Witin SVD

POS-KUPANG.COM - Kompas edisi Minggu (7/3/2021) pada halaman depan menampilkan foto jurnalistik kaya refleksi. Paus Fransiskus sedang berbincang penuh persaudaraan dengan sejumlah pemimpin agama Islam, Kristen dan Yahudi dalam pertemuan antarumat beragama di kota Ur Provinsi Dhi Qar, IraK.

Kota kuno Ur diyakini sebagai tempat kelahiran nabi Ibrahim (Abraham), bapak agama-agama samawi yaitu Islam, Kristen dan Yahudi.

Paus menyerukan pentingnya persaudaraan antaragama, perdamaian, toleransi, solidaritas dan perlindungan bagi minoritas teraniaya.

“Mari kita tegaskan lagi bahwa Tuhan sangat penyayang. Hujatan terbesar adalah mencemarkan nama-Nya dengan membenci saudara-saudara kita lainnya. Permusuhan, ekstremisme dan kekerasan tidak lahir dari hati religius tapi dari pengkhianatan terhadap agama,” kata Paus Fransiskus.

Kehadiran Paus Fransiskus di IraK adalah kabar gembira di tengah penderitaan rakyat. Kata-katanya mencabut rasa takut dari jiwa. Sebuah kemenangan bagi kebaikan. Ada harapan hadirnya sebuah masa depan yang damai. Persaudaraan antarsesama pemeluk agama dan antaragama bersemi kembali.

Rakyat Irak seperti Israel yang kembali dari tanah pembuangan Babilon. Relasi dengan sesama dan Tuhan dipulihkan. Mereka kembali ke “Yerusalem” yang menjadi pusat jiwa religius.

Masa pembuangan menjadi sebuah peluang rahmat yang mengubah hidup menuju sebuah masa depan baru sesuai kehendak Allah (2Taw 36:14-19). Mereka meretas hidup baru setelah sekian lama melukai hati Allah yang penuh kasih. Melalui dosa bergelimang waktu. Namun Tuhan yang penuh kasih memulihkan kembali relasi yang telah rusak itu dengan kerahiman-Nya tanpa batas.

Pemulihan relasi dengan Allah itu tidak berdasar pada kebaikan yang kita lakukan. Kasih Tuhan itu tidak pernah disogok dengan segala perbuatan baik dan karya amal kita. Cinta itu sesungguhnya merupakan pemberian Allah secara cuma-cuma. Cinta itulah yang selalu menantang kita agar hidup pantas sebagai anak-anak Allah (Ef 2:10).

Penginjil Yohanes menegaskan bahwa Allah kita adalah kasih. Dia menaruh kasih demi kebahagiaan umat-Nya. Dia bukan sosok kejam yang menindas dan menghukum manusia, meski peluang itu niscaya. Apalagi manusia sebagaimana disimbolkan Israel gemar melanggar sumpah.

Dia bukan Allah yang mengandalkan perbuatan baik manusia untuk menyogok kebaikan-Nya. Allah kita tidak berbuat untuk kepentingan diri-Nya. Opsinya adalah kebahagiaan umat. Meski jalan salib adalah risiko terberat. Darah-Nya tertumpah untuk memurnikan jiwa umat. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabat-Nya” (Yoh 15:13).

Mari kita hidup dalam kasih persaudaraan tulus. Saat kita menyapa “saudara” kita mengatakan bahwa orang lain adalah diri kita yang lain. Titian untuk bersatu sebagai saudara adalah kasih. Sebagaimana yang diretas Allah untuk mengutuhkan kembali hubungan dengan manusia yang retak karena dosa.

Hanya dengan jalan inilah kita membuka gerbang hidup bersama yang damai. Kehadiran kita satu sama lain adalah kabar gembira. Injil yang hidup. Inilah jalan hati religius yang mencabut ketakutan dari jiwa sesama kita.*

Simak juga video renungan harian katolik berikut:

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved