Renungan Harian Katolik

Renungan Harian Katolik, Senin 8 Maret 2021: MAKNA PENOLAKAN

Kalau penginjil Lukas mencatat kisah penolakan atas diri Yesus di kampung halaman-Nya itu, tentu di baliknya terkandung pesan buat para pembaca injil

Editor: Agustinus Sape
Foto Pribadi
Pater Steph Tupeng Witin SVD 

Renungan Harian Katolik, Senin 8 Maret 2021: MAKNA PENOLAKAN (Lukas 4:24-30)

Oleh: Pater Steph Tupeng Witin SVD

POS-KUPANG.COM - Tidak hanya zaman dulu, zaman kini pun terjadi bahwa seseorang bisa tak dihargai di kampung halamannya sendiri, oleh orang-orangnya sendiri seperti kerabatnya atau kaumnya. Hal seperti ini terjadi dan dialami oleh siapa pun, di mana pun, kapan pun.

Alasan penolakan bisa terdapat pada diri pribadi orang yang bersangkutan, atau ada pada diri orang lain. Katakanlah, karena kesombongan diri orang itu, kurang dilakukannya pendekatan, komunikasi, sosialisasi.

Tapi bisa pula karena karena orang-orang sudah sangat mengenalnya dan pengenalan itu sungguh berakar kuat dan mendalam. Tak berubah pandangan, persepsi dan penilaian terhadap diri pribadi yang bersangkutan, walau orang itu telah jauh berubah: dari jahat menjadi baik, dari bodoh menjadi pintar, dari biasa-biasa menjadi luar biasa, dari tak ada apa-apanya menjadi berpunya.

Saat ditolak di Nazaret, kampung halamannya, Yesus menyinggung bahwa sebelum Dia, nabi Elia dan nabi Elisa pun pernah mengalami nasib yang sama. Jadi, Dia tidak heran dengan penolakan diri-Nya oleh orang-orang se-kampung halaman-Nya. Dia menerima itu sebagai sebuah keniscayaan. Soalnya, tiap orang mempunyai persepsi, pandangan, penilaiannya sendiri, terlepas dari salah atau benarnya.

Kalau penginjil Lukas mencatat kisah penolakan atas diri Yesus di kampung halaman-Nya itu, tentu di baliknya terkandung pesan buat para pembaca injilnya, termasuk kita, bahwa penolakan itu adalah bagian dari hidup dan panggilan.

Kehebatan, keberhasilan tak melulu dikagumi, disanjung, dipuji orang lain; tapi juga diejek, dicemooh, ditolak. Ternyata kehebatan dan keberhasilan tak selamanya berbuahkan apresiasi, tapi juga menumbuhkan benih ketidakterimaan. Maka, tak perlu berkecil hati. Sabda Yesus menjadi peneguh, "... sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya" (Luk 4:24).

Namun sudah barang tentu kita tak hanya berada dalam posisi ditolak, menjadi obyek dan sasaran penolakan. Sangat boleh jadi kita pun berlaku sebagai subyek, sebagai penolak, yang melancarkan penolakan terhadap orang lain; bahkan kita menolak Tuhan sendiri. Harus diakui bahwa terkadang betapa susahnya kita harus menerima kenyataan orang lain sudah berubah, apalagi capaian perubahannya justru melampaui diri kita sendiri.

Makanya, catatan Lukas tentang kata-kata Yesus lebih lanjut kiranya memberikan pesan penting yang bisa menohok. Yesus berkata kepada orang-orang se-kampungnya: "Pada zaman Elia terdapat banyak perempuan janda di Israel, tapi ketika terjadi bahaya kelaparan yang hebat menimpa seluruh negeri, Elia diutus hanya kepada seorang perempuan janda di Sarfat. Begitu pun terdapat banyak orang kusta di Israel, tapi pada zamannya nabi Elisa hanya mentahirkan Naaman, orang Siria" (Luk 4:25-27).

Apa maksudnya? Elia dan Elisa itu dua nabi besar pada masanya. Mereka adalah utusan Allah. Tapi karena ditolak, maka mereka tidak "diutus" dan tidak bisa melakukan apa pun yang baik kepada kaum sebangsanya. Mereka justru "diutus" untuk memberikan pertolongan hanya kepada perempuan, janda, orang asing. Jadi, hanya kepada orang yang tersisih, dibuang, tapi sungguh membutuhkan pertolongan.

Dengan begitu, terang benderang pesannya bagi kita. Bahwa dengan alasan apa pun kita bisa saja menolak kehadiran orang lain, bahkan kehadiran Tuhan. Namun dengan penolakan, tak dimungkinkan orang menunjukkan kebaikan yang ada pada dirinya. Buah dari penolakan adalah nirpertolongan, tak adanya kebaikan yang bisa diperoleh dari Tuhan. *

Simak juga video renungan harian katolik berikut:

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved