Renungan Harian Katolik
Renungan Harian Katolik, Sabtu 6 Maret 2021: MENGASIHI DAN MENGAMPUNI
Dengan perumpamaan ini, Yesus mengajak siapa pun untuk berpikir dan bermenung mengenai hal-hal yang lebih dalam
Renungan Harian Katolik, Sabtu 6 Maret 2021: MENGASIHI DAN MENGAMPUNI (Lukas 15:1-3.11-32)
Oleh: Pater Steph Tupeng Witin SVD
POS-KUPANG.COM - Disungut-sungut dan dipersoalkan oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat karena menerima para pemungut cukai dan orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka (Luk 15:1-2), Yesus lantas menyampaikan perumpamaan tentang anak yang hilang.
Ada seorang ayah mempunyai dua anak. Yang bungsu meminta bagiannya untuk mulai hidup di rantau. Di sana ia berfoya-foya dan ketika ada bencana kelaparan, ia jatuh melarat dan terpaksa hidup sebagai budak.
Akhirnya, ia memutuskan pulang. Ketika melihat anaknya dari kejauhan, sang ayah lari menjemputnya; menyuruh orang untuk memberinya jubah terbaik, cincin, dan sepatu sebagai tanda ia diakui kembali sebagai anak, bukan diterima sebagai budak. Kedatangannya dipestakan.
Sementara itu si sulung saat pulang dari ladang langsung ngambek dan tak mau masuk rumah ikut berpesta. Tetapi sang ayah keluar membujuknya, diajak ikut bersukacita karena adiknya yang hilang itu barusan kembali.
Dengan perumpamaan ini, Yesus mengajak siapa pun untuk berpikir dan bermenung mengenai hal-hal yang lebih dalam dan bukan sekedar untuk berkaca dan diharapkan bertobat, atau menjadikan dasar untuk memberikan penilaian terhadap sesama.
Kisah Abang yang dengki akan kemujuran adiknya bukan hal baru. Ada kisah Kain dan Abel, Esau dan Yakub, Yusuf dan saudara-saudaranya. Sang Abang umumnya ditampilkan sebagai tokoh konyol, sedangkan yang muda yang beruntung.
Perumpamaan anak yang hilang rupanya berpola yang sama. Namun arah, alur, dan makna kisahnya berbeda. Karena walau akhirnya anak bungsu mujur, tapi si sulung tak kehilangan haknya seperti halnya Kain, Esau, atau saudara-saudara tua Yusuf.
Kehadiran kembali si bungsu tak menggeser yang sulung. Karena sikap dan perlakuan sang ayah tak berubah. Kalau begitu, pesan apa yang ingin Yesus sampaikan?
Kalau orang melakukan kesalahan, ia layak terkena hukuman. Atas dasar prinsip itu, kebaikan mestinya mendatangkan pahala. Tanpa disadari, gagasan ini sering mendasari cara orang memandang kejadian dan melandasi penilaian terhadap orang lain.
Lewat perumpamaan, Yesus seakan memperlihatkan bahwa si bungsu dianggap bersalah karena tak berlaku sebagai anak yang baik. Kelakuan foya-foyanya di luar negeri menjadi dasar bahwa ia pantas dihukum. Tapi, sebenarnya kebobrokan si bungsu bukan hanya kesalahannya semata, karena disinggung adanya kondisi yang tak bisa dikontrol, yakni bencana kelaparan.
Yesus pun menunjukkan bahwa si sulung adalah tipe anak yang baik, setia, berbakti. Dalam perspektif tadi, si sulung tentu mendapat pahala. Tapi menarik bahwa ia justru mengeluh karena tak mendapat kesempatan bersenang-senang, walaupun bertahun-tahun melayani dan tak pernah melanggar perintah.
Hanya menariknya, bersamaan dengan itu, Yesus menampilkan figur sang ayah terhadap kedua anaknya. Ketika melihat dari jauh si bungsu kembali, sang ayah lari tergopoh-gopoh menyongsongnya. Bahkan sebelum anak itu sempat mengucap minta ampun, sang ayah sudah memeluk dan menciumnya.
Sedangkan kepada si sulung, sang ayah bersikap sama. Ia keluar menemuinya dan membujuknya. Ia pergi menemui, membujuk, menenangkan dan tidak diam menunggu dalam rumah.
Nah ... di sinilah terletak warta perumpamaan itu. Siapa pun diajak menyadari bahwa Bapa yang diperkenalkan Yesus itu bertindak seperti ayah yang pengampun dan pemurah. Dan, gagasan atau persepsi "pendosa mesti dihukum" dan "orang baik mesti diberi pahala" tidak cukup untuk memperkenalkan Bapa yang seperti itu. Gagasan macam itu justru akan membuat orang merasa terus-terusan menyesal seperti si bungsu, atau kesal melulu seperti si sulung.
Perumpamaan ini setidaknya membantu kita selama Masa Prapaskah ini untuk bermenung kebesaran Bapa di surga. Ia mencintai si bungsu orang yang berdosa" dan mengasihi si sulung "orang yang kaku hati". Ia tak duduk mengadili atau menghukum. Ia justru "tergopoh-gopoh" mendatangi kita yang berdosa dan remuk hatinya. *
Simak juga video renungan harian katolik berikut: