Opini
Membaca “Tarik Tambang Kepentingan” Wabup Ende: Hasrat Kuasa Versus Kompromi Cerdas
Bila kita mengikuti alur judul berita di atas, maka dalam kasus Cawabup Ende, Domi Mere dan Heri Wadhi “tarik tambang” melawan Erik Rede.
Sosok wakil bupati yang memiliki integritas dan rekam jejak pengabdian yang baik akan menjadi bumerang dan ancaman bagi perilaku suka garong-garong uang rakyat dengan mekanisme yang terkesan seolah-olah formal. Para penggarong kelas kakap biasanya akan menelikung di tengah jalan dengan menghadirkan sosok yang memang telah lama menjadi “bidak” yang gampang diatur sekehendak hasrat. Apalagi “bidak” itu pun rekan seprofesi lama yang bila “dihadiahi kursi” akan menjadikan masa kekuasaan sebagai momen “pesta pora” gerombolan.
Selama satu tahun lebih, Bupati Achmad Djafar memimpin Ende tanpa wakil bupati. Roda pemerintahan memang mesti berjalan. Fakta ini niscaya. Semua berjalan baik-baik saja. Kita juga tidak tahu apa yang bergayut di nurani aparat birokrasi dan rakyat Ende.
Tapi kehadiran seorang wakil bupati adalah perintah undang-undang. Tidak bisa tidak. Prosesnya menjadi domain partai politik (koalisi pengusung Paket Marsel-Djafar). Pasal 174 ayat 2 Undang-Undang Pilkada Nomor 10 tahun 2016 mensyaratkan usulan dua pasangan calon kepada DPRD untuk dipilih (Pasal 174 ayat 1 dan 2).
Sebagai calon rekan sekerja, tentu saja bupati punya hak bicara dengan koalisi partai dalam proses pencalonan. Penulis tidak akan percaya bahwa selama ini Bupati Djafar tidak membangun komunikasi dengan partai pengusung, tokoh agama dan tokoh publik. Bahkan ketua-ketua partai pun membangun komunikasi dengan banyak pihak di luar partai sebagai representasi rakyat.
Maka usulan nama-nama calon wabup tidak mungkin tanpa komunikasi dengan bupati dan tokoh-tokoh publik. Meski demikian, kita tidak menampik bahwa politik tidak akan pernah abai apalagi absen dari aneka kepentingan. Prinsipnya, semua kepentingan itu mesti berkiblat pada pengabdian kepada rakyat.
Politik Menelikung
Terkait lowongnya kursi wakil bupati Ende setahun lebih ini, Partai Golkar telah mengusulkan dua nama yaitu Domi Mere (Mantan Kepala Dinkes NTT) dan Heri Wadhi (Ketua Golkar Ende). Dua nama itu merepresentasikan posisi Golkar di ruang publik yang mengakomodasi suara “dari dalam” dan apresiasi terhadap suara publik sebagai bukti kepekaan.
Suara publik ini urgen bagi partai sebagai tanda keterbukaan dan representasi akar rumput dengan empat semangat: Golkar Bersih, Golkar Bangkit, Golkar Maju dan Golkar Menang (4G).
Menelusuri jejak sejarah pencalonan Marsel-Djafar pada Pilkada lalu, maka partai-partai koalisi mesti berjiwa besar mengakui bahwa lowongan kursi Wabup Ende adalah haknya Partai Golkar. Marsel-Djafar adalah representasi bersatunya Golkar dan PDIP dalam proses kaderisasi kepemimpinan.
Kompromi Cerdas
Thomas Meyer dalam buku Kompromi Jalur Ideal Menuju Demokrasi (2008) menyatakan, demokrasi identik dengan bersatunya banyak kepentingan yang mesti didialogkan agar mencapai tujuan sejati bagi rakyat. Beragam kepentingan menjadi kekayaan yang butuh manajemen pengelolaan bijaksana dengan mempertimbangkan aspirasi semua golongan demi mendapatkan legitimasi dan kepercayaan publik.
Jalannya melalui sebuah kompromi yang cerdas. Kepercayaan dan kemampuan berkompromi cerdas membuat rakyat paham bahwa aspirasi dan kepentingannya dipertimbangkan secara adil. Inilah makna demokrasi yang substantif.
Budaya kompromi yang cerdas, menurut catatan sejarah, telah terbukti menjadi salah satu syarat untuk demokrasi yang sukses dan terpercaya. Kompromi merupakan jalan rasional dan solusi alternatif untuk mengakomodasi semua kepentingan, baik mayoritas maupun minoritas dengan memuliakan kepentingan publik (bonum commune).
Menyatukan sebanyak mungkin kepentingan, aspirasi dan nilai dalam pertimbangan menuju kompromi cerdas merupakan sasaran terpenting dalam demokrasi. Selama proses itu, kompromi menjadi ruang belajar bersama yang mematangkan keterampilan politik dalam ranah berdemokrasi.
Terkait kursi lowong Wabup Ende, kompromi cerdas ini mesti menjadi solusi rasional di tengah fakta “tarik tambang kepentingan” antara Partai Golkar dan partai koalisi lainnya. Kita menduga, terbentuknya “koalisi baru” dadakan di dalam satu koalisi pengusung Marsel-Djafar patut didiskusikan lebih intens dalam kerangka masa depan demokrasi Ende.