Renungan Harian Katolik
Renungan Harian Katolik, Kamis 4 Februari 2021: DEBU PERINGATAN
Yesus baru saja pulang ke Nazaret, mengunjungi kampung halaman-Nya. Di sana Ia tidak diterima dengan baik justru oleh orang-orang yang mengenal-Nya.
Renungan Harian Katolik, Kamis 4 Februari 2021: DEBU PERINGATAN (Markus 6:7-13)
Oleh: Pater Steph Tupeng Witin SVD
POS-KUPANG.COM - Yesus baru saja pulang ke Nazaret, mengunjungi kampung halaman-Nya itu. Di sana Ia tidak diterima dengan baik justru oleh orang-orang yang mengenal-Nya. Seperti dicatat penginjil Markus, kejadian itu membuat Yesus heran (lih. Mrk 6:6).
Maka Yesus mengubah pendekatan. Ia tidak mau langsung datang ke suatu tempat, melainkan mengirim utusan terlebih dahulu. Diutus-Nya orang-orang ring satu, yang paling dekat dengan diri-Nya.
Markus mengidentifikasi para utusan itu dengan sebutan "kedua belas murid" (Mrk 6:7). Mereka diutus berdua-dua untuk mengabarkan dan menunjukkan perbuatan-perbuatan kuasa-Nya. Mereka menyiapkan orang-orang untuk menerima kedatangan Yesus nanti. Barulah kalau orang-orang di tempat itu memberi respon positif mau menerima-Nya, Ia sendiri akan datang. Jangan sampai terulang kejadian di Nazaret. Di sana orang-orang belum siap menerima Dia.
Ada beberapa pesan penting yang disampaikan Yesus kepada para utusan itu. Salah satunya ialah agar mereka tinggal di tempat yang menerima mereka "sampai kamu berangkat dari tempat itu" (Mrk 6:10). Bukan berarti mereka dinasihati agar berlama-lama di tempat yang menerima mereka. Mereka hanya perlu bertamu seperlunya dan menjelaskan apa yang bisa orang-orang itu peroleh nanti dari Yesus bila Ia datang ke tempat mereka. Setelah orang-orang itu paham, para utusan akan kembali menemui Yesus dan berkabar kepada-Nya mengenai orang-orang yang telah mereka temui.
Tapi bagaimana dengan tempat yang tidak menyambut baik? Mereka disuruh pergi meninggalkan tempat itu dan "mengebaskan debu dari kaki mereka sebagai peringatan" (Mrk 6:11). Apa arti mengebaskan debu dari kaki? Apakah ini artinya mengancam dan mengutuk?
Memang agak gampang ditafsirkan bahwa bila orang lain tak mau terima ya udah, ucapkan good bye untuk selamanya dan pergi dari situ. Mendingan pergi ke tempat lain di mana ada penerimaan. Belum lagi kalau sikap penolakan itu sungguh menyakitkan; ada hal yang tak mengenakkan dan sungguh bikin luka di batin.
Maka, agar peristiwa pahit itu tidak membekas kuat dan menjadi pengalaman traumatis yang bisa terulangi, maka "kebaskanlah debu dari kaki". Artinya, lepaskan semua dan tidak usah lagi ada sisa bekas sedikit pun pada diri dan selamanya tak ada lagi kenangan.
Tapi tentu tafsiran semacam itu tak sejalan dengan sikap Yesus yang mau memerdekakan, bukan mengucilkan apalagi menghempaskan. Pesan Yesus, "kebaskanlah debu dari kaki" ternyata mesti dipahami dalam arti demikian. Bila mereka ditolak, tak usah mereka merasa perlu melaporkan bahwa mereka pernah datang ke tempat tadi. Tak perlu buat bukti bahwa mereka pernah datang ke tempat itu tetapi ditolak. Anggap saja penolakan itu tak pernah terjadi.
Tak perlu diingat dan diceriterakan. Tak perlu berkeluh kesah. Kaki mereka dikebas, sehingga tak ada kena debu di tempat itu. Biarkan debu tetap tinggal untuk jadi peringatan bahwa tempat itu memang belum mau menerima Yesus.
Tapi masih ada kesempatan lain bagi tempat itu. Boleh jadi di waktu mendatang, dalam keadaan lain, sikap mereka berubah. Tempat itu tak boleh dicoret dari daftar tempat yang bakal menerima Yesus. Tempat itu tak boleh menjadi pengalaman pahit, traumatis.
Merenungkan ini kita bisa berkaca. Kenyataan bahwa penolakan tidak dapat dihindarkan. Hidup ini tak hanya melulu diterima dan diakui. Tapi terbuka kemungkinan bisa saja tidak diterima, tak diakui, ditolak.
Dalam banyak hal kita bisa mengalami kenyataan ditolak kehadiran; karya baik yang dilakukan tak diakui. Tak terkecuali saat kita memperkenalkan Yesus dan mempersiapkan kehadiran-Nya bagi orang lain. Tak melulu lancar dan kita disambut dengan baik. Situasi, karakter, hati, kepentingan orang-orang berbeda-beda. Suatu keniscayaan terjadi ketidakterimaan.
Pesan Yesus kiranya menjadi pegangan kita, "kebaskanlah debu dari kaki". Biarkan debu penolakan tetap tinggal sebagai peringatan bahwa mereka belum menerima, belum terbuka hati untuk menerima. Tapi kita tak membawa debu itu sehingga menjadi kenangan dan pengalaman traumatis bagi kita. Mungkin belum saatnya mereka membuka hati. Tapi tetap terbuka kemungkinan kelak mereka akan membuka hati dan menerima. *
Simak juga video renungan harian katolik berikut: