Pria Timor Leste ini Pura-pura Setia Hingga Wakili Indonesia ke Kanada Lalu Membelot &Lakukan; Ini
Pria Timor Leste Ini Pura-pura Setia Kepada Indonesia, Sempat dilatih di kamp militer di Timor Leste, terpilih untuk mewakili pemerintah Indonesia
Dia juga telah melobi pejabat di Amerika Serikat dan Kanada untuk mengakhiri keterlibatan pemerintah mereka dalam apa yang disebut sebagai genosida terburuk, per kapita, sejak Holocaust Eropa.
Sekitar 200.000 orang Timor - sepertiga dari populasi sebelum invasi - diduga telah meninggal akibat pendudukan ilegal Indonesia di bekas jajahan Portugis, yang dimulai kurang dari 24 jam setelah kunjungan kenegaraan resmi ke Jakarta oleh Presiden AS saat itu Gerald Ford dan sekretaris negaranya, Henry Kissinger.
“Saya menganggap diri saya salah satu yang beruntung. Ada ratusan ribu orang Timor Leste yang tidak dapat berbicara tentang apa yang mereka alami selama 24 tahun terakhir, ” kata Galhos dalam pidatonya di Yonago, Jepang.
Mengutip Japan Times, dua adik laki-laki Galhos tidak seberuntung itu. Mereka berdua dibunuh saat masih anak-anak oleh tentara Indonesia.
“Alasan saudara laki-laki saya terbunuh adalah karena mereka menangis karena kelaparan,” katanya Galhps.
Galhos juga menceritakan, saat masih seorang siswa sekolah dasar berusia 10 tahun, suatu hari tentara muncul di sekolah dan menuntut agar semua siswa perempuan berbaris di luar gedung sekolah.
Mereka kemudian disuntik dengan Depo Provera untuk menyebabkan kemandulan. Para prajurit tidak berhenti sampai di sini.
“Mereka datang ke setiap rumah, setiap sekolah. Mereka mengantre semua wanita - bahkan wanita yang sudah menikah - dan mereka menyuruh kami memberikan tubuh kami ke Indonesia, ” kata Galhos.
Pada awal 1980-an, pemerintah Indonesia meluncurkan program “keluarga berencana” di Timor Lorosae.
Seperti yang diamati oleh pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, Uskup Carlos Belo, "Dengan begitu banyak yang tewas, kami tidak memiliki masalah populasi di sini."
Pada tahun 1994, Uskup Belo melaporkan bahwa perempuan desa menjadi sasaran “program sterilisasi sistematis” di klinik desa yang berada di bawah pengawasan pos militer.
Pengalaman Galhos membawanya untuk mulai bekerja dengan perlawanan pada tahun 1989, ketika dia berusia 17 tahun.
Pada tahun 1991, ia menjadi anggota resmi gerakan kemerdekaan klandestin, dan sejak saat itu ia mendorong wanita lain untuk bergabung.
Pada November 1991, dia membantu mengorganisir demonstrasi damai untuk memprotes pembunuhan seorang pemuda Timor oleh Tentara Indonesia. Demonstrasi ini kemudian berujung pada peristiwa berdarah yang dikenal sebagai 'Pembantaian Santa Cruz'.
Setelah pembantaian tersebut, Galhos harus berpura-pura setia kepada pemerintah Indonesia.