Renungan Harian Katolik
Renungan Harian Katolik, Sabtu 23 Januari 2021: TETAP FOKUS
Dalam berbagai kisah di Injil, Yesus begitu populer, mudah diterima dan diikuti banyak orang.
Renungan Harian Katolik, Sabtu 23 Januari 2021: TETAP FOKUS (Markus 3:20-21)
Oleh: Pater Steph Tupeng Witin SVD
POS-KUPANG.COM - Harus diakui bahwa Yesus adalah tokoh yang dipuji, diidolai, disanjung, dan dikerumuni banyak orang. Dalam berbagai kisah di Injil, Yesus begitu populer, mudah diterima dan diikuti banyak orang. Hal ini bisa dimengerti mengingat pribadi-Nya sungguh berwibawa. Tatapan mata-Nya tajam. Kata-kata-Nya bernas dan menggetarkan. Tindakan-Nya penuh belas kasih dan selalu berujung pada berbagai mukjizat dan pertolongan.
Walau begitu, tak semua orang menerima dan mengagumi Yesus. Ada juga banyak orang yang tak menyukai-Nya. Sebut saja orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Mereka selalu menunjukkan rasa tak suka dan benci mereka pada Yesus. Tapi kayaknya mereka ini sudah dianggap biasa, karena stabilitas loci mereka terganggu, bahkan terancam oleh kehadiran Yesus.
Yang justru mengenaskan adalah kaum keluarga Yesus sendiri. Sulit dibayangkan bagaimana mereka bisa mengatai Yesus dengan sebutan tidak waras. Tentang ini penginjil Markus bersaksi dengan catatannya, "Waktu kaum keluarga-Nya mendengar hal itu, mereka datang hendak mengambil Dia, sebab kata mereka Ia tidak waras lagi" (Mrk 3:21).
Apa yang terjadi pada Yesus, bisa dihadapi dan dialami oleh siapa pun. Soalnya, sebaik apa pun seseorang, tak pernah terlihat baik oleh semua mata manusia.
“At your best you still won't be good enough for the wrong person. At your worst, you’ll still be worth it to the right person" (Anonymous, the Artidote).
Kita coba mendalami sikap dan tanggapan Yesus sendiri? Apakah Dia kecewa, emosi dan dendam ketika orang lain menyebutnya tak waras? Apakah Dia terbebani ketika orang-orang di Nazareth (pernah) menolak-Nya? Apakah Dia melampiaskan kemarahan-Nya? Apakah Dia memproses mereka secara hukum?
Kalau kita lakukan penelusuran atas seluruh Injil, nampak sangat kentara bahwa Yesus selalu memposisikan diri-Nya "bebas" dari opini buruk orang-orang. Dia tak pernah membiarkan penghinaan dari orang lain menentukan tindakan karya-Nya. Artinya, tak ada pengaruhnya perkataan negatif; sementara Dia terus saja berbuat baik dan benar: menyembuhkan, mengajar, membangkitkan orang mati, dan memberi makan banyak orang.
Yesus selalu menjadi diri-Nya sendiri, tanpa kepalsuan dan tanpa kemunafikan. Dia tak membutuhkan persetujuan dan pengakuan orang lain. Bahkan Dia tak mengharapkan orang lain untuk mengerti diri-Nya. Mengapa Dia mampu seperti itu? Hal itu terutama karena Yesus selalu menarik diri untuk sendiri dan hening dari kediktatoran popularitas dan kerumunan orang-orang. Dalam keheningan dan doa, Dia mampu melihat realitas dengan jernih dan tetap konsisten sebagai "Anak yang dikasihi Bapa-Nya" dengan tugas untuk keselamatan manusia apa pun taruhan dan berapa risikonya.
Di sisi lain, Yesus begitu bijak untuk memahami bahwa Dia tak perlu memaksa orang lain untuk berubah. Hal ini bisa dilihat di dalam kisah penolakan terhadap diri-Nya di antara kerabat-Nya sendiri. Dia memilih untuk meninggalkan Nazareth dan lebih banyak menghabiskan waktu di Kapernaum.
Yesus tidak membutuhkan ‘approval’ atau persetujuan dari sinagoga, dari kampung halaman-Nya, bahkan dari keluarga-Nya. Yesus tidak pernah punya ambisi untuk disukai. Bagi-Nya, yang terutama adalah melakukan kehendak Bapa.
Apa yang diperlihatkan Yesus memberi makna luar biasa bahwa kita tak perlu lagi ‘terpenjara’ oleh keinginan untuk disukai siapa saja dan ‘menggadai’ kebebasan yang sejatinya memampukan kita tetap dalam arah dan jalan lurus sebagai "anak yang dikasihi Bapa".
Kita tak boleh terperangkap dan terpenjara oleh pendapat, penilaian, dan cap dari orang lain. Kita tetap fokus menyertai Yesus dan hidup dengan visi dan misi seperti yang dihidupi Yesus, yakni hidup baik, utamakan kebaikan, melakukan kebaikan untuk keselamatan. *