Opini Pos Kupang
Eksistensi Bahasa Indonesia Di Tengah Pandemi Covid-19
Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi Bangsa Indonesia yang dikumandangkan secara resmi pada tanggal 28 Oktober 1928
Oleh: Febry Suryanto (Tinggal di Unit Mikhael Ledalero)
POS-KUPANG.COM - Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi Bangsa Indonesia yang dikumandangkan secara resmi pada tanggal 28 Oktober 1928, bertepatan dengan lahirnya Sumpah Pemuda.
Sumpah Pemuda sebagai ikrar persatuan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa resmi negara sehari setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan (Sujinah, 2018: 4).
Dengan demikian, kedudukan Bahasa Indonesia urgen untuk dijaga dan dilestarikan. Bahasa Indonesia menjadikebutuhan penting dalam kehidupan berbangsa karena fungsinya sebagai sarana komunikasi.
Baca juga: Begini Suasana Bongkar Muat di Pelra Waingapu
Seiring perkembangan zaman, kedudukan Bahasa Indonesia lambat laun mengalami pergeseran. Situasi global seperti pandemi Covid-19 pun turut berpengaruh terhadap perkembanganBahasa Indonesia.
Perkembangan Bahasa Indonesia selama masa pandemi sangat berpengaruh terhadap keberadaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Hal itu disebabkan oleh munculnya diksi baru baik berupa akronim maupun istilah-istilah asing yang membawa kebingungan bagi sebagian masyarakat.
Munculnya beberapa diksi baru terutama istilah-istilah asing terasa asing bagi sebagian masyarakat. Merekakebingungan dalam menangkap informasi yang berhubungan dengan Covid-19 karena pemerintah dalam hal ini gugus tugas penanganan Covid-19 maupun orang-orang yang mempunyai kepentingan dalam menyampaikan informasi terkait wabah ini cenderung menggunakan istilah-istilah yang terdengar asing di telinga masyarakat.
Baca juga: Kakek 60 Tahun Ditemukan di Kali Talau-Belu, Hasil Identifikasi Ini Identitasnya
Ada beberapa akronim dan istilah asing yang sering digunakan selama penyebaran maupun penanganan pandemi Covid-19 ini, seperti ODP, PDP, APD, OTG, PSBB, lockdown, herdimunity, invortedcase, suspect, droplet, scranning, flattenthecurve, socialdistancing,physicaldistancingdan beberapa istilah asing lainnya.
Ditinjau dari perspektif sosiologis, penggunaan istilah-istilah asing ini dapat menimbulkan kesenjangan yang mendikotomi antarmasyarakat. Tidak semua orang memahami istilah-istilah asing itu sehingga kesenjangan atau gap informasi dapat terjadi terutama bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah. Padahal kelompok masyarakat ini termasuk paling rentan terjangkit virus.
Kehadiran Diksi Baru
Jika menelisik kembali latar belakang historisnya, Bahasa Indonesia lahir dengan perjuangan yang berat baik sebagai cerminan kehidupan budaya maupun sebagai sarana dalam berkomunikasi.
Betapa tidak, Bahasa Indonesia kala itu harus bersaing dengan berbagai bahasa daerah yang tumbuh dan berakar kuat di berbagai daerah di Indonesia. Akan tetapi, kita bersyukur bahwa pada saat itu kita memiliki orang-orang hebat yang memiliki wawasan luas terhadap kepentingan dan kesatuan bangsa sehingga diangkatlah bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal Bahasa Indonesia.
Eksistensi Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan selain dipengaruhi oleh kekuatan penggunanya, juga didukung oleh kemampuannya dalam mengungkapkan fenomena baru yang berkembang. Bahasa secara filosofis adalah pengungkapan manusia atas realitas melalui simbol-simbol (Sarmadan, 2015: 22).
Oleh karena itu, perkembangan Bahasa Indonesia juga bergantung pada tingkat keberhasilan menciptakan kosakata dan istilah-istilah baru.
Fenomena yang terjadi sejak muncul dan berkembangnya pandemi Covid-19 adalah munculnya beberapa istilah-istilah asing dan akronim. Mengingat kedudukan akronim dan istilah-istilah asing tersebut sangat masif digunakan oleh gugus tugas penanganan Covid-19, maka perkembangan Bahasa Indonesia pun dipengaruhi oleh dinamisasi penyerapan kata-kata dan istilah-istilah asing tersebut.
Penyerapan istilah-istilah tersebut cukup agresif terhadap kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Berhadapan dengan fenomena tersebut, satu pertanyaan penting yang muncul adalah bagaimana kesiapanBangsa Indonesia terhadap munculnya istilah-istilah tersebut. Masalah kesiapan ini tergantung latar belakang pendidikan masyarakat.
Bagi masyarakat yang berpendidikan rendah, kehadiran istilah-istilah asing dapat menimbulkan kebingungan ditambah lagi dengan tempat tinggal yang sulit dijangkau serta keterbatasan dalam penggunaan media informasi.
Kenyataan seperti ini bukan tidak mungkin dapat mengancam eksistensi Bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi nasional sebab beberapa kalangan sudah menjadi dekat dengan istilah-istilah asing sedangkan ada kalangan tertentu yang sama sekali tidak mengerti dengan istilah-istilah tersebut.
Sampai di sini, penulis melihat bahwa kehadiran istilah-istilah asing selama masa pandemi Covid-19 telah berdampak pada problematika penggunaan kosakata baru yang berimplikasi pada dikotomi pemahaman antar kalangan serta dapat menimbulkan gap informasi.
Bahasa Bersifat Dinamis
Di tengah problematika munculnya istilah-istilah asing selama masa pandemi, satu hal yang tidak dapat dielakkan adalah sifat kedinamisan bahasa. Sifat kedinamisan bahasa berarti keberadaan bahasa tidak terlepas dari kemungkinan untuk berubah dan berkembang yang terjadi pada tataran fonologis, morfologis, sintaktis, dan semantik (Orong, 2017: 9).
Sifat ini hendak menegaskan bahwa keberadaan bahasa dapat berubah mengikuti perkembangan zaman sesuai konteks tertentu.
Sifat bahasa yang demikian jika diperhadapkan dengan konteks bangsa Indonesia yang saat ini tengah dilanda wabah virus corona dengan kehadiran istilah-istilah asing, maka keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan tidak dipersoalkan.
Namun, persoalannya adalah bagaimana kosakata tersebut dapat diketahui dan dimengerti oleh masyarakat umum khususnya masyarakat menengah ke bawah.
Pentingnya Sosialisasi
Selama masa pandemi Covid-19, pemerintah dalam hal ini gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 menyampaikan informasi seputar virus Corona kepada masyarakat luas dengan menggunakan aplikasi daring dan situs resmi pemerintah.
Menurut penulis, pendekatan yang digunakan oleh pemerintah kurang tepat jika berhadapan dengan akses internet yang kurang merata di Indonesia serta rendahnya tingkat pendidikan masyarakat.
Survei Asosiasi Penyelenggaraan Internet Indonesia menunjukkan bahwa saat ini penduduk Indonesia yang memiliki akses internet berjumlah sekitar 171,7 juta orang atau 64,8 persen. Dari angka tersebut, lebih dari setengahnya berada di Pulau Jawa (detikNews, 21/3/2020).
Berhadapan dengan fenomena tersebut, pemerintah perlu melakukan sosialisasi istilah-istilah asing dan akronim yang digunakan seputar Covid-19 guna meminimalisir kebingungan masyarakat serta meminimalisir terjadinya gap informasi antarkalangan masyarakat.
Pendekatan berupa sosialisasi yang penulis tawarkan merupakan pendekatan yang sangat memperhatikan variasi karakteristik masyarakat. Dalam hal ini pemerintah melakukan pendekatan yang berbeda terhadap masyarakat tergantung karakteristiknya masing-masing. Dengan kata lain, kelompok yang berbeda harus didekati dengan cara yang berbeda pula.
Dalam konteks masyarakat menengah ke bawah, pendekatan ini dapat terealisasi dengan baik maka pemerintah perlu mencari dukungan dari orang-orang yang memiliki keahlian dan potensi serta memiliki pengaruh terhadap kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah sehingga sosialisasi dapat berjalan baik.
Penulis meyakini, kehadiran orang-orang seperti ini sangat membantu pemerintah dalam bersosialisasi karena dilihat dari sudut pandang sejauh mana orang-orang itu telah berpengaruh dalam kehidupan masyarakat.
Dalam perealisasian pendekatan ini, orang-orang yang telah dipercayakan dapat saja menerjemahkan istilah-istilah asing yang ada ke dalam bahasa daerah masyarakat setempat.
Hal ini dapat membantu masyarakat untuk cepat memahami dan mengetahui secara pasti arti dan makna dari istilah-istilah tersebut.Pendekatan menggunakan bahasa daerah sama sekali tidak menggeser eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, tetapi sebaliknya dapat memberi dampak positif, sebab sejatinya bahasa daerah merupakan bagian yang integral dari kebudayaan daerah yang tentunya memberikan andil dalam memperkaya kebudayaan nasional termasuk di dalamnya memperkaya bahasa Indonesia.
Pendapat ini dipertegas oleh pendapat Halim yang mengatakan bahwa di dalam hubungannya dengan fungsi Bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai pendukung bahasa nasional (1976: 146).
Pendekatan yang penulis tawarkan sejatinya bertujuan untuk menggiring masyarakat untuk memahami istilah-istilah asing serta akronim-akronim yang muncul selama penyebaran virus Corona ini sehingga tidak terjadi kebingungan atau gap informasi.
Dengan demikian, masyarakat dapat menerima dengan baik segala anjuran pemerintah serta pemberitaan berbagai media terkait virus Corona sehingga usaha pemerintah dalam memutus rantai penyebaran Covid-19 lambat laun akan berhasil.*