Renungan Harian Katolik
Renungan Harian Katolik, Minggu 10 Januari 2021: Allah Solider dengan Manusia
Inisiasi melalui ritus pembaptisan bangsa Yahudi pada zaman Yesus menjadi momen berahmat mengenang ziarah bangsa Yahudi melintasi Laut Merah.
Renungan Harian Katolik, Minggu 10 Januari 2021: Allah Solider dengan Manusia
Minggu Pembabtisan Tuhan (Yes 42:1-4.6-7; Kis 10:34-38; Mat 3:13-17)
Oleh: Pater Steph Tupeng Witin SVD
POS-KUPANG.COM - Pembaptisan atau permandian berakar di dalam tradisi Yahudi. Seseorang perlu membersihkan diri dari dosa dan kenajisan. Proses pemurnian ini merupakan gerbang bagi seseorang mengikuti suatu upacara agama (Im 15:5,8,10,13; 16:4).
Inisiasi melalui ritus pembaptisan bangsa Yahudi pada zaman Yesus menjadi momen berahmat mengenang ziarah bangsa Yahudi melintasi Laut Merah.
Yohanes membaptis umat Yahudi dalam bingkai pertobatan yang menyiapkan orang menghadapi “murka Allah yang akan datang” (Mat 3:4). Pertobatan melalui pembaptisan merupakan jalan Allah mengampuni dosa manusia.
Maka pembaptisan adalah ritus biasa bagi bangsa Yahudi. Tapi dalam Injil hari ini, ritus biasa itu menjadi luar biasa karena “tamu” yang datang meminta untuk dibaptis adalah Yesus.
Pada titik ini, kita dapat memahami keheranan, kebingungan dan mungkin juga kegelisahan Yohanes saat itu yang spontan mencegah Yesus: Tidak mungkin dirinya membaptis Yesus, sosok yang lebih besar darinya (Mat 3:14-15).
Yohanes merendah, justru Yesuslah yang harus membaptis dirinya. Tapi Yesus menanggapinya dengan kerendahan hati.
"Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah" (Mat 3:15). Yesus yang tak berdosa dapat mengalami suatu baptis pertobatan.
Yesus dan Yohanes merupakan cermin pribadi yang taat kepada Allah dengan jalan rendah hati. Yohanes membiarkan dirinya menuruti, sejajar dengan keinginan Yesus. Ketakutan dan keraguan tidak menjadi halangan untuk melakukan perintah-Nya.
Yesus memberi teladan bagaimana memenuhi kehendak Allah yang merupakan kritik tidak langsung kepada kaum Farisi-simbol kaum angkuh-yang menganggap diri istimewa dan tidak mau dibaptis oleh Yohanes (Luk 7:30).
Melalui pembaptisan, Yesus melakukan kehendak Allah secara penuh. Ia tidak hanya mengajar para pengikut-Nya tetapi mampu menjadi figur Anak Allah sejati yang taat pada Bapa-Nya.
Status sebagai anak Allah semata-mata muncul karena sikap berserah diri dan patuh utuh pada kehendak Bapa. "Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan" (Mat 3:17).
Kepatuhan, ketaatan, sikap penyerahan diri dan akhirnya percaya pada kehendak Allah hanya mungkin terjadi kalau ada kerendahan hati. Sikap ini menghadirkan kelembutan dan kebaikan hati dalam seluruh karya perutusan Yesus. “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya dan sumbu yang berkedip-kedip tidak akan dipadamkan-nya” (Yes 42:3).
Yesus menjadi cahaya bagi bangsa-bangsa yang berdaya membuka mata manusia yang buta, membebaskan manusia dari kurungan penjara dosa. Ia adalah puncak pemenuhan segala janji yang menarasikan cinta kasih Allah secara sempurna.
Kasih Allah yang mengalir dalam seluruh hidup dan karya Yesus itu tanpa diskriminasi. Wawasan karya-Nya merangkum bangsa-bangsa. Wilayah perutusan-Nya menjangkau seluruh bumi menerobos pulau-pulau terpencil, bahkan di sudut terpencil hati manusia (Yes 42:4).
Menurut Rasul Santo Paulus, setiap hati yang tersentuh dan disentuh Yesus akan percaya kepada Allah dan tergerak bahkan digerakkan untuk berbuat baik dan benar. Siapapun dia, tanpa sekat agama, suku, ras dan golongan (Kis 10:35). Terangkum dalam ungkapan “semua yang berkehendak baik.”
Kita diingatkan akan nilai luhur panggilan bahwa kualitas diri-dibutuhkan zaman yang maju-mesti disempurnakan oleh kerelaan hati untuk mau diubah dan mengikuti Kristus hingga Kalvari hidup dan karya perutusan.
Paus Yohanes Paulus II dalam buku Fides et Ratio menegaskan bahwa kita mengikuti Yesus karena kita beriman, percaya kepada-Nya yang lahir dari pengetahuan akan Dia. Kita mengikuti Dia karena mengenalnya, tahu tentang Dia.
Ketika Yesus membiarkan diri-Nya yang suci-murni dibasahi air sungai Yordan yang tercurah dari tangan Yohanes, kita insaf bahwa Ia memasuki ruang sejarah hidup kita yang dijejali dosa tak terbatas.
Ia yang sebenarnya tidak membutuhkan pembabtisan sebagai simbol pertobatan merelakan diri-Nya menjadi seperti kita: sebuah ajakan kenabian yang dahsyat untuk selalu berbalik kepada Allah.
Yesus menegaskan bahwa inti harapan manusia terletak pada kenyataan bahwa Allah solider dengan manusia yang menderita sebagai jalan menuju kemuliaan.
Di satu pihak, Dia tidak bisa menolong menghilangkan penderitaan yang terjadi di dunia karena dosa, di pihak lain dia bukan tidak berbuat apa-apa.
Derita Yesus di salib menjadi bahasa paling nyata dari solidaritas Allah itu. Inti soal bukan pada penderitaan yang mengerikan tapi cinta Allah yang solider.
Salib Yesus adalah narasi kemahabaikan dan kemahakuasaan Allah yang tetap misteri bagi manusia. Kita mesti melalui salib hidup kita dengan setia bersama Dia yang telah terlebih dahulu setia pada kita. *
Simak juga video renungan harian katolik berikut: