Renungan Harian Katolik

Renungan Harian Katolik, Kamis 7 Januari 2021: Memberi Pujian

Setiap manusia, apa pun latar belakangnya, memiliki kesamaan yang mendasar: ingin dipuji, diakui, didengarkan dan dihormati.

Editor: Agustinus Sape
Foto Pribadi
Pater Steph Tupeng Witin SVD 

Renungan Harian Katolik, Kamis 7 Januari 2021: Memberi Pujian (Lukas 4:14-22a)

Oleh: Pater Steph Tupeng Witin SVD

POS-KUPANG.COM - Seorang pengemis duduk mengulurkan tangannya di sudut jalan. Tolstoy, penulis besar Rusia yang kebetulan lewat di depannya, langsung berhenti dan mencoba mencari uang logam di sakunya. Ternyata tak ada. Dengan amat sedih ia berkata, "Janganlah marah kepadaku, hai Saudaraku. Aku tidak membawa uang."

Mendengar kata-kata itu, wajah pengemis berbinar-binar, dan ia menjawab, "Tak apa-apa Tuan. Saya gembira sekali, karena Anda menyebut saya saudara. Ini pemberian yang sangat besar bagi saya".

Setiap manusia, apa pun latar belakangnya, memiliki kesamaan yang mendasar: ingin dipuji, diakui, didengarkan dan dihormati.

Kebutuhan ini sering terlupakan begitu saja. Banyak pimpinan, manajer, sering beranggapan bahwa orang hanya termotivasi uang. Mereka lupa, nilai uang hanya bertahan sampai uang itu habis dibelanjakan. Ini sesuai dengan teori Herzberg yang mengatakan bahwa uang tak akan pernah mendatangkan kepuasan dalam bekerja.

Manusia bukan sekadar makhluk fisik, tapi juga makhluk spiritual yang membutuhkan sesuatu yang jauh lebih bernilai. Manusia, siapa pun dia, butuh penghargaan dan pengakuan atas kontribusi mereka. Tak perlu sesuatu yang sulit atau mahal. Kadang hanya sapaan dan senyuman sederhana, kata-kata pujian yang tulus.

Namun, memberikan apresiasi dan pujian ternyata bukanlah hal yang mudah. Jauh lebih mudah mengeritik orang lain. Lebih gampang melihat dan mengeksploitasi keburukan dan sisi gelap orang.

Seorang kawan pernah mengatakan, "Bukannya aku nggak mau memuji bawahan, tapi aku benar-benar tak tahu apa yang perlu aku puji. Kinerjanya begitu buruk".

"Tahukah lu kenapa kinerjanya begitu buruk?" teman yang lain menyentilnya dengan bertanya. "Karena lu sama sekali tak pernah memujinya!"

Persoalannya, mengapa kita begitu sulit memberi pujian pada orang lain? Menurut saya, salah satu hal yang menjadi penyebabnya mungkin berakar pada cara kita memandang orang lain. Kita tidak atau enggan melihat kebaikan walau hanya senoktah kecil ada dalam dirinya. Dengan begitu kita akhirnya tidak tergerak untuk mengasihinya.

Kasih kita bukanlah "unconditional love", tetapi cinta bersyarat. Kita mencintai pasangan kita, karena ia mengikuti kemauan kita; kita mencintai peserta didik, karena mereka berprestasi di sekolah; kita mengasihi bawahan, karena mereka memenuhi target pekerjaan yang telah ditetapkan.

Perhatikanlah kata-kata di atas: cinta bersyarat. Artinya, kalau syarat-syarat tidak terpenuhi, cinta kita pun memudar. Padahal, cinta yang tulus seperti pepatah Perancis: L`amour n`est pas parce que mais malgre. Cinta adalah bukan "cinta karena", tetapi "cinta walaupun". Inilah cinta yang tulus, cinta tanpa kondisi dan persyaratan apa pun.

Cinta tanpa syarat adalah penjelmaan sikap Tuhan yang memberikan rahmat-Nya tanpa pilih kasih. Cinta Tuhan adalah "cinta walaupun". Walaupun kita mengingkari nikmat-Nya, Dia tetap memberikan kepada kita.

Lihatlah bagaimana Dia menumbuhkan bunga-bunga yang indah untuk dapat dinikmati siapa saja tak peduli si baik atau si jahat.

Dengan paradigma ini, kita akan menjadi manusia yang tulus, yang senantiasa bisa melihat sisi positif orang lain. Ini bisa memudahkan kita memberi pujian.

Penginjil Lukas mencatat, saat Yesus mengajar di rumah-rumah ibadat, semua orang memuji Dia. Tak diuraikan alasannya. Tapi jelas terbayangkan bahwa pasti orang-orang yang mendengarkan Dia, melihat dan menemukan yang baik pada diri Yesus. Ada hal baik yang terpancar keluar dari diri Yesus.

Dan, Yesus memperlihatkan apa kebaikan itu. Ia membaca nas dari kitab Nabi Yesaya, "Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik ..." (Luk 4:18). Kemudian tegas-Nya, "Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarkannya" (Luk 4:21). Jadi, Roh Tuhan ada padanya. Roh itulah yang mengurapi Dia untuk menyampaikan kabar baik.

Catatan Lukas ini memberi pencerahan. Kita tahu, saat Allah membentuk manusia dari tanah liat, Ia kemudian memberi nafas-Nya kepada tiap manusia. Roh-Nya tercurah dan ada pada semua manusia. Tidak ada yang dikecualikan. Roh itulah yang menggugah dan mendorong orang untuk menyampaikan kabar baik dan berbuat baik.

Saat kita dibaptis, Roh dicurahkan lagi yang membuat kita berada di dalam Allah dan Allah di dalam kita. Allah mengaruniakan kita mendapat bagian dalam Roh-Nya (lih. 1 Yoh 4:13).

Berarti, melihat dan menemukan sisi baik yang ada dalam diri orang lain, itu sama dengan melihat Roh yang ada dan memenuhi dirinya. Memberi pengakuan dan pujian atas kebaikan sekecil apa pun yang dilakukan oleh orang lain, berarti mengakui keberadaan Roh yang bersemangat dan menggerakkan orang.

Itu pula menjadi tanda kasih kita kepadanya. St. Yohanes menasihatkan, "... barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya" (1 Yoh 4:20).

Dalam garis yang sama, kalau kita mampu melihat sisi baik pada diri orang lain dan memberi pujian tulus, berarti kita membiarkan diri dibimbing dan mengikuti Roh yang ada dalam diri kita sendiri untuk menyampaikan kabar baik. Kita pun tak perlu segan berkata, "Roh Tuhan ada padaku. Ia mengurapi aku untuk menyampaikan kabar baik".*

Simak juga video renungan harian katolik berikut:

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved