Dicap Jadi Dedengkot Tua, Hendropriyono Bukannya Marah Tapi Menasehati Pigai: Kamu Bukan Yang Dulu
"Buat seorang pejuang tdk ada kata berhenti ananda @NataliusPigai2 Jika negara dlm bahaya, kita hrs membelanya. Harus tanpa hitung untung atau rugi."
Dicap Jadi Dedengkot Tua, Hendropriyono Bukannya Marah Tapi Menasehati Pigai; Kamu Bukan Yang Dulu
POS-KUPANG.COM, JAKARTA-- Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai mempertanyakan kapasitas AM Hendropriono dalam statemennya terkait Front Pembela Islam (FPI).
Guru Besar Sekolah Tinggi Intelijen Negara dan Sekolah Tinggi Hukum Militer, AM Hendropriyono, sebelumnya, dalam pemberitaan sejumlah media massa, mewanti-wanti kepada organisasi pelindung mantan anggota FPI.
Pelarangan FPI diumumkan oleh Menko Polhukam, Mahfud Md. Pemerintah juga mengungkap jejak pidana, dukungan terhadap ISIS, dan perkara terorisme.
Apabila ada organisasi yang menampung eks angota FPI, bisa-bisa organisasi tersebut juga bakal kena sanksi oleh pemerintah.
Apabila ada oknum yang menyampaikan hasutan dan melanggar undang-undang, maka oknum tersebut bisa kena pidana terorisme. Namun setidaknya, masyarakat bisa lega karena FPI sudah dilarang. Demikian kata Hendropriyono.
"Rakyat kini bisa berharap hidup lebih tenang, di alam demokrasi yang bergulir sejak reformasi 1998. Tidak akan ada lagi penggerebegan terhadap orang yang sedang beribadah, terhadap acara pernikahan, melarang menghormat bendera Merah Putih, razia di kafe-kafe, mini market, toko-toko obat, warung makan, mal, dan lain lain kegiatan yang main hakim sendiri," tutur Hendropriyono.

Natalius Pigai pun mempertanyakan kapasitas Hendropriono dalam memberikan pernyataan itu.
"Kapasitas bapak di negara ini sebagai apa ya, penasehat presiden, pengamat? aktivis?. Biarkan diurus generasi abad ke 21 yang egaliter, humanis, Demokrat. Kami tidak butuh hadirnya dedengkot tua. Sebabnya Wakil Ket BIN & Dubes yang bapak tawar saya tolak mentah-mentah. Maaf," tulis Natalius Pigai di akun Twitternya, dikutip Wartakotalive.com, Jumat (1/1/2021).
Sementara itu, AM Hendropiyono merespon cuitan dari Natalius Pigai.
Hendropiono, dalam akun Twitter pribadinya.
Hendro menjawab pertanyaan Natalius Pigai tentang kapasitasnya berbicara soal FPI.
"Buat seorang pejuang tdk ada kata berhenti ananda @NataliusPigai2
Jika negara dlm bahaya, kita hrs membelanya. Harus tanpa hitung untung atau rugi dan muda atau tua."

Hendropriyono juga berkisah pertemuan awalnya berkisah tentang pertemuan awalnya bersama Pigai.
"Waktu pertama kali kita kenal, kamu adalah komisioner Komnas HAM. Kita bertemu di restoran Kunskring di Jl Teuku Umar. Dgn bersemangat kmu menawarkan jasa, utk membela saya dlm kasus Talangsari," tulis Hendropriyono.
"Patriotik dan cerdas krn sy dengar kamu mengkritik ide separatisme dg mngatakan, bhw seharusnya bercita-cita jadi Presiden RI daripada hanya sbg Presiden Papua."
Meski demikian, Hendro menilai, kini ada yang berubah dari sosok Pigai yang dia kenal dulu.
"Setelah lama tidak bertemu dan kmu bukan penguasa lagi, kamu berubah 180 derajat. Selain patriotisme dan kepandaianmu, moralmu juga sangat merosot. Sopan santun dan akal budimu lenyap, krn ditelan kekecewaan sbg penganggur yg tak terakomodasi di tempat yg kmu inginkan."
"Semua kata yg keluar dri mulutmu adalah ungkapan dari pikiranmu. Itulah sebabnya sy bs bilang kamu bukan Pigai yg dulu lagi."
Hendro juga menanggapi ucapan Pigai yang menyebutnya sebagai 'dedengkot tua'.
Terimkasih atas pnghinaanmu kpd sy sbg org tua, yg tdk pernah menyakiti kamu. Sy berhrap agar pikiranmu jgn ksana kmari terus, utk mncari pengakuan atau kedudukan. Pegang teguh prinsip. agar lbh bnyk orang menghargai kamu, shg kmu mndapat tmpt yg terhormat di masyarakat
Demikian Pigai, semoga kita masih bisa bertemu lagi, sebelum umur tdk memungkinkannya. Salam dan selamat tahun baru 2021."
Kisah Hendropriyono dalam Operasi Sandi Yudha...
Perjalanan sosok Abdullah Mahmud Hendropriyono sebagai serdadu tak lepas dari pengalamannya bertahun-tahun di lapangan, termasuk sebagai anggota pasukan elite TNI.
Hendropriyono setidaknya terlibat dalam operasi penumpasan pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) yang terbentuk di masa konfrontasi Ganyang Malaysia (1963-1966) oleh intelijen Indonesia pada era Presiden Soekarno.
"Ini kami (TNI) melatih Tentara Nasional Kalimantan Utara dan PGRS di Surabaya, Bogor, dan Bandung. Akhirnya setelah pergantian pemerintah, Presiden Soeharto memutuskan berdamai dengan Malaysia dan gerilyawan tersebut diminta meletakkan senjata," kata Hendropriyono, sebagaimana dilansir dari buku Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran, Sejak Nusantara Sampai Indonesia (2014) karya Iwan Santosa.
"Karena PGRS tidak menyerah, terpaksa kami sebagai guru harus menghadapi murid dengan bertempur di hutan rimba Kalimantan," ujar Hendropriyono.
Pada awalnya, sekitar tahun 1960, rezim Orde Lama di bawah pimpinan Presiden Soekarno bersama Presiden Filipina Diosdado Macapagal mengkritik pembentukan Malaysia yang dianggap permainan neo-kolonialisme Inggris.
Saat itu, Macapagal sempat menyarankan pembentukan Maphilindo, sejenis federasi Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Sebab, Macapagal menilai ada kesamaan kultural Melayu di tiga negara ini.
Namun, Soekarno lebih memilih berkonfrontasi langsung dalam perang tidak resmi menghadapi Malaysia dan Persemakmuran Inggris.
Perang itu berlangsung sengit di rimba Kalimantan, terutama di perbatasan Kalimantan Barat-Kalimantan Timur.
Peristiwa itu direkam oleh Nick van Der Bijl dalam Konfrontasi, War With Indonesia (1963-1966). Nick menilai pasukan relawan, TNI, dan pasukan PGRS-Paraku mampu menghantam pasukan Gurkha dan SAS.
Situasi politik pun berubah, dan menempatkan TNI harus melucuti bekas muridnya.
Seusai peristiwa Mangkok Merah akhir tahun 1967 yang merupakan kerusuhan masyarakat Dayak-Tionghoa, Hendropriyono yang saat itu berpangkat letnan satu (inf) mendapat tugas untuk bergerilya melawan bekas sekutu TNI itu.
Kemudian, terbentuklah Sandi Yudha, satuan intelijen tempur dari Resimen Para Komando Angkatan Darat, yang saat ini dikenal sebagai Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Sebagian anggota PGRS-Paraku ini adalah pemuda Tionghoa. Ada pula suku Dayak, Melayu, Jawa, dan lain-lain.

Tugas pasukan Sandi Yudha ini dalam perang konvensional tak terikat hukum internasional dan hukum humaniter perang. Fokus penugasan dengan mengambil hati lawan. Opsi pertempuran dan tindakan keras hanya pilihan terakhir.
Hendropriyono memimpin suatu unit berisi delapan orang yang bergerak dalam jumlah kecil. Mereka saat itu berupaya mendekat ke arah gubuk Hassan, seorang komandan PGRS. Peristiwa itu berlangsung semalaman dan senyap.
Salah satu pasukan Sandi Yudha harus membunuh penjaga gubuk yang memegang senjata api dengan sangkur.
Setelah berhasil mendekat, Hendropriyono meminta Hassan menyerah. Namun, Hassan pun melawan. Pertempuran jarak dekat satu lawan satu pun terjadi.
Hendropriyono berhasil menaklukkan Hassan, dalam pertempuran jarak dekat, meski paha dan jarinya sempat luka karena serangan sangkur Hassan.
Hendropriyono dan pasukannya juga berusaha sebisa mungkin membujuk hati musuh agar bersimpati ke Indonesia.
Hasilnya, sebuah peristiwa yang mengharukan terjadi pada 2005. Wong Kee Chok yang pernah menjadi komandan PGRS dan Hendropriyono bertemu. Keduanya pun saling berpelukan, menangis, dan menanyakan kabar masing-masing.
Bahkan, saat peluncuran sebuah buku berjudul Operasi Sandi Yudha, Menumpas Gerakan Klandestin (2017) yang ditulis Hendropriyono, seorang komandan PGRS lainnya bernama Bong Kee Siaw disambut hangat Hendropriyono.
"Kita tidak pernah tahu kapan jadi kawan dan situasi berubah lalu jadi lawan. Bertempurlah dengan ksatria. Jangan menyiksa lawan. Itu sifat prajurit Sandi Yudha," ujar Hendropriyono.
(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Hendropriyono dalam Operasi Sandi Yudha...", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2019/10/07/06184641/kisah-hendropriyono-dalam-operasi-sandi-yudha?page=all#page2
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Disebut 'Dedengkot Tua' oleh Natalius Pigai, AM Hendropriyono: Kamu Bukan Pigai yang Dulu, https://wartakota.tribunnews.com/2021/01/01/disebut-dedengkot-tua-oleh-natalius-pigai-am-hendropriyono-kamu-bukan-pigai-yang-dulu?page=all