Renungan Harian Katolik

Renungan Harian Katolik, Selasa 22 Desember 2020: Pujian

Walau kerap ada orang yang dengan kerendahan hatinya menolak untuk dipuji, tapi di kedalaman hati kayaknya semua ingin dipuji, diagungkan.

Editor: Agustinus Sape
Foto Pribadi
Pater Steph Tupeng Witin SVD 

Renungan Harian Katolik, Selasa 22 Desember 2020: Pujian (Lukas 1:46-56)

Oleh: Pater Steph Tupeng Witin SVD 

POS-KUPANG.COM - Ketika menjumpai Elisabeth, saudaranya, Maria mendapat pujian lewat ungkapan yang luar biasa,  "Diberkatilah Engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku" (Luk1:42-43).

Pujian selalu didambakan oleh siapa pun. Walau kerap ada orang yang dengan kerendahan hatinya menolak untuk dipuji, tapi di kedalaman hati kayaknya semua ingin dipuji, diagungkan. Ada perasaan senang, bahagia bila dipuji. Hati bergejolak ria dan wajah sumringah saat mendapat pujian dari orang lain.

Manusia mana yang tak mau dipuji cantik atau ganteng. Orang tua mana yang hidungnya tak mengembang dan dada tak membusung bangga tatkala diumumkan anaknya peraih ranking pertama, murid teladan dan dipuji dengan seperangkat trofi dan surat penghargaan.

Barangkali Maria pun senang dengan pujian Elisabeth terhadap dirinya. Apalagi bukan sembarang pujian. Karena ia dikatakan "paling istimewa" dari semua perempuan; karena ia disapa ibu Tuhan.

Memang ia tidak menunjukkan itu secara nyata. Ia hanya bereaksi lewat nyanyian magnificat-nya. "Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya ... karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan- perbuatan besar kepadaku ..." (Luk 1:46-56).

Seperti Elisabeth, kita pun pasti tak akan bisa menahan gejolak hati untuk memberi pujian kepada Maria. Begitu melihat Maria memasuki halaman rumah kita, ruangan kantor, dengan kegirangan yang tiada tara kita pasti bilang, "Salam Maria penuh rahmat, Tuhan sertamu. Terpujilah engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus".

Namun saat bermenung tentang pujian ini, kita tentu dibuat terdiam bahkan tersentak membaca postingan seseorang tentang pengalaman yang dialaminya nyata.

"Seorang Bapak yang sedang memeluk putri kecilnya yang berseragam ‘sekolah dasar’ hanya tertunduk ketika nama kedua anaknya diumumkan sebagai ‘juara alpa’. Ini kejadian siang tadi di sekolah dasar anakku. Selain sekolah mengumumkan prestasi akademik para muridnya, juga mengumumkan ‘kejuaraan alpa’ yang ‘diciptakan’ oleh sejumlah murid. Ketika 'kejuaraan alpa' diumumkan, hampir semua orang tua wali murid dan sejumlah besar murid yang hadir menertawakannya. Saya kurang memperhatikan ekspresi para guru yang hadir saat itu. Apakah mereka juga ikut tertawa? Entalah! Hati saya begitu terenyuh ketika memandang Bapak itu. Kebetulan saya berada di belakang Bapak itu dan kenal baik padanya. Air matanya hampir tertumpah ketika saya meliriknya dan memberi kode agar ‘bisa menahan emosinya’. Saya tahu pasti bahwa dia sungguh tersayat!"

Kita berkaca diri. Kita harus mengakui, memang kita senang dipuji dan kita pantas mendapat pujian karena prestasi kita.Tapi kita sering lupa untuk bersimpuh dan bersujud syukur kepada Tuhan. Dalam hal ini kita mesti meneladani Maria, ibu yang sungguh beriman.

Kita pun mesti mengakui bahwa rupanya kita agak pelit memberi pujian dan mengakui keunggulan orang lain. Kita cenderung melihat sisi cacat dan menyampaikan kata-kata celaan kepada orang lain ketimbang sisi positif dirinya. Begitu gampang kita membicarakan keburukan teman daripada kebaikannya. Apalagi seteru dan saingan kita. Pantang kita mengakui keunggulannya. Kayaknya, seperti Elisabeth, kita semestinya mengakui keunggulan orang dan belajar untuk melihat sisi positif pada diri sesama.

Di bagian lain, kita kayaknya ikut-ikutan cara pandang dunia, yakni memuji dan mengagungkan yang unggul, yang berprestasi. Anak yang pintar dan sang juara kita pampangkan foto dengan komentar setinggi langit. Untuk memacu anak yang lain agar bisa juga ikutan berprestasi, demikian argumennya.

Tapi sayangnya serentak itu kita rupanya tak menyadari bahwa apa yang kita lakukan sepertinya 'menyepelekan' yang biasa-biasa atau bahkan yang nir prestasi. Padahal ada banyak bukti, yang sekarang bodoh, dianggap sebelah mata, ternyata kemudian jadi orang dan sukses dalam hidup.

Dalam konteks ini, kata-kata bijak, "Seburuk apa pun orang, ia toh masih punya masa depan. Kalau saya masih bisa melihat titik putih kebaikan yang masih tersisa dan membantunya, pasti ia akan memiliki dan memancarkan terang".*

Simak juga video renungan harian katolik berikut:

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved