Komunitas Kahe Arsipkan Bencana 1992 di Maumere Melalui Karya Seni
Fenomena dalam masyarakat di Maumere, salah satunya adalah kegelisahan mereka terhadap sejarah awal Kota Maumere.
Penulis: Aris Ninu | Editor: Rosalina Woso
Komunitas Kahe Arsipkan Bencana 1992 di Maumere Melalui Karya Seni
POS-KUPANG.COM|MAUMERE--TRiga hari yang lalu tepatnya pada 12 Desember 2020 sebagian besar warga Kota Maumere, Kabupaten Sikka kembali mengenang tragedi dua puluh delapan tahun silam. Sejarah kelam pada 12 Desember 1992 pukul 13.29 masih tersimpan rapi pada ingatan sebagian besar penyintas bencana.
Mereka masih mengingat secara detail kejadian yang dalam sekejap memorak-porandakan ketenangan mereka. Namun ketakutan terbesar setelah tragedi pada Desember 1992 adalah ketika tragedi itu lenyap dan hilang termakan usia. Tidak banyak yang tahu, tragedi itu adalah awal terbentuknya kembali kota Maumere hingga saat ini.
Keresahan dan ketakutan itu ternyata yang dirasakan oleh beberapa anak muda yang tergabung dalam sebuah komunitas seni di Kota Maumere. Komunitas seni tersebut adalah Komunitas Kahe. Mereka menempatkan kesenian sebagai teropong sekaligus media ekspresi argumentasi politis untuk merespons berbagai kegelisahan terhadap fenomena-fenomena dalam masyarakat di Maumere, salah satunya adalah kegelisahan mereka terhadap sejarah awal Kota Maumere.
Penelitian para pegiat Komunitas Kahe selama setahun menghasilkan sebuah arsip tentang tragedi tsunami 1992 yang tejadi di Pulau Flores. Tidak hanya itu saja, penelitian tersebut juga mereka tuangkan dalam sebuah karya seni, festival Maumerelogia III yang dilaksanakan pada 2017 lalu. Hal ini menjadi salah satu cara para pegiat Komunitas Kahe dalam melihat kembali tragedi bencana alam tsunami Flores 1992 yang kian dilupakan.
Mengusung tema Tsunami! Tsunami! pada Maumerelogia III terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan seperti pameran arsip (foto dan berita tentang tsunami), pertunjukan musik, pameran lukisan, menggambar mural, baca sastra, pemutaran film dokumenter, pementasan teater, diskusi dan launching sebuah buku. Komunitas Kahe yang saat itu bekerjasama dengan Teater Garasi Yogyakarta menggelar kegiatan dengan tajuk M 7,8 SR : Pameran, Diskusi, dan Pertunjukan (Refleksi Tsunami di Maumere dalam Memori, Perubahan, dan Ancaman).
POS-KUPANG.COM berkesempatan untuk bertemu dan berbincang bersama Eka Putra Nggalu alias Dede Aton, seorang penggagas berdirinya Komunitas Kahe pada Sabtu (12/12/2020) siang di Studio Komunitas Kahe.
Eka mulai bercerita awal mula ia dan beberapa temannya di Komunitas Kahe menggarap sebuah ide untuk membuat sebuah dokumentasi atau arsip sejarah dan karya seni yang menceritakan tentang peristiwa bencana tsunami pada 1992 yang terjadi di pulau Flores.
Meskipun Eka dan teman-temannya yang terlibat dalam M 7.8 SR rata-rata lahir atau baru mulai beranjak besar di era 1990-an, mereka belum sepenuhnya merasakan tsunami tersebut kecuali orang tua mereka. Pengetahuan tentang tsunami mereka dapatkan dari cerita orang tua mereka, kakek ataupun nenek.
Namun, apakah cerita tentang masa kelam pulau Flores khususnya Kota Maumere pada 1992 tersebut akan tetap ada dan diketahui oleh para generasi selanjutnya? Ketakutan dan kegelisahan ini menjadi alasan utama Eka dan beberapa pegiat lainnya.
Selama setahun mereka melakukan penelitian dan bekerja. Menelusuri cerita-cerita dari para penyintas bencana tsunami 1992, berita-berita, foto, dan catatan-catatan arsip. Mereka menghadirkan banyak informasi tentang tsunami 1992. Saat ini dokumentasi dan arsip seperti berita ataupun foto-foto tentang tsunami 1992 bisa kita temukan di studio Komunitas Kahe.
Menurut Eka, dari hasil penelitian kami, generasi-generasi di bawah kami yang lahir tahun 2000-an hampir tidak pernah tahu kalau di Maumere itu pernah terjadi gempa besar dan tsunami. Jika arsip atau dokumentasi-dokumentasi sejarah tentang tsunami 1992 tidak diperbaiki maka generasi selanjutnya tidak akan pernah tahu bahwa Maumere pernah mengalami bencana besar. Dan mereka juga tidak akan pernah tahu jika tsunami yang terjadi di Maumere pada 1992 adalah satu dari sepuluh tsunami terdahsyat di dunia.
"Dan tsunami 1992 itu adalah momentum penting pembangunan Maumere setelahnya. Apabila sejarah tentang peristiwa bencana tsunami itu hilang, maka generasi selanjutnya tidak akan pernah mewarisi semangat bangkit dari bencana, semangat pembangunan, dan cerita tentang suatu masyarakat atau peradaban yang bisa tumbuh setelah bencana. Karena alasan-alasan inilah, kami terpanggil untuk membuat sebuah dokumentasi atau arsip sejarah tentang tsunami yang terjadi pada 12 Desember 1992 lalu,” tutur Eka.
Eka pun meminta pemerintah daerah harusnya membuat sebuah dokumentasi sejarah, catatan atau arsip tentang tsunami 1992. Menurutnya, semua itu hampir tidak ada di Kota Maumere. Monumen Tsunami yang dibangun di tengah Kota Maumere hanya sekedar gedung besar atau sekedar lapangan yang tidak ada isinya. Tidak terdapat foto, narasi, atau beberapa nama para korban bencana tsunami sebagaimana yang terdapat pada monumen-monumen peringatan lainnya, salah satunya adalah monumen yang terdapat di Aceh.
Pada bulan Desember 2017 lalu ketika Eka dan teman-temannya menyikapi ulang tahun sebuah peristiwa bencana 1992 dengan mengadakan berbagai macam pameran dan pertunjukan yang tidak terlepas dari sejarah peristiwa tsunami yang terjadi di Kota Maumere kala itu, mereka juga menerbitkan sebuah buku antologi tulisan yang berjudul Tsunami! Tsunami! berisikan tulisan-tulisan dalam bentuk esai, puisi dan cerpen. Buku ini menggali narasi para penyintas, ancaman-ancaman sosial, politik, ekonomi, dan relasi-relasi kuasa serta memuat berbagai masalah identitas, budaya, agama, dalam relasinya dengan praktik-praktik yang timpang dalam penyelenggaraan pemerintah. Dalam buku ini tsunami sebagai bencana alam mendapat potensi pemaknaan baru dalam wujud tsunami sosial, tsunami politik, tsunami ekonomi dan kemungkinan-kemungkinan telaah lainnya.
Eka mengaku meskipun telah diundang, pemerintah daerah bahkan tidak ada yang datang menghadiri acara Maumerelogia III kecuali dinas pariwisata yang saat itu mendapat kesempatan menjadi pembicara. Respon masyarakat terhadap Maumerelogia III menurut Eka sangat bagus apalagi di kalangan milenial. Mereka datang menyaksikan dan mengikuti serangkaian acara Maumerelogia III.
“Generasi millennial harus tahu sejarah kota dan budaya tempat tinggalnya. Kehiduapn pembangunan tidak hanya bersumber dari apa yang kita peroleh tapi bersumber dari kehilangan, bencana ataupun penderitaan. Suatu masyarakat itu bertumbuh oleh apa yang dia punya istilah memoria passionis atau ingatan akan penderitaan. Belum tentu akselerasi pembangunan atau percepatan pembangunan di Maumere itu sedemikan tinggi kalau tidak ada tsunami 1992. Pemerintah harus punya arsip tentang sejarah kota Maumere yang bisa diakses oleh publik. Akademisi pun harus terlibat dan peka terhadap konteks sejarah melalui penelitian dari akademisi sendiri tentang sejarah Kota Maumere termasuk sejarah peristiwa tsunami 1992,” jelas Eka.
Baca juga: Paru Andreas - Raymundus Menang di Pilkada Ngada 2020 Hasil Hitung Cepat KPU, Suara Masuk 100 Persen
Baca juga: BREAKING NEWS : Hotel Cambera Bajawa Terbakar
Eka berharap agar pemerintah daerah bisa membuat sebuah dokumentasi atau arsip sejarah tentang kota Maumere yang bisa diakses oleh publik sehingga generasi selanjutnya bisa tahu dan tidak melupakan sejarah terbentuknya kembali Kota Maumere yang tidak terlepas dari peristiwa tsunami 1992.(Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Aris Ninu)