Donald Trump "Galau", Tanpa Sebab Langsung Pecat Menhan AS Padahal Masa Kekuasaannya Tinggal 72 Hari

Pendahulu Esper adalah James Mattis, yang mengundurkan diri pada 2018 karena perbedaan pandangan dengan presiden, termasuk tentang perang di Suriah.

Editor: Frans Krowin
MANDEL NGAN/AFP
Ekspresi lesu Presiden AS Donald Trump saat mengepalkan tinjunya setelah berbicara pada malam pemilihan di Ruang Timur Gedung Putih di Washington, DC, 4 November 2020. Orang dalam Gedung Putih mengungkapkan, di balik ngototnya Trump menolak hasil Pilpres AS, Trump dilanda ketakutan akan dipenjara bila ia tidak jadi presiden karena begitu banyaknya tuntutan hukum terhadapnya. 

Esper berselisih dengan Trump terkait sikap Gedung Putih atas penggunaan kekuatan militer selama protes ketidakadilan rasial awal tahun ini.

Ketika protes mengguncang AS setelah kematian pria kulit hitam George Floyd di tangan polisi di Minneapolis, Minnesota, pada Mei, Trump mengancam akan menggunakan pasukan militer untuk menekan kerusuhan.

Namun, pada Juni, Esper yang juga seorang mantan perwira militer mengatakan, penggunaan pasukan militer aktif tidak diperlukan, dalam sebuah pernyataan.

Setelah bentrokan tersebut, muncul spekulasi luas bahwa Trump akan memecat Esper, meskipun pada Senin Trump tidak memberikan alasan untuk pemecatannya.

Tidak berhenti di situ, Esper juga menunjukkan pertentangan dan ketidaksetujuannya atas sikap Trump yang meremehkan presiden NATO.

Dalam wawancara dengan Military Times pekan lalu, Esper mengatakan, meskipun memiliki hubungan yang sulit dengan Gedung Putih, dia tidak percaya berhenti adalah hal cara yang benar untuk dilakukan.

"Presiden akan - dia sangat transparan dalam hal apa yang dia inginkan. Dan dia sangat jelas tentang pandangannya ... Saya tidak mencoba membuat siapa pun bahagia," katanya di situs itu.

"Apa yang saya coba lakukan adalah, memenuhi apa yang dia inginkan - maksud saya, dia adalah panglima tertinggi yang terpilih - dan memanfaatkannya sebaik mungkin," sambung Esper.

Dia juga menolak tuduhan bahwa dia adalah "yes man" bagi atasannya. Surat kabar itu mencatat bahwa para pengkritiknya dalam pemerintahan, dan Trump sendiri, menyebut Esper sebagai "Yesper" karena reputasinya yang patuh kepada Trump.

"Frustrasi saya adalah saya duduk di sini dan berkata, 'Hmm, ada 18 anggota Kabinet. Saya tanya adakah yang menentang lebih dari yang lain?' Sebutkan dalam kabinet yang mendorong balik," katanya.

"Pernahkah Anda melihat saya di atas panggung berkata, 'Di bawah kepemimpinan yang luar biasa dari bla-bla-bla, kita memiliki bla-bla-bla-bla?'," sambung Esper.

Trump telah memecat sejumlah besar pejabat dan penasihatnya selama masa jabatannya, yang sering kali menggunakan Twitter untuk mengumumkan pemecatan tersebut.

Pendahulu Esper adalah James Mattis, yang mengundurkan diri pada 2018 karena perbedaan pandangan dengan presiden, termasuk tentang perang di Suriah.

Pada Juni, ketika protes ketidakadilan rasial sedang berlangsung, Mattis mengkritik Donald Trump sebagai presiden pertama dalam hidupnya yang tidak mencoba untuk mempersatukan rakyat Amerika.

"Sebaliknya dia mencoba memecah belah kita," kata Mattis.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved