UU Cipta Kerja
Ucapkan Selamat Tinggal, TV Analog Segera Mati, Presiden Jokowi Resmi Tandatangani UU Cipta Kerja!
Dengan demikian, UU Nomor 11 Tahun 2020 itu sudah diundangkan atau berlaku. Artinya, kematian TV analog akan semakin cepat terlaksana.
Hanya saja, ditengah berbagai bentuk perhatian pemerintah kepada masyarakat, di saat yang sama, muncul pula berbagai kasus yang demikian menyedot perhatian publik.
Dua hal yang sangat mengganggu dinamika pembangunan di Tanah Air, adalah kasus buronan Djoko Tjandra yang menjerat sejumlah pejabat di republik ini.
Dan, aparat hukum benar-benar jadi sorotan. Apalagi dibalik kasus pelarian sang buronan kelas kakap, Djoko Tjandra itu, ada juga keterlibatan jenderal polisi plus aparat kejaksaan.
Kasus Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra, menjadi salah satu orang yang hingga kini selalu diperbincangkan selama beberapa bulan terakhir.
Untuk dikehatui, buron kelas kakap itu kabur sejak Juni 2009 atau sesaat sebelum Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan hukuman penjara selama dua tahun dalam kasus Bank Bali yang menjeratnya.
Djoko Tjandra ditangkap di Kuala Lumpur-Malaysia. Ia dijemput oleh tim Bareskrim Polri dan tiba di Tanah Air pada 30 Juli malam.
Penangkapan narapidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali tersebut menyita perhatian publik pada 30 Juli 2020.
Bagaimana tidak, selain akhirnya tertangkap setelah buron selama 11 tahun, diduga ada keterlibatan 2 jenderal polisi dan seorang jaksa yang membantu buronan ini bolak-balik tempat persembunyiannya.
Dua jenderal polisi dan seorang jaksa itu antara lain mengurus penghapusan red notice Interpol hingga pengurusan fatwa Mahkamah Agung.
Padahal, Djoko Tjandra masih berstatus buron.
Alih-alih menegakkan hukum, perbuatan mereka saat ini bisa menambah catatan hitam Polri dan Kejaksaan oleh oknum tak berintegritas.
Kini, ketiga aparat penegak hukum itu sedang disidang atas perbuatannya tersebut.
Awal mula terungkap
Polemik Djoko Tjandra mulai mencuat ke publik setelah beredarnya sebuah surat jalan.
Keberadaan surat jalan tersebut dibeberkan oleh Indonesia Police Watch (IPW) pada 15 Juli 2020.
Dalam dokumen surat jalan yang ditunjukkan IPW, tertulis Joko Soegiarto Tjandra sebagai konsultan.
Dalam surat itu, Joko Tjandra disebut melakukan perjalanan dari Jakarta ke Pontianak dengan pesawat terbang untuk keperluan konsultasi dan koordinasi.
Tertulis pula Joko Tjandra berangkat pada 19 Juni 2020 dan kembali pada 22 Juni 2020.
Dengan surat jalan tersebut, Djoko Tjandra diduga dapat keluar-masuk Indonesia meskipun menjadi buronan.
Djoko Tjandra diketahui sempat mendatangi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) pada 8 Juni 2020.
Di hari yang sama, ia juga melakukan perekaman dan mendapatkan e-KTP di kantor Kelurahan Grogol Selatan.
Kemudian, pada 22 Juni 2020, Djoko Tjandra membuat paspor di Kantor Imigrasi Jakarta Utara.
2 Jenderal Polisi dan 1 Jaksa
Usut punya usut, surat jalan sakti itu diterbitkan oleh Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo kala menjabat sebagai eks Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri.
Tak hanya surat jalan palsu, jenderal polisi berbintang satu itu juga diduga terlibat dalam penerbitan surat rekomendasi kesehatan dan surat bebas Covid-19 untuk Djoko Tjandra.
Lihat Foto
Foto Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo saat makan siang bersama di Kejari Jaksel dari unggahan akun Petrus Bala Pattyona di Facebook. Dua jenderal polisi ini merupakan tersangka terkait pelarian Djoko Tjandra.(Unggahan akun Petrus Bala Pattyona di Facebook.)
Prasetijo bukan satu-satunya aparat penegak hukum yang terseret kasus pelarian Djoko Tjandra.
Selain Prasetijo, ada pula jenderal polisi bintang dua, Irjen Napoleon Bonaparte.
Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri itu diduga menerima suap terkait penghapusan red notice di Interpol atas nama Djoko Tjandra.
Selain itu, ada Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang fotonya bersama Djoko Tjandra di luar negeri sempat viral.
Sebelum dicopot dari jabatannya, Pinangki merupakan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung.
Sorotan ke Aparat Penegak Hukum
Kasus pelarian Djoko Tjandra tersebut membuat kinerja aparat penegak hukum disorot.
Salah satunya datang dari Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani.
Julius menyoroti lemahnya aspek pengawasan di internal kepolisian dan kejaksaan sehingga oknum dapat dapat beraksi.
“Kita bisa katakan dengan sangat amat gamblang bahwa pengawasan melekat dari internal instansi aparat penegak hukum, dari kepolisian dan kejaksaan, itu bisa dirasakan nyaris mati, nyaris terkubur hidup-hidup," ujar Julius dalam diskusi daring, 5 Agustus 2020.
"Sehingga perkara seperti ini, apalagi didukung dengan hal-hal yang sifatnya administratif, hardcopy, dan bisa dilihat dengan mata itu, bisa dengan mudah disiasati," kata dia.
Tak hanya di internal, Julius berpandangan pengawasan eksternal oleh lembaga negara serta di organisasi advokat juga dinilai lemah.
Diketahui bahwa tersangka Anita Kolopaking merupakan mantan kuasa hukum Djoko Tjandra.
Anita merupakan pengacara yang mengurus permohonan pengajuan PK Djoko Tjandra ke PN Jaksel.
Senada, Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, praktik pungli, penyalahgunaan wewenang, serta gratifikasi yang melibatkan oknum polisi terus terjadi jika sistem pengawasan internal tidak dibenahi.
Berkaca dari kasu Djoko Tjandra, dugaan keterlibatan jenderal polisi terungkap dari laporan masyarakat, atau bukan laporan lembaga pengawasan internal, seperti Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri atau Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri.
"Artinya, lembaga pengawasan tersebut nyaris tak melakukan apa-apa dalam membangun budaya profesional, modern, dan tepercaya," ucap dia.
Bambang pun mengaku pesimistis praktik serupa akan berkurang dengan adanya kasus ini.
Terlebih lagi, dengan kondisi lembaga pengawasan internal yang dinilainya belum maksimal.
Maka dari itu, ia mendorong adanya perbaikan terhadap lembaga pengawasan internal. Sebab, pengusutan kasus secara transparan hanya dapat mengobati sesaat rasa kekecewaan masyarakat terhadap institusi kepolisian.
"Karena tanpa memperbaiki sistem pengawasan di kepolisian, kasus ini hanya puncak-puncak gunung es saja. Yang suatu saat akan muncul lagi dan lagi," ucap dia.
"Kunci untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang terkoyak pada polisi akibat kasus ini, hanya keterbukaan," kata Bambang ketika dihubungi Kompas.com, Rabu (22/7/2020) malam.
Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menilai, kasus pelarian Djoko Tjandra harus menjadi momentum bagi Presiden Jokowi untuk mengevaluasi sejumlah lembaga.
“Pelarian Djoko Tjandra ini mestinya dapat dijadikan momentum bagi Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi kinerja lembaga-lembaga terkait," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana melalui keterangan tertulisnya, 31 Juli 2020.
Menurutnya, lembaga atau kementerian yang harus dievaluasi kinerjanya yakni Kepolisian, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM atau Ditjen Imigrasi, dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Bila tidak dievaluasi, menurutnya tak menutup kemungkinan kasus serupa akan terulang.
Wapres Maruf Amin (sonora.id)
Jokowi Disarankan Segera Reshuffle Kabinet
Tatkala kasus Djoko Tjandra menjadi trending topik di Tanah Air, pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi bersama para pembantunya dan DPR RI mengesahkan UU Cipta Kerja.
Kondisi ini langsung memicu amarah masyarakat. Soalnya banyak isu yang berhembus bahwa dalam UU Cipta Kerja tersebut, banyak hak kaum buruh dan pekerja dikebiri demi kepentingan kelompok tertentu, terutama kalangan investor dan pengusaha.
Dan, ketika gelombang massa terjadi di berbagai belahan daerah di Indonesia, muncul isu bahwa aksi tersebut ditunggangi oleh pihak tertentu untuk menggulingkan pemerintahan Jokowi-Maruf Amin.
Pertanyaannya, benarkah isu tersebut? Apakah gegara UU Cipta Kerja, Presiden Jokowi yang demikian memperhatikan nasib masyarakatnya begitu saja dilengserkan keprabon?
Adakah pihak tertentu yang tega menunggangi isu UU Cipta Kerja hanya untuk kepentingannya sesaat?
Bila benar ada isu demikian, adalah tanggung jawab aparat keamanan untuk mengendusnya lalu memroses oknum yang bersangkutan.
Pasalnya, di tengah geliat pembangunan pelbagai bidang kehidupan di Tanah Air, ada pihak tertentu yang justeru berusaha untuk menciptakan suasana chaos.
Terhadap suasana negara yang ricuh saat ini, Pengamat Politik dari Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam mengungkapkan hal yang patut dicermati.
Ahmad Khoirul Umam mengatakan, untuk mengatasi pelbagai ketimpangan yang terjadi saat ini, alangkah baiknya Presiden Joko Widodo segera melakukan reshuffle kabinet. Langkah ini perlu dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintahannya.
Hal itu disampaikan Umam menanggapi kinerja Presiden Jokowi selama setahun pertama di periode keduanya.
"Lakukan perombakan kabinet (cabinet reshuffle) secepatnya untuk melakukan perbaikan cepat di sektor-sektor yang dianggap lemah. Langkah ini penting untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintahan," kata Umam kepada Kompas.com, Rabu (21/10/2020).
Ia menambahkan, ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi dikonformasi oleh survei Litbang Kompas (Oktober) yang menunjukkan angka ketidakpuasan publik terhadap pemerintah menembus angka sekitar 52,5 persen (46,3 persen tidak puas dan 6,2 persen sangat tidak puas).
Karena itu, menurut dia, Presiden Jokowi sebagai nakhoda pemerintahan harus menghentikan tren negatif tersebut.
Jokowi juga diharapkan membuka ruang komunikasi politik dengan publik untuk tetap bisa memenuhi harapan masyarakat.
Ia menilai, Jokowi terlihat semakin berjarak dengan masyarakat selama setahun memimpin roda pemerintahannya di periode kedua.
Akibatnya, sejumlah produk kebijakan publik seringkali diikuti dengan berbagai kontroversi dan protes, baik berskala sedang maupun besar.
Hal itu menurut Umam terlihat jelas dari reaksi masyarakat terhadap sikap pemerintah terkait perubahan Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perumusan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP), penanganan pandemi dan penyelamatan ekonomi, serta pengesahan Undang-undang Cipta Kerja.
Ia menambahkan pemerintah mungkin masih bisa merasa baik-baik saja. Namun, tersumbatnya komunikasi politik antara pemerintah dengan masyarakat, akan berimbas pada menumpuknya kekecewaan publik.
“Pemerintah harus sadar bahwa invetasi kekecewaan publik ini bisa berubah menjadi self-delegitimation yang berdampak pada menurunnya kredibilitas pemerintah itu sendiri," tutur Umam.
"Karena itu pemerintah harus membuka komunikasi politik publik agar proses pembuatan kebijakan lebih bersifat dialogis (dialectic policy making process). Dengarkan dan serap aspirasi rakyat dengan baik," lanjut dia.
UU Cipta Kerja Kuras Energi Bangsa
UNDANG-UNDANG Cipta Kerja benar-benar menguras energi seluruh elemen bangsa. Pro kontra terkait pasal-pasal di dalam UU Cipta Kerja, membuat polemik ini seakan tak berujung.
Terakhir Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengomentari pernyataan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko yang menyebut penolak UU Cipta Kerja susah diajak bahagia.
Bagi Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI Kahar S Cahyono mengatakan, buruh memang tak bahagia lantaran Omnibus Law UU Cipta Kerja tak mengakomodasi keinginan buruh.
"Kami menolak omnibus law bukan karena tidak mau diajak bahagia."
"Justru karena kami sadar, ada beberapa hak buruh yang dikurangi dengan keberadaan UU Cipta Kerja," katanya saat dihubungi Tribunnews, Senin (18/10/2020).
"Seandainya omnibus law murni membuka lapangan kerja dan secara bersamaan memberikan perlindungan bahkan meningkatkan kesejahteraan buruh, tentu kami akan sangat bahagia," tuturnya.
Ia menuturkan, dalam UU Cipta Kerja terdapat aturan yang merugikan buruh, seperti pesangon buruh, lalu UMK, maupun terkait status karyawan kontrak.
"Bagaimana kami mau bahagia kalau Upah Minimum Sektoral Kabupaten dan Provinsi (UMSK/UMSP) dihilangkan, serta UMK ada persyaratan?"
"Belum lagi outsourcing bebas di semua jenis pekerjaan, dan karyawan kontrak tidak ada batasan waktu dalam UU Cipta Kerja," paparnya.
KSPI pun meragukan klaim pemerintah yang menyebut UU Cipta Kerja dapat memperluas lapangan kerja.
"Lapangan kerja besar-besaran belum tentu tercipta, tapi hak-hak buruh sudah hampir pasti tereduksi."
"Bagaimana kami bisa bahagia dengan semua ini?" Tanya Kahar.
Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko memastikan, Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja merupakan upaya pemerintah agar Indonesia terus mengikuti kompetisi global.
Menurut Moeldoko, UU Cipta Kerja akan mengubah wajah rakyat Indonesia menjadi bahagia, karena memiliki harga diri dan bermartabat.
Terutama, terkait daya saing, karier, hingga masa depan.
"Wajah baru Indonesia adalah wajah rakyat."
"Wajah bahagia di mana kita punya harga diri, punya martabat."
"Rakyat yang mempunyai daya saing, punya peluang dan karier, serta punya masa depan."
"Mau diajak bahagia saja kok susah amat," kata Moeldoko, Sabtu (17/10/2020).
Moeldoko juga menjelaskan, UU Cipta Kerja disusun sesuai arahan Presiden Joko Widodo tentang visi 'Indonesia Maju'.
Visi membangun Indonesia maju antara lain pembangunan sumber daya manusia (SDM), reformasi birokrasi, dan transformasi ekonomi.
Lewat UU Cipta Kerja, pemerintah berupaya menciptakan lapangan kerja baru seluas-luasnya.
Selain itu, Moeldoko menilai UU Cipta Kerja merupakan solusi terhadap rumitnya birokrasi dan regulasi yang selama ini menghambat investasi di Indonesia.
"UU Cipta Kerja ini merupakan penyederhanaan regulasi yang dibutuhkan."
"Sehingga mau tidak mau birokrasi juga harus mengalami reformasi," jelas Moeldoko.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya buka suara mengenai Undang-undang Cipta Kerja yang menuai gelombang protes dari buruh dan mahasiswa di sejumlah daerah.
Berikut ini isi lengkap konferensi pers Jokowi dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, secara virtual, Jumat (9/10/2020).
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bapak, Ibu, Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,
Pagi tadi saya telah memimpin Rapat Terbatas secara virtual tentang Undang-undang Cipta Kerja bersama jajaran pemerintah dan para gubernur.
Dalam undang-undang tersebut terdapat sebelas klaster yang secara umum bertujuan untuk melakukan reformasi struktural dan mempercepat transformasi ekonomi.
Adapun klaster tersebut adalah urusan penyederhanaan perizinan, urusan persyaratan investasi, urusan ketenagakerjaan, urusan pengadaan lahan, urusan kemudahan berusaha.
Urusan dukungan riset dan inovasi, urusan administrasi pemerintahan, urusan pengenaan sanksi, urusan kemudahan pemberdayaan dan perlindungan UMKM.
Urusan investasi dan proyek pemerintah, serta urusan kawasan ekonomi.
Dalam rapat terbatas tersebut saya tegaskan mengapa kita membutuhkan Undang-undang Cipta Kerja.
Pertama, setiap tahun ada sekitar 2,9 juta penduduk usia kerja baru, anak muda yang masuk ke pasar kerja.
Sehingga, kebutuhan atas lapangan kerja baru sangat-sangat mendesak.
Apalagi di tengah pandemi (Covid-19), terdapat kurang lebih 6,9 juta pengangguran dan 3,5 juta pekerja terdampak pandemi Covid-19.
Dan sebanyak 87 persen dari total penduduk pekerja memiliki tingkat pendidikan setingkat SMA ke bawah, di mana 39 persen berpendidikan sekolah dasar.
Sehingga perlu mendorong penciptaan lapangan kerja baru, khususnya di sektor padat karya.
Jadi Undang-undang Cipta Kerja bertujuan untuk menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya bagi para pencari kerja serta para pengangguran.
Kedua, dengan Undang-undang Cipta Kerja akan memudahkan masyarakat, khususnya usaha mikro kecil, untuk membuka usaha baru.
Regulasi yang tumpang tindih dan prosedur yang rumit dipangkas.
Perizinan usaha untuk usaha mikro kecil (UMK) tidak diperlukan lagi, hanya pendaftaran saja, sangat simpel.
Pembentukan PT atau perseroan terbatas juga dipermudah, tidak ada lagi pembatasan modal minimum.
Pembentukan koperasi juga dipermudah, jumlahnya hanya sembilan orang saja koperasi sudah bisa dibentuk.
Kita harapkan akan semakin banyak koperasi-koperasi di Tanah Air.
UMK (usaha mikro kecil) yang bergerak di sektor makanan dan minuman, sertifikasi halalnya dibiayai pemerintah, artinya gratis.
Izin kapal nelayan penangkap ikan misalnya, hanya ke unit kerja Kementerian KKP saja.
Kalau sebelumnya harus mengajukan ke Kementerian KKP, Kementerian Perhubungan, dan instansi-instansi yang lain, sekarang ini cukup dari unit di Kementerian KKP saja.
Ketiga, Undang-undang Cipta Kerja ini akan mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Ini jelas karena dengan menyederhanakan, dengan memotong, dengan mengintegrasikan ke dalam sistem perizinan secara elektronik, maka pungutan liar (pungli) dapat dihilangkan.
Namun, saya melihat adanya unjuk rasa penolakan Undang-undang Cipta Kerja yang pada dasarnya dilatarbelakangi oleh disinformasi mengenai substansi dari undang-undang ini, dan hoaks di media sosial.
Saya ambil contoh, ada informasi yang menyebut tentang penghapusan UMP (Upah Minimum Provinsi), UMK (Upah Minimum Kota/Kabupaten), UMSP (Upah Minimum Sektoral Provinsi).
Hal ini tidak benar, karena faktanya Upah Minimum Regional (UMR) tetap ada.
Ada juga yang menyebutkan bahwa upah minimum dihitung per jam.
Ini juga tidak benar, tidak ada perubahan dengan sistem yang sekarang.
Upah bisa dihitung berdasarkan waktu dan berdasarkan hasil.
Kemudian adanya kabar yang menyebutkan bahwa semua cuti: cuti sakit, cuti kawinan, suci khitanan, cuti baptis, cuti kematian, cuti melahirkan dihapuskan dan tidak ada kompensasinya.
Saya tegaskan juga ini tidak benar, hak cuti tetap ada dan dijamin.
Kemudian apakah perusahaan bisa mem-PHK kapan pun secara sepihak? Ini juga tidak benar, yang benar perusahaan tidak bisa mem-PHK secara sepihak.
Kemudian juga pertanyaan mengenai benarkah jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang? Yang benar, jaminan sosial tetap ada.
Yang juga sering diberitakan tidak benar adalah mengenai dihapusnya amdal (analisis mengenai dampak lingkungan).
Itu juga tidak benar. Amdal tetap ada. Bagi industri besar harus studi amdal yang ketat, tetapi bagi UMKM lebih ditekankan pada pendampingan dan pengawasan.
Ada juga berita mengenai Undang-undang Cipta Kerja ini mendorong komersialisasi pendidikan.
Ini juga tidak benar, karena yang diatur hanyalah pendidikan formal di di Kawasan Ekonomi Khusus, di KEK, sedangkan perizinan pendidikan tidak diatur di dalam Undang-undang Cipta Kerja ini.
Apalagi perizinan untuk pendidikan di pondok pesantren, itu tidak diatur sama sekali dalam Undang-undang Cipta Kerja ini, dan aturannya yang selama ini ada tetap berlaku.
Kemudian diberitakan bahwa keberadaan bank tanah.
Bank tanah ini diperlukan untuk menjamin kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, dan konsolidasi lahan, serta reforma agraria.
Ini sangat penting untuk menjamin akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah, kepemilikan lahan, dan kita selama ini tidak memiliki bank tanah.
Saya tegaskan juga bawa Undang-undang Cipta Kerja ini tidak melakukan resentralisasi kewenangan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat, tidak, tidak ada.
Perizinan berusaha dan pengawasannya tetap dilakukan oleh pemerintah daerah sesuai dengan NSPK (norma, standar, prosedur, dan kriteria) yang ditetapkan pemerintah pusat.
Ini agar dapat tercipta standar pelayanan yang baik di seluruh daerah.
Dan penetapan NSPK ini dapat nanti akan diatur dalam PP atau peraturan pemerintah.
Selain itu, kewenangan perizinan untuk nonperizinan berusaha tetap ada di pemda sehingga tidak ada perubahan.
Bahkan kita melakukan penyederhanaan, melakukan standarisasi jenis dan prosedur berusaha di daerah dan perizinan berusaha di daerah diberikan batas waktu.
Ini yang penting di sini. Jadi ada service level of agreement, permohonan perizinan dianggap disetujui bila batas waktu telah terlewati.
Saya perlu tegaskan pula, bahwa Undang-Undang Cipta Kerja ini memerlukan banyak sekali peraturan pemerintah atau PP dan peraturan presiden atau perpres.
Jadi setelah ini akan muncul PP dan perpres yang akan kita selesaikan paling lambat tiga bulan setelah diundangkan.
Kita pemerintah membuka dan mengundang masukan-masukan dari masyarakat.
Dan masih terbuka usulan-usulan dan masukan dari daerah-daerah.
Pemerintah berkeyakinan, melalui Undang-undang Cipta Kerja ini jutaan pekerja dapat memperbaiki kehidupannya dan juga penghidupan bagi keluarga mereka.
Dan kalau masih ada, jika masih ada ketidakpuasan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja ini, silakan mengajukan uji materi atau judicial review melalui MK (Mahkamah Konstitusi).
Sistem ketatanegaraan kita memang mengatakan seperti itu.
Jadi kalau masih ada yang tidak puas dan menolak, silakan diajukan uji materi ke MK.
Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini.
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Setahun Jokowi-Ma’ruf: Kasus Djoko Tjandra dan Sorotan ke Aparat Penegak Hukum", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2020/10/22/05030011/setahun-jokowi-ma-ruf--kasus-djoko-tjandra-dan-sorotan-ke-aparat-penegak?page=all#page2
Artikel ini juga telah tayang di Kompas.com dengan judul "Setahun Usia Pemerintahan, Jokowi Disarankan Reshuffle Kabinet", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2020/10/22/05210081/setahun-usia-pemerintahan-jokowi-disarankan-reshuffle-kabinet
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul UU Cipta Kerja Diklaim Bisa Hilangkan Praktik Korupsi Perizinan, https://www.tribunnews.com/nasional/2020/11/03/uu-cipta-kerja-diklaim-bisa-hilangkan-praktik-korupsi-perizinan?page=all