Breaking News

ICW Soroti 6 Kebijakan Kontroversial Jokowi-Ma'ruf, Singgung Bantuan Kartu Prakerja dan BPJS Naik

Indonesia Corruption Watch ( ICW ) menilai, semangat antikorupsi telah musnah pada tahun pertama pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin

Editor: Bebet I Hidayat
ANTARA FOTO/HO/KEMENLU
ICW Soroti 6 Kebijakan Kontroversial Jokowi-Ma'ruf, Singgung Bantuan Kartu Prakerja dan BPJS Naik 

POS-KUPANG.COM | JAKARTA - Pihak Indonesia Corruption Watch ( ICW ) menilai, semangat antikorupsi telah musnah pada tahun pertama pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Ini ditandai dengan enam kebijakan kontroversial yang dikeluarkan pemerintah.

"Selama satu tahun sejak dilantik sebagai pasangan presiden dan wakil presiden, terdapat sedikitnya enam kebijakan kontroversial yang dikeluarkan oleh pemerintah," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam siaran pers, Kamis (22/10/2020).

Baca juga: CEK Rekening, Dapat Banpres Rp 2,4 Juta? Cek Penerima Bantuan BPUM BRI, BNI, Bank Mandiri Syariah

Kebijakan pertama ialah program Kartu Prakerja sebagai bagian dari skema jaring pengaman sosial pandemi Covid-19 dan dijadikan jawaban atas banyaknya pemutusan hubungan kerja yang dilakukan perusahaan akibat pandemi.

Menurut dia, program tersebut sebetulnya tidak bersifat darurat karena sudah mendapat pagu anggaran pada APBN 2020 dan terkesan sengaja disusupkan sebagai bagian dari jaring pengaman sosial.

"Akibatnya, terdapat justifikasi penambahan anggaran yang tidak sedikit untuk pelaksanaan program Kartu Prakerja ini, yang awalnya 'hanya' dianggarkan sebanyak Rp 10 triliun, membengkak menjadi Rp 20 triliun," kata Kurnia. 

Kedua, ICW menyoroti rangkap jabatan aparatur sipil negara (ASN) sebagai komisaris BUMN dimana terdapat 397 yang terindikasi rangkap jabatan sebagai komisaris di 142 BUMN atau anak perusahaan BUMN sebagaimana temuan Ombudsman RI.

"Terdapat setidaknya 91 komisaris yang punya potensi konflik kepentingan, jika dilihat dari rekam jejak karier dan pendidikannya," ucap dia. 

Kurnia menilai, konflik kepentingan yang dibiarkan tersebut menunjukkan pemerintah gagap dan tidak peduli terhadap upaya pemberantasan korupsi karena pembiaran itu membuka peluang terjadinya tindak pidana korupsi.

Ketiga, ia menilai, pembiaran konflik kepentingan itu terlihat pada kasus konflik kepentingan staf khusus Presiden, Adamas Belva Devara dan Andi Taufan Garuda.

Belva tersandung masalah setelah perusahaan miliknya, Ruangguru, menjadi mitra penyedia platform dalam program kartu Prakerja.

Sementara itu, Andi Taufan diketahui mengirim surat resmi kepada camat-camat di daerah untuk bekerja sama mendukung relawan Amartha, perusahaan yang dipimpin Andi Taufan.

"Meskipun terdapat dorongan kuat dari publik agar Presiden Joko Widodo memberhentikan keduanya dari jabatannya, namun kenyataannya hal tersebut tidak pernah dilakukan," kata Kurnia. 

Baca juga: Bisa Perburuk Citra Jokowi, Menteri Ini Didesak Dicopot. Oleh Politisi Gerindra, Kog Bisa?

Keempat, naiknya iuran BPJS di tengah pandemi di mana pemeinrtah mengabaikan alasan MA yang sebelumnya membatalkan kenaikan iuran.

"Menaikkan iuran di tengah pandemi juga bukan merupakan keputusan yang etis karena banyak warga yang tengah menghadapi kesulitan," ucap dia.

Kelima, ICW menyoroti pencalonan anak dan menantu Jokowi, Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution dalam kontestasi Pilkada 2020.

Lingkaran dekat Jokowi juga melakukan langkah serupa seperti anak Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Siti Nur Azizah dan anak Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Hanindhito Himawan.

"Pembiaran dan atau bahkan dorongan agar sanak keluarga mencalonkan diri dalam kontestasi pilkada adalah salah satu bukti bahwa representasi formal telah semakin membusuk," kata Kurnia. 

Keenam, ICW menyoroti dipaksakannya pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19 yang dapat memperparah penularan Covid-19.

Selain itu, pelaksanaan pilkada di tengah pandemi juga dapat meningkatkan potensi politik uang karena pandemi Covid-19 telah membuat warga mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

"Tentu mereka ini adalah calon pemilih yang akan sangat mudah masuk dalam jebakan politik uang," ucap Kurnia. 

Pelanggaran HAM Masa Lalu

Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan ( Komnas Perempuan) Alimatul Qibtiyah menilai, masih ada permasalahan yang belum diselesaikan dalam masa satu tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin.

Salah satunya, menurut dia, adalah menuntaskan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu, khususnya terhadap perempuan.

"Belum lagi, perihal kondisi perempuan korban pelanggaran HAM masa lalu yang terkesan terkatung-katung," kata Alimatul melalui keterangan tertulis dalam website resmi Komnas Perempuan, Kamis (22/10/2020).

"Kondisi serupa dihadapi oleh perempuan korban intoleransi agama, yang dalam pantauan Komnas Perempuan jumlah komunitas terdampak terus bertambah di tahun 2020," lanjut dia.

Selain itu, pemerintahan Jokowi-Ma'ruf juga dinilai belum menyelesaikan upaya optimal dalam mengatasi kebijakan diskriminatif atas nama otonomi daerah yang bisa merugikan perempuan.

"Upaya optimal dalam mengatasi kebijakan diskriminatif atas nama otonomi daerah yang menghadirkan kerugian tidak proporsional pada perempuan," ujar dia.

Baca juga: Betrand Peto Samberin Sarwendah saat Lihat Bagian Dadanya Terbuka, Ruben Onsu Langsung Lakukan Ini

Alimatul juga menilai implementasi kebijakan yang memuat pendekatan kesetaraan gender masih menjadi masalah dalam setahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.

Ia mengatakan, ketidaksetaraan gender itu tampak dari sejumlah kegiatan di tingkat kementerian yang mayoritas diisi laki-laki.

Serta juga terlihat dari minimnya jumlah perempuan dalam proses seleksi sejumlah lembaga independen oleh panitia seleksi, yang keanggotaan dari panitia tersebut ditunjuk Presiden.

"Juga, dalam lambannya penanganan pandemi Covid-19 dalam menyikapi kerentanan perempuan, seperti dalam hal kebijakan terkait layanan kesehatan reproduksi, termasuk kehamilan, melahirkan, dan keluarga berencana," ujarnya.

Ia menuturkan, kajian Komnas Perempuan mengenai dinamika keluarga di masa pandemi menunjukkan bahwa beban perempuan berlipat daripada laki-laki selama masa pandemi.

Hal ini, lanjut Alimatul, berkaitan dengan relasi di dalam keluarga yang masih dipengaruhi budaya patriarki.

"Upaya mengoreksi konstruksi ini tampaknya masih kurang masif dan efektif," ungkapnya.

"Yang dilakukan melalui program di Kemen PPPA, bimbingan pra nikah di Kementerian Agama, dan integrasi pemahaman HAM dan gender di dalam pendidikan nasional dalam bimbingan Kementerian Pendidikan," kata dia.

Alimatul mengatakan, hal ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak bagi pemerintah untuk mengembangkan kebijakan mengenai langkah afirmasi.

Kebijakan itu untuk mencapai kesetaraan dan keadilan, sebagaimana dimandatkan dalam konstitusi.

Lemahnya Oposisi dan Tumbuhnya Suara Jalanan

Sejumlah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia berunjuk rasa di depan gedung DPR, Jakarta, Selasa (24/9/2019).
Sejumlah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia berunjuk rasa di depan gedung DPR, Jakarta, Selasa (24/9/2019).(ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA)

Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin genap berusia setahun pada Selasa (20/10/2020).

Peran oposisi tampak redup karena posisinya yang tak seimbang dengan parpol pendukung pemerintah.

Berbeda dengan periode pertama, di periode keduanya, Jokowi memiliki kekuatan lebih dari 60 persen di parlemen karena disokong enam fraksi.

Pemerintah dinilai semakin sulit dikontrol lantaran mendapat sokongan penuh dari mitra koalisinya di parlemen.

Hal ini berbeda 180 derajat dengan situasi periode pertama kepemimpinan Jokowi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Untuk kondisi saat itu, DPR dinilai menjalankan fungsi legislatifnya untuk mengontrol jalannya kekuasaan pemerintah.

Sejenak flashback, saat Jokowi memerintah bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla, suara mereka kalah di DPR lantaran hanya didukung empat dari 10 fraksi di DPR.

Keempat fraksi tersebut ialah PDI-P, PKB, Nasdem, dan Hanura.

Sisanya yakni Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP, dan Demokrat merupakan kelompok oposisi dan menamakan diri mereka Koalisi Merah Putih (KMP)

Akibatnya, pemerintahan Jokowi sempat dibuat pusing. Salah satunya saat mengajukan RAPBN 2016.

Saat itu Wakil Presiden Jusuf Kalla turun langsung sebagai juru lobi yang mewakili pemerintah untuk berkomunikasi dengan Ketua Umum Partai Golkar versi Musyawarah Nasional Riau, AburIzal Bakrie.

Hingga akhirnya Golkar dan beberapa anggota KMP lainnya menyetujui RAPBN 2016 yang diusulkan pemerintah.

Oposisi Lemah atau Dilemahkan?

Kini, dari sembilan fraksi di DPR, enam fraksi merupakan bagian dari partai koalisi pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin.

Keenamnya adalah fraksi PDI-P, Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Nasdem, PKB, dan PPP.

Tiga fraksi lainnya, PKS, Partai Demokrat, dan PAN, tak bergabung ke dalam koalisi pemerintah.

Konfigurasi partai politik di parlemen saat ini praktis menguntungkan pemerintahan Jokowi karena didukung mayoritas partai politik di DPR.

Baca juga: Setahun Jokowi-Ma’ruf, Menteri Minim Prestasi Waktunya Diganti?

Fenomena ini menunjukkan partai oposisi di periode kedua Jokowi tak bisa memberikan kritik berarti kepada pemerintah lantaran posisi mereka yang kalah jumlah dengan partai koalisi.

Melemahnya oposisi terlihat nyata saat Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja yang diusulkan Jokowi dengan cepat disahkan menjadi undang-undang.

Pembahasan Undang-undang Cipta Kerja yang sempat menghadapi tarik ulur lantaran derasnya protes buruh tak membuat pemerintah dan DPR goyah.

Klaster ketenagakerjaan yang sebelumnya ditunda dibahas atas desakan buruh yang hendak melakukan demonstrasi besar-besaran pada 1 Mei, justru dibahas kembali oleh pemerintah dan DPR.

Demi melancarkan pengesahannya, RUU Cipta Kerja pun dibahas secara kilat dan tertutup. Diketahui rapat sempat dilakukan di hotel dan dilakukan pada akhir pekan. 

Undang-undang usulan Jokowi itu dibawa ke rapat paripurna DPR pada 5 Oktober untuk disahkan.

Namun, anehnya, fraksi PKS selaku oposisi mengaku tak memegang draf RUU Cipta Kerja yang akan disahkan dalam rapat paripurna.

"Di tengah paripurna, bahan drafnya (UU Cipta Kerja) belum ada di tangan para anggota. Sampai hari ini belum dikirim dan belum kelihatan barangnya di anggota," kata Mulyanto dalam diskusi secara virtual bertajuk 'UU Cipta Kerja, Nestapa Bagi Pekerja', Kamis (8/10/2020).

Lemahnya suara oposisi pada rapat paripurna juga terlihat saat Pimpinan DPR yang didominasi anggota partai pendukung pemerintah mematikan mikrofon saat Fraksi Partai Demokrat menginterupsi jalannya rapat.

Mereka pun memutuskan walk out dari rapat paripurna pengesahan Undang-undang Cipta Kerja.

Direktur Eksekutif Voxpol Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menyatakan konfigurasi politik di parlemen saat ini memang tidak sehat.

Hal itu membuat pemerintah semakin sulit dikontrol lantaran mendapat sokongan penuh dari mitra koalisinya di parlemen.

Di satu sisi pemerintah leluasa untuk mengefektifkan kinerjanya karena RUU yang diusulkan praktis mendapat dukungan partai koalisi di parlemen.

Namun di sisi lain, saat RUU yang diusulkan pemerintah bertentangan dengan kepentingan masyarakat, suara oposisi yang melemah tak bisa mengkritik dan menegosiasikan RUU tersebut agar sesuai dengan harapan masyarakat.

Menurut Pangi, hal itu terjadi dalam proses pengesahan UU Cipta Kerja yang merugikan para pekerja lantaran menghilangkan hak-hak pekerja yang sebelumnya diatur dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Ia mengatakan, jika kekuatan oposisi dan koalisi di parlemen seimbang, ada kemungkinan Undang-undang Cipta Kerja yang merugikan pekerja gagal disahkan.

"Kita bisa bayangkan kalau kekuatan partai politik parlemen berimbang, tidak menjadi kekuatan monopoli atau dikuasai pemerintah, mungkin omnibus law tidak akan lolos dan tak akan disahkan," kata Pangi kepada Kompas.com.

Suara oposisi di jalanan?

Ia menyadari keberadaan oposisi yang seimbang dengan koalisi berpotensi menghambat kinerja pemerintah karena proses legislasi bisa tersandera.

Kendati demikian, kehadiran oposisi yang kuat juga penting untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan.

"Padahal harusnya kekuatan politik oposisi punya kemampuan mengimbangi, menjadi kekuatan check and balances, mampu mengkoreksi jalannya pemerintahan, tapi kekuatan oposisi di parlemen sekarang tidak berimbang," lanjut dia.

Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah, Pangi Syarwi Chaniago
Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah, Pangi Syarwi Chaniago(Dok. Pribadi )

Akibatnya, lemahnya oposisi di parlemen memunculkan aksi-aksi penolakan kebijakan pemerintah di jalanan yang dilakukan oleh elemen buruh, mahasiswa, dan masyarakat sipil.

Ia menambahkan, jika suara oposisi di parlemen kuat, bisa aksi protes masyarakat terhadap kebijakan pemerintah di jalanan akan berkurang karena mereka merasa apirasinya terwakili di DPR.

"Itu menggapa kemudian peran oposisi diambil alih perannya oleh mahasiswa, buruh, termasuk KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) karena tidak sehatnya iklim politik kita di parlemen, parlemen jalanan mencoba mengambil alih peran oposisi," tutur Pangi.

"Selama kekuatan partai politik di parlemen tidak berimbang, maka kekuatan oposisi di luar parlemen akan terus menguat dan tumbuh," lanjut dia.(*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Setahun Jokowi-Ma'ruf, ICW Soroti 6 Kebijakan Kontroversial", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2020/10/22/20154801/setahun-jokowi-maruf-icw-soroti-6-kebijakan-kontroversial?page=all#page2.

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved