Tolak Ramai-ramai UU Cipta Kerja Mulai dari Akademisi dan Pemuka Agama, Serikat Buruh Hingga Mogok
pengesahan UU Cipta Kerja semakin meneguhkan keyakinan elemen buruh bahwa pemerintah dan DPR tidak berpihak kepada masyarakat, khususnya buruh
POS-KUPANG.COM - Sejumlah konfederasi serikat buruh hingga elemen masyarakat mengecam keras atas pengesahan Omnibus Law Rancangan Undang-undang Cipta Kerja dalam Rapat Paripurna di DPR RI, Jakarta, Senin (5/10/2020).
Mereka kecewa lantaran proses pembahasan hingga pengesahan yang dimotori DPR dan pemerintah menutup ruang partisipasi publik.
Terlebih, pengesahan ini dilakukan di tengah gencarnya elemen buruh dan masyarakat menolak aturan sapu jagat tersebut.
"Kami sangat kecewa sekali, kita marah, ingin menangis, ingin menunjukan ekspresi kita kepada DPR dan pemerintah," ujar Wakil Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Jumisih saat dihubungi Kompas.com, Senin (5/9/2020).
Jumisih menuturkan, pengesahan UU Cipta Kerja semakin meneguhkan keyakinan elemen buruh bahwa pemerintah dan DPR tidak berpihak kepada masyarakat, khususnya buruh.
Sebaliknya, lahirnya undang-undang sapu jagat tersebut juga menggambarkan sikap pemerintah yang lebih pro terhadap kaum korporasi dan pemodal.
• Tak Bertanggung Jawab, Demokrat Walk Out Saat Rapat Paripurna DPR Sahkan RUU Cipta Kerja jadi UU
• SAH! RUU Cipta Kerja Ditetapkan DPR jadi UU, Begini Tanggapan Menko Perekonomian, Reaksi Buruh?
Dengan sikap tersebut, kata Jumisih, pemerintah dan DPR justru menjadi penyebab semakin menjauhnya cita-cita bangsa untuk mensejahterakan masyarakat.
Alih-alih jaminan kesejahteraan yang diterima, masyarakat justru ditimpa beban atas pengesahan UU Cipta Kerja.
"Pemerintah sedang mewariskan kehancuran untuk generasi kita dan generasi akan datang. Jadi pemerintah mewariskan bukan kebaikan, tapi kehancuran untuk rakyatnya sendiri, per hari ini," ucap Jumisih.
Mogok kerja
Buntutnya, sebanyak 2 juta buruh akan mogok kerja nasional yang dimulai hari ini, Selasa (6/10/2020) hingga Kamis (8/10/2020).
"32 federasi dan konfederasi serikat buruh dan beberapa federasi serikat buruh lainnya siap bergabung dalam unjuk rasa serempak secara nasional," ujar Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dalam keterangan tertulis, Senin (5/10/2020).
Aksi mogok kerja tersebut akan diikuti buruh yang bekerja di sektor kimia, energi, pertambangan, tekstil, garmen, sepatu, otomotif, komponen elektronik serta industri besi dan baja. Kemudian, diikuti buruh di sektor farmasi dan kesehatan, percetakan dan penerbitan, industri pariwisata, industri semen, telekomunikasi, pekerja transportasi, pekerja pelabuhan, logistik, hingga perbankan.
Adapun, sebaran wilayah 2 juta buruh yang akan menggelar mogok kerja meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Tengerang Raya, Serang, Cilegon, Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, Cirebon, Bandung Raya, Semarang, Kendal, Jepara, Yogyakarta, Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, dan Pasuruan.
Kemudian disusul Aceh, Padang, Solok, Medan, Deli Serdang, Sedang Bedagai, Batam, Bintan, Karimun, Muko-Muko, Bengkulu, Pekanbaru, Palembang, Bandar Lampung, dan Lampung Selatan.
Selain itu, mogok nasional juga akan dilakukan di Banjarmasin, Palangkaraya, Samarinda, Mataram, Lombok, Ambon, Makasar, Gorontalo, Manadao, Bitung, Kendari, Morowali, Papua, dan Papua Barat.
Said menyatakan, aksi mogok nasional ini didasarkan pada UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU Nomor 21 Tahun 2000, khususnya Pasal 4 yang menyebutkan, fungsi serikat pekerja salah satunya adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan.
"Selain itu, dasar hukum mogok nasional yang akan kami lakukan adalah UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik," tegas Said.
Said menuturkan, dalam mogok kerja tersebut, buruh juga akan menyuarakan berbagai tuntutan menyusul lahirnya UU Cipta Kerja.
Antara lain, buruh menuntut upah minimum kota (UMK) tanpa syarat dan upah minimum sektoral kota (UMSK) tidak dihilangkan.
Selain itu, buruh meminta nilai pesangon tidak berkurang.
Buruh juga menolak adanya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak seumur hidup.
Kemudian, buruh juga menolak adanya outsourcing seumur hidup, waktu kerja yang eksploitatif serta hilangnya cuti dan hak upah atas cuti.
Buruh juga menuntut karyawan kontrak dan outsourcing harus mendapatkan jaminan kesehatan dan pensiun.
"Sementara itu, terkait dengan PHK, sanksi pidana kepada pengusaha dan TKA harus tetap sesuai dengan isi UU No 13 Tahun 2003," terang Said.
Puluhan akademisi menolak
Sikap penolakan juga ditunjukan kalangan akademisi yang berasal dari 30 perguruan tinggi.
Para akademisi ini menolak UU Cipta Kerja karena menabrak banyak aturan, bahkan nilai-nilai Pancasila.
"Aturan itu tidak hanya berisikan pasal-pasal bermasalah di mana nilai-nilai konstitusi (UUD 1945) dan Pancasila dilanggar bersamaan, tetapi juga cacat dalam prosedur pembentukannya," demikian petikan pernyataan para akademisi.
Dalam pandangan para akademisi ini, setidaknya ada lima permasalahan mendasar dalam UU Cipta Kerja.
Sesuai Ketentuan Pertama, masalah sentralisasi yang dianggap menyerupai kondisi Orde Baru.
Sebab, terdapat hampir 400-an pasal yang menarik kewenangan kepada Presiden melalui pembentukan peraturan Presiden.
Kedua, UU Cipta Kerja anti-lingkungan hidup di mana terdapat pasal-pasal yang mengabaikan semangat perlindungan lingkungan hidup, terutama terhadap pelaksanaan pendekatan berbasis risiko serta semakin terbatasnya partisipasi masyarakat.
Ketiga, persoalan liberalisasi pertanian.
Dalam aturan tersebut, tidak ada lagi perlindungan petani ataupun sumberdaya domestik.
Keempat, persoalan pengabaian hak asasi manusia (HAM). Pada pasal-pasal tertentu hanya mengedepankan prinsip semata-mata keuntungan bagi pebisnis, sehingga abai terhadap nilai-nilai hak asasi manusia, terutama perlindungan dan pemenuhan hak pekerja, hak pekerja perempuan, hingga hak warga.
Kelima, mengabaikan prosedur pembentukan UU. Sebab, konsep Omnibus Law tidak diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Akademisi pun mempertanyakan pengesahan UU Cipta Kerja yang dibentuk tidak sesuai prosedur.
Terlebih, semua proses pembentukan hukum ini dilakukan di masa pandemi, sehingga sangat membatasi upaya memberi aspirasi untuk mencegah pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Hingga Senin (5/10/2020), pukul 17.30 WIB, sebanyak 67 akademisi membubuhkan tanda tangan penolakan.
Akademisi terebut antara lain, Hariadi Kartodihardjo dari Institut Pertanian Bogor, Muhammad Fauzan dari Fakultas Hukum Universitas Soedirman, Susi Dwi Harijanti dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Abdil Mughis Mudhoffir, Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, hingga Feri Amsari dari Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Cacat prosedur Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf menilai, UU Cipta Kerja mengandung banyak permasalahan. Mulai dari proses penyusunan hingga pasal-pasal yang menghilangkan hak-hak pekerja.
"Pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang oleh DPR tentunya sangat disayangkan, mengingat UU Cipta Kerja memiliki banyak permasalahan mulai dari proses penyusunan hingga substansi di dalamnya," kata Araf dalam keterangan tertulis, Senin.
Permasalahan itu misalnya, cacatnya prosedur dalam proses penyusunan UU Cipta Kerja.
Kesalahan prosedur itu karena penyusunan dilakukan secara tertutup, tidak transparan serta tidak memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat sipil.
Terlebih, pembahasan tersebut dilakukan di saat konsentrasi seluruh elemen bangsa tengah berfokus menangani pandemi Covid-19.
Selain itu, draf UU Cipta Kerja juga tidak disosialisasikan secara baik kepada publik.
Bahkan, kata dia, draf UU Cipta Kerja tidak dapat diakses oleh masyarakat sehingga masukan dari publik menjadi terbatas.
Menurutnya, hal itu melanggar Pasal 89 jo 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mewajibkan pemerintahmembuka akses terhadap RUU kepada masyarakat.
Permasalahan tak hanya dari segi teknis.
Dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja juga terindikasi adanya berbagai permasalahan, mulai dari ketengakerjaan hingga lingkungan hidup.
"Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa UU Cipta Kerja berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara, merugikan para pekerja/ buruh, merugikan petani, merugikan hak-hak masyarakat adat, serta berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan," kata Araf.
"Atas dasar tersebut, Imparsial menolak dan menyayangkan pengesahan UU Cipta Kerja di DPR, apalagi pembahasan tersebut dilakukan secara tidak lazim, yakni dilakukan secara tertutup dan di tengah konsentrasi mengatasi pandemi Covid-19," lanjut dia.
Tokoh Agama
Dalam postingan di facebook, Dr Meri Kolimon yang juga ketua Sinode GMIT juga menggunggah Maklumat Pemuka Agama Indonesia yang diinisiasi Prof. Busryo Muqodas, Pdt. DR. Merry Kolimon, Ulil Absar Abdalla, Engkus Ruswana, Roy Murtadho dan Pdt. Penrad Sagian untuk menandatangani petisi
Maklumat tersebut tertulis
Saya mendapat kabar, kalau siang ini RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law akan disahkan oleh DPR RI. Padahal rencana awalnya baru dilaksanakan pada tanggal 8 Oktober 2020.
Seperti yang sudah diketahui, RUU Cipta Kerja mengancam banyak sektor, mulai dari kebebasan sipil, keadilan sosial, ekonomi, budaya dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Sebagai Rancangan Undang-Undang yang dibentuk dengan metode Omnibus Law, RUU Cipta Kerja memuat banyak klaster dan sub-klaster isu pembahasan, yang di dalamnya total ada lebih dari 81 (delapan puluh satu) Undang-Undang serta seribu lebih pasal di seluruh undang-undang tersebut yang diubah.
Beberapa persoalan mendasar dalam RUU Cipta Kerja ini, antara lain:
1. Spionase dan ancaman kebebasan beragama-berkeyakinan, khususnya adanya wacana pengawasan aliran kepercayaan oleh kepolisian. Ketentuan ini justru akan melanggengkan stigma, penyingkiran, diskriminasi dan pelanggaran HAM yang terjadi berpuluh-puluh tahun kepada kelompok minoritas agama atau keyakinan dan menimbulkan kecurigaan antar sesama warga negara.
2. Pemangkasan hak-hak buruh/pekerja. Nantinya pekerja/buruh akan diupah semurah mungkin dengan penghitungan upah per jam dan dilegalkannya pembayaran upah di bawah standar minimum di sebagian sektor ketenagakerjaan. Selain itu status dan kepastian kerja tidak jelas lewat outsourcing dan kontrak kerja tanpa batasan waktu.
3. Potensi konflik agraria dan SDA/lingkungan hidup. Selama 5 tahun terakhir ada 1.298 kasus kriminalisasi terhadap rakyat akibat mempertahankan hak atas tanah dan wilayah hidupnya. Misalnya perubahan atas UU P3H (Pasal 82, 83 dan 84, yang ada di dalam pasal 38 UU Cipta Kerja) soal ancaman pidana kepada orang-perorangan yang dituduh melakukan penebangan pohon, memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong dan membelah pohon tanpa perizinan dari pejabat yang berwenang di kawasan hutan.
4. Pemangkasan ruang penghidupan kelompok nelayan, tani, dan masyarakat adat atas nama kepentingan pembangunan dan ekonomi. Aturan ini akan memberikan kemudahan bagi korporasi dan pemerintah untuk merampas tanah dan sumber daya alam yang dikuasai masyarakat, baik kelompok miskin kota, masyarakat adat, petani, dan nelayan. Akibatnya, kelompok nelayan, tani, dan masyarakat adat berpotensi tak memiliki ruang penghidupan yang bebas dan berdaulat untuk menopang kehidupannya.
5. Kekuasaan birokratis yang terpusat berlawanan dengan semangat desentralisasi/otonomi daerah pasca 1998. RUU Cipta Kerja akan menarik kewenangan pemerintah provinsi dalam mengelola mineral dan batubara, termasuk kewenangan penerbitan peraturan daerah dan penerbitan izin.
Kami selaku para pemuka agama menyadari bahwa ruh kehadiran agama dan kepercayaan bagi dunia adalah berdiri bagi kemaslahatan seluruh umat manusia dan alam-lingkungan, karena itulah sejatinya fitrah panggilan bagi agama dan kepercayaan hadir ke tengah-tengah dunia.
Karena itu kami meminta DPR RI untuk membatalkan Omnibus Law dan kembali membuka ruang partisipasi publik yang demokratis.
Omnibus Law adalah ancaman untuk kita semua. Ancaman untuk demokrasi Indonesia. Kami bersuara dengan petisi ini, untuk mengajak teman-teman menyuarakan keadilan.
Sebagian dari artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ramai-ramai Menolak UU Cipta Kerja dan Ancaman Mogok Kerja Nasional", https://nasional.kompas.com/read/2020/10/06/05545351/ramai-ramai-menolak-uu-cipta-kerja-dan-ancaman-mogok-kerja-nasional?page=all#page2