Dr Mery Kolimon dan Empat Orang Pemuka Agama Indonesia Ajak Tanda Tangan Petisi Tolak UU Cipta Kerja
Omnibus Law adalah ancaman untuk kita semua. Ancaman untuk demokrasi Indonesia. Kami bersuara dengan petisi ini, untuk mengajak teman-teman
Penulis: Hermina Pello | Editor: Hermina Pello
Keempat, persoalan pengabaian hak asasi manusia (HAM). Pada pasal-pasal tertentu hanya mengedepankan prinsip semata-mata keuntungan bagi pebisnis, sehingga abai terhadap nilai-nilai hak asasi manusia, terutama perlindungan dan pemenuhan hak pekerja, hak pekerja perempuan, hingga hak warga.
Kelima, mengabaikan prosedur pembentukan UU. Sebab, konsep Omnibus Law tidak diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Akademisi pun mempertanyakan pengesahan UU Cipta Kerja yang dibentuk tidak sesuai prosedur.
Terlebih, semua proses pembentukan hukum ini dilakukan di masa pandemi, sehingga sangat membatasi upaya memberi aspirasi untuk mencegah pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Hingga Senin (5/10/2020), pukul 17.30 WIB, sebanyak 67 akademisi membubuhkan tanda tangan penolakan.
Akademisi terebut antara lain, Hariadi Kartodihardjo dari Institut Pertanian Bogor, Muhammad Fauzan dari Fakultas Hukum Universitas Soedirman, Susi Dwi Harijanti dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Abdil Mughis Mudhoffir, Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, hingga Feri Amsari dari Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Cacat prosedur Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf menilai, UU Cipta Kerja mengandung banyak permasalahan. Mulai dari proses penyusunan hingga pasal-pasal yang menghilangkan hak-hak pekerja.
"Pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang oleh DPR tentunya sangat disayangkan, mengingat UU Cipta Kerja memiliki banyak permasalahan mulai dari proses penyusunan hingga substansi di dalamnya," kata Araf dalam keterangan tertulis, Senin.
Permasalahan itu misalnya, cacatnya prosedur dalam proses penyusunan UU Cipta Kerja.
Kesalahan prosedur itu karena penyusunan dilakukan secara tertutup, tidak transparan serta tidak memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat sipil.
Terlebih, pembahasan tersebut dilakukan di saat konsentrasi seluruh elemen bangsa tengah berfokus menangani pandemi Covid-19.
Selain itu, draf UU Cipta Kerja juga tidak disosialisasikan secara baik kepada publik.
Bahkan, kata dia, draf UU Cipta Kerja tidak dapat diakses oleh masyarakat sehingga masukan dari publik menjadi terbatas.
Menurutnya, hal itu melanggar Pasal 89 jo 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mewajibkan pemerintahmembuka akses terhadap RUU kepada masyarakat.
Permasalahan tak hanya dari segi teknis.