Catatan Wartawan Pos Kupang Sipri Seko
Indra Sjafri Menyesal Mengapa Terlambat Menemukan NTT
"Kenapa saya baru datang ke Kupang. Ada banyak sekali pemain yang luar biasa di sini. Saya ternyata terlambat menemukan mereka."
Penulis: Sipri Seko | Editor: Sipri Seko
Tulisan ini pernah saya turunkan di Harian Pagi Pos Kupang edisi cetak ketika turnamen sepakbola Bali United Kristal Pos Kupang Cup selesai digelar beberapa tahun lalu. Mumpung lagi tidak ada event di NTT, tidak salah kalau kita sedikit mengenang turnamen ini. Semoga membuat kita tetap semangat membina sepakbola di NTT meski dihambat pandemi covid-19.
DUNIA digemparkan oleh sepakbola total football Belanda pada Piala Dunia 1974 di Jerman. Rinus Michel sebagai pelatih Belanda menghadirkan filosofi sepakbola ofensif dan aktraktif. Dasar dari filosofi ini adalah penyerangan. Seluruh pemain, apapun posisi awalnya, harus ikut menyerang. Menyerang adalah cara terbaik untuk bertahan.
Pertukaran posisi dihalalkan, bahkan dijadikan senjata kemenangan. Kesuksesan tim terjadi saat seluruh pemain terus menerus bergerak mengeksploitasi ruang-ruang kosong. Rotasi dan mutasi posisi ini membuat seluruh dunia kemudian menjuliki Belanda sebagai 'tim komidi putar.'
Filosofi ini sebenarnya sudah dipopulerkan Rinus Michel ketika masih melatih Ajax Amsterdam. Dengan filosofi ini, Ajax sukses menguasai Eropa dan dunia. Rinus Michel kemudian meneruskannya dengan kemegahan Belanda di Piala Dunia 1974. Meski hanya sebagai runner- up, namun dunia sudah dihipnotis oleh gaya bermain Johan Cruiff dkk.
***
Sebelum Indra Sjafri dan Rahmad Darmawan berdecak kagum dengan potensi anak-anak NTT, kita sebenarnya sudah lama melihatnya. "Kenapa saya baru datang ke Kupang. Ada banyak sekali pemain yang luar biasa di sini. Saya ternyata terlambat menemukan mereka," itu kata Rahmad Darmawan ketika berdialog dengan Ketua Komisi V DPR RI, Rahmad Darmawan di Resto Dapur Nekamese, Kupang.
Pelaksanaan turnamen sepakbola Bali United Kristal Pos Kupang Cup yang pernah digelar di Kupang, harus diakui masih jauh dari harapan. Banyak hal yang mesti kita evaluasi bersama. Ini kalau kita mau berbesar hati agar pada penyelenggaraan ke depan, perubahan sekecil apapun mesti ada.
Sarana prasarana, yakni lapangan pertandingan masih sangat buruk. Sebagus apapun pemain kita, tak akan berkembang bagus bila tak didukung lapangan yang baik. "Kenapa Pemprov NTT tidak bisa membangun satu lapangan bertaraf nasional di Kupang," tanya Piter Fomeni salah seorang mania bola kepada Fary Francis.
"Saya juga heran. Nanti saya bantu perjuangkan. NTT punya banyak pemain bagus, namun lapangan memang masih jadi masalah. Saya akan dukung penuh sepakbola di NTT. Coba saya tanya ke pemerintah pusat, ada tidak ada anggaran untuk merehab Stadion Oepoi," kata Fary yang langsung menelepon rekannya di DPR RI yang membidangi pemuda dan olahraga.
Harus diakui bahwa semua klub peserta turnamen ini sangat bagus. "Saya lihat hanya Timor Leste dan Pelangi Putra yang pemainnya di bawah rata-rata. Kalau yang lainnya, sangat bagus," kata wartawan sebuah harian di Kota Kupang, Kristo Embu.
Pemain yang bagus, tentu harus didukung oleh manajemen klub yang benar. Klub peserta turnamen ini ternyata hanya sekadar ingin bermain. Pelatih dan pemain sudah siap, namun tidak didukung oleh manajemen. Ada banyak bukti. Berbagai kesepakatan yang ditetapkan saat pertemuan teknis seperti administrasi pemain, kostum, administrasi pendaftaran dan lainnya, malah tidak dilaksanakan.
"Kita harus berubah. Kita punya banyak pemain bagus namun tidak diatur lewat manajemen yang benar, prestasi tidak akan pernah sampai. Hanya bisa bermain di Stadion Oepoi, setelah itu tidak ada lagi yang bisa digapai. Kalau seperti ini, siapa yang mesti bertanggungjawab. Induk organisasi, klub, atau siapa. Bagaimana mau berkembang, kalau mau turnamen baru cari pemain. Copot sini copot sana. Klub yang baik harus memiliki pemain tetap dan latihannya juga rutin," kata Asisten Pelatih Kristal FC, Willy Dambu.
Satu masalah lagi yang mesti dibenahi adalah wasit dan pelatih. Ada beberapa klub peserta yang memiliki pemain berkualitas, namun tidak didukung pelatih. Tanpa lisensi, hanya bisa berdiri di tepi lapangan kemudian tak tahu harus berbuat apa ketika timnya tertekan.
Kalau soal wasit, hal ini mesti kita benahi bersama. Jangan bilang masalah ini sama seperti di daerah lain, lalu kita diam dan membiarkannya terus terjadi. Helmon Liko dan Edo Bella pantas marah ketika Paulus Bekak menujuk titip penalti. Willy Dambu pun tak perlu disalahkan ketika mereka berteriak kegirangan saat Kristal FC menang adu penalti.
"Ini sebuah blunder. Ke depan saya usulkan panitia seleksi wasit dengan benar. Wasit sepakbola ya di sepakbola. Jangan wasit di sepakbola mau, futsal juga mau. Bagaimana dia mau memimpin dengan benar, kalau seperti ini. Ini sebuah hal yang sangat fatal dalam pembinaan sepakbola di NTT. Asosiasi PSSI harus melihat ini, evaluasi dan jangan biarkan terus terjadi. Seorang wasit harus memilih, sehingga profesionalitasnya dihargai," kata mantan pemain PSK, Abdul Muis.
Itulah kita. Masih banyak yang mesti dibenahi. Kebanggaan akan kualitas pemain, tak akan membawa prestasi kalau perubahan itu tak dimulai. Saling mempersalahkan masih sangat terasa. Pengakuan atas kelebihan orang lain, masih terasa berat untuk diungkapkan.