FAKTA Terbaru, Putri Jenderal Ahmad Yani dan Putra DN Aidit Punya Hubungan Ini; Kami Cinta Damai
TERNYATA Putri Ahmad Yani dan Putra DN Aidit Punya Hubungan 'Khusus', Tak Banyak yang Tahu! SIMAK
POS KUPANG, COM - Jelang 30 September, berbagai isu tentang kebangkitan Partai Komunis Indonesia ( PKI ) tampak terus santer beberapa waktu terakhir.
Hal ini bersamaan dengan momen penghujung September, tepatnya pada tanggal 30, dikenal sebagai gerakan 30 September/ PKI ( G30S/PKI ).
G30S/PKI ini semakin booming karena saat ini sedang gencar pemutara film dengan judul yang sama di seluruh antero negeri
• Kisah Radim, Saksi Pembantaian Pasca G30S / PKI, Ditembak dari Belakang, Lalu Ditendang ke Lubang
Ada yang diputar di bioskop dan ada juga yang diputar secara streaming di laman online.
Momen ini bersejarah karena pada waktu mencekam itu tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha kudeta.
Pemimpin PKI saat itu DN Aidit dianggap semakin memprovokasi bentrokan antara aktivis massanya dengan polisi dan militer.
Satu di antara perwira tinggi yang menjadi korban kekejaman PKI saat itu adalah Letjen Ahmad Yani.
Dan ditengah isu gerakan 30 September yang semakin memanas ini, ternyata tak banyak yang tahu bahwa anak dari pemimpin PKI dan Letjen Ahmad Yani mempunyai hubungan yang dekat.
Jenderal TNI Achmad Yani dan kelurganya (dok keluarga)
Amelia Yani yang merupakan anak dari Ahmad Yani dan Ilham Aidit yang anak dari DN Aidit ternyata sangat akrab dan memiliki misi damai dalam sebuah perhimpunan Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB).
Seperti dilansir dari Tribunnews.com, Amelia Yani mengatakan bahwa mereka memiliki misi yang sangat mulia.
"Misi kami anak-anak forum putera-puteri Pahlawan revolusi dan keluarga PKI dan semua yang ada di FSAB adalah misi damai. Kami cinta damai."
Putri salah satu Pahlawan Revolusi, Jendral (Anumerta) Ahmad Yani tersebut mengatakan bahwa misi damai tersebut kini terus dihembuskan oleh keluarga para jenderal yang menjadi korban dari peristiwa G30S/PKI, maupun keluarga PKI.
Hal senada juga disuarakan oleh Putra Keempat tokoh PKI DN Aidit, Ilham Aidit.
Ia menuturkan, para keluarga baik dari kelarga para jenderal yang menjadi korban peristiwa 30 Septermber maupun para keluarga PKI, termasuk para keluarga lain dari perisiwa masa lalu sudah berhimpun dalam Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB).
Forum ini, Ilham ini menjelaskan mereka yang tergabung dalam forum ini menjadi ujung tombak rekonsiliasi
"Motto kami, tidak mewariskan konflik dan membuat konflik baru. Intinya begini. kalau para orang tua berkonflik, anak-anaknya tak perlu berkonflik. Konflik itu jangan pernah diwariskan, itu kesepakatan kami," kata Ilham.
Anak DN Aidit Ilham Aidit (kanan) dan putri Jendral Achmad Yani Amelia Yani (tengah)
Jokowi Nonton Film G30S PKI Versi 4 Jam Bareng Ratusan Warga di Bogor
Presiden Joko Widodo nonton bareng film G30S/PKI bersama warga Bogor di Lapangan Markas Korem 061/Suryakencana, Bogor, Jawa Barat, Jumat (29/9/2017).
Mengenakan jaket berwarna merah, Jokowi duduk di barisan paling depan dengan pengawalan ketat dari Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres).
Tampak hadir menemani Jokowi adalah Danrem 061/Suryakencana Kolonel Inf Mirza Agus dan Kapolresta BogorKota Komisaris Besar Ulung Sampurna Jaya.
Meski acara nobar film G30S/PKI tersebut ditemani gemericik hujan, warga yang hadir tetap antusias menikmati film yang sempat dilarang diputar di Indonesia itu.
Ratusan warga yang tengah duduk bersila di atas karpet langsung berdiri dan berteriak histeris seraya bertepuk tangan saat Jokowi datang ke lokasi nobar.
• Siapa Pelopor PKI Masuk Indonesia? Ternyata Henk Sneevliet, Sosok Pemimpin Radikal Berpaham Marxisme
Amelia Achmad Yani mengadakan upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober 2017 pagi di Wisma Indonesia Sarajevo (KOMPAS.com/ATI KAMIL)
Danrem 061/Suryakencana Kolonel Inf Mirza Agus mengatakan, pada nobar kali ini, pihaknya akan memutarkan film G30S/PKI secara lengkap.
"Bersama Pak Jokowi, jajaran Korem dan ratusan warga akan menyaksikan film G 30S PKI secara full kurang lebih empat jam," singkatnya kepada awak media yang hadir di sana.
* Ternyata DN Aidit bukan apa-apa, terungkap sosok dalang PKI di Indonesia, pernah bertemu Stalin dan diminta batalkan
Peristiwa Gerakan 30 September atau dikenal sebagai G30S yang dilakukan Partai Komunis Indonesia tidak lepas dari peran Ketua Umum PKI, Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit.
Namun, terungkap DN Aidit ternyata bukan siapa-siapa, inilah sosok dalang PKI di Indonesia, bahkan pernah terima mandat langsung dari Pemimpin Besar Komunis, Stalin di Moskow.
Meski oleh Stalin diminta batalkan, namun ternyata tetap dilakukan.
Sosok ini menjadi tokoh utama dalam kegiatan-kegiatan PKI.
Bahkan di bawah kepemimpinannya, PKI menjadi salah satu partai terbesar di Indonesia.
Kematian DN Aidit pun sekarang masih menjadi kontroversi dan di mana jenazahnya pun tidak diketahui.
Asal muasal adanya PKI di Tanah Air berasal dari seorang sosialis asal Belanda, Henk Sneevliet.
Henk mendirikan partai bernama Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) yang merupakan embrio PKI.
Setelah Indonesia merdeka ISDV berganti nama menjadi PKI yang lambat laun semakin membesar dengan ratusan ribu pendukung
dan dinobatkan sebagai partai komunis non-penguasa terbesar di dunia setelah Rusia dan China tentunya.
anyaknya massa PKI disebabkan rakyat Indonesia (saat itu) menilai ideologi komunis cocok dengan keadaan mereka.
Tentu tokoh partai Palu Arit Indonesia yang paling dikenal ialah Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit.
Memang sih, DN Aidit dianggap yang paling bertanggungjawab atas peristiwa berdarah G30S PKI
dan tabu jika ia mengaku tak tahu menahu mengenai peristiwa tersebut.
Namun siapa sangka jika Aidit bakal menjadi 'anak bawang' jika bertemu dengan dua pentolan PKI ini.
Tersebutlah Muso Manowar atau Munawar Muso alias Musso dan Alimin bin Prawirodirdjo.
25 Desember 1925, para pemimpin PKI mengadakan pertemuan kilat di daerah Prambanan, Klaten, Jawa Tengah.
Dalam pertemuan itu mereka membahas aksi berupa pemogokan hingga angkat senjata yang bakal dilakukan oleh kaum tani serta buruh.
Tujuannya ialah melancarkan aksi pemberontakan di seluruh nusantara kepada pendudukan Belanda.
Rencana itu lantas harus disampaikan kepada wakil Komunis Internasional (Komintern) yang berada di Singapura.
PKI lantas mengirim Alimin dan Musso ke Singapura.
Komintern di Singapura menindaklanjuti rencana pemberontakan tersebut dengan memberangkatkan keduanya ke Moskow, Uni Soviet.
Rupanya Musso dan Alimin langsung dihadapkan kepada pemimpin besar Komunis, yakni Stalin ketika di Moskow.
Mereka berdua menerima mandat dari Stalin agar rencana pemberontakan dibatalkan dulu saja
serta mengubah cara kerja PKI menjadi bawah tanah dengan menyebarkan propaganda kepada Belanda.
Tapi Musso nekat, sekembalinya ke Tanah Air ia melancarkan pemberontakan kepada Belanda di Batavia dan Sumatera Barat.
Karena persiapan kurang matang, pemberontakan tersebut langsung ditumpas dan Belanda melarang adanya PKI lagi di Nusantara.
Musso dan Alimin ditangkap Belanda dan dipenjara.
Setelah keluar penjara Musso pergi ke Moskow tahun 1935.
Walaupun sempat kembali ke tanah air tapi diusir dan balik lagi ke Uni Soviet tahun 1936.
Hingga tanggal 11 Agustus 1948 Musso kembali ke Indonesia lewat Yogyakarta.
Dasar bebal memang, Musso kembali ke Tanah Air untuk melakukan pemberontakan lagi dengan para militan PKI di Madiun pada 18 September 1948.
Sontak saja aksinya yang menginginkan terbentuknya Republik Soviet Indonesia dari pemberontakan PKI Madiun langsung mendapat respon keras dari militer.
Divisi Siliwangi TNI tanpa menunggu waktu lama segera memberangus pemberontakan tersebut.
Nasib Musso pun tak jauh-jauh dari apes setelah pemberontakan keduanya gagal.
Ia dikepung oleh satu peleton tentara Siliwangi di Pacitan hingga ajal menjemputnya setelah dihadiahi timah panas oleh TNI
saat Musso bersembunyi di kamar mandi pemandian umum.
Usai tewas ditembak mayat Musso dibawa ke RS Ponorogo untuk diawetkan hingga akhirnya dibakar secara diam-diam.
* Terungkap Soeharto Abaikan Informasi G30S PKI Akan Bunuh Para Jenderal TNI, Ini Kisah Kolonel Latief
Sebentar lagi Indonesia akan memperingati tragedi berdarah Gerakan 30 September atau yang lebih dikenal dengan sebutan G30S PKI.
Banyak nyawa melayang pada hari itu, termasuk sejumlah Jenderal TNI.
Peristiwa G30S PKI merupakan kisah kelam pada malam 30 September sampai 1 Oktober 1965.
Peristiwa yang terjadi semalam itu menorehkan perjalanan sejarah bagi bangsa Indonesia.
Beberapa saat sebelum peristiwa itu terjadi, gerakan yang berencana menumpas para jenderal itu sudah tercium oleh beberapa perwira TNI.
Salah satunya Kolonel Latief yang saat itu menjabat Komandan Brigade Infanteri I Kodam V Jaya.
Kolonel Latief yang mendapat bocoran tentang rencana itu, kemudian bertermu Panglima Kostrad atau Pangkostrad yang saat itu dijabat oleh Soeharto.
Soehato dalam buku "Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G30S/PKI" karya Eros Djarot, mengungkapkan kesaksiannya soal peristiwa ini.
Dikutip dari berbagai sumber termasuk arsip berita Tribunnews.com, Kolenel A Latief dikenal sebagai anak buah dan sejawat Soeharto kala itu.
Ketika diwawancarai Der Spiegel pada 19 Juni 1970, Soeharto menyatakan ia memang ditemui Latief di RSPAD, beberapa jam sebelum kejadian G30S PKI terjadi.
Meski bertemu, Soeharto menegaskan bahwa Latief tak memberikan informasi apapun.
Lalu, kesaksian yang diceritakan Soehato kepada Der Spiegel tersebut berubah.
Pada bukunya yang berjudul "Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya", Soeharto mengutarakan jika ia hanya melihat Latief dari kejauhan dan tak ada interaksi yang terjadi malam itu.
Meski demikian, Kolonel Latief mengungkapkan kisahnya sebelum terjadinya peristiwa G30S PKI.
Latief mengungkapkan, dua hari jelang peristiwa itu, ia menemui Soeharto di kediamannya, Jalan Agus Salim, Jakarta Pusat.
Dalam pertemuan itu keduanya membicarakan keadaan keluarga masing-masing.
Hingga kemudian, Latief memberi tahu Soeharto jika akan ada suatu gerakan yang akan membunuh para jenderal TNI AD.
Latief pun mengaku masih ingat kejadian tersebut.
"Saya masih ingat kejadian itu, karena saat itu putra bungsu Soeharto, yang masih berusia tiga tahun, menderita luka cukup serius akibat tersiram sop panas," tutur Kolonel Latief.
Lalu, Soeharto, kata Letief, tak melakukan tindakan apa-apa terkait informasi yang ia sampaikan itu.
Karena laporan itu tak digubris Soeharto, Latief pun kembali menemui Soeharto yang berada di RSPAD Gatot Subroto.
Kala itu, Soeharto sedang menunggui Hutomo Mandala Putra yang menjalani pengobatan karena tersiram sop panas.
Menurt Latief, laporannya terkait peristiwa itu tak digubris lagi oleh Soeharto.
Hingga kemudian peristiwa tersebut benar-benar terjadi.
Latief yang ketika itu menjabat sebagai Komandan Brigade Infanteri I Kodam V Jaya datang melapor kepada Soeharto, mengapa Soeharto selaku Panglima Kostrad tidak menggagalkan peristiwa yang berbuntut pada penggulingan Sukarno selaku presiden setelah mendapat laporannya.
"Siapa sebenarnya yang melakukan coup d'etat pada 1 Oktober 1965: G30S ataukah Jenderal Soeharto", ungkap Latief di pengantar bukunya Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat G 30 S.
Kemudian, Latief menjadi tahanan politik karena tuduhan terlibat G30S, sejak tanggal 11 Oktober 1965.
Ia kemudian diadili tahun 1978 dan dibebaskan dari tahanan tanggal 6 Desember 1998 oleh pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie.
Kolonel Abdul Latief meninggal dunia pada pukul 06.30 WIB pada Rabu (6/4/2005) akibat sakit paru-paru.
* TERUNGKAP Keberadaan Mayor Jenderal Soeharto di Malam Kudeta G30S/PKI 30 September, Temui Siapa?
Sejumlah perwira tinggi militer menjadi korban dalam peristiwa G30S/PKI atau Gerakan 30 September.
Mereka dibunuh, lalu mayatnya dibuang ke sumur di lubang buaya.
Sejumlah korban G30S tersebut kini dikenal juga sebagai Pahlawan Revolusi.
G30S disebut-sebut sebagai upaya kudeta dari PKI.
Kendati demikian, perdebatan mengenai siapa dalang di balik peristiwa kelam tersebut masih terjadi hingga saat ini.
Mayor Jenderal Soeharto yang kala itu menjabat sebagai Panglima Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) disebut-sebut sebagai salah satu tokoh sentral dalam penumpasan PKI.
Namun, pada akhirnya tak sedikit juga yang bertanya-tanya, ada di mana keberadaan Soeharto saat malam jahanam G30S?
Pertanyaan itu dijawab dalam buku otobiografi Ibu Tien Soeharto berjudul "Siti Hartinah Soeharto Ibu Utama Indonesia."
Rupanya, pada 30 September 1965 pukul 21.00 WIB, Soeharto sempat bersama istrinya di Rumah Sakit Gatot Subroto.
Saat itu, Tommy, putra dari Soeharto dan Ibu Tien, harus dirawat di rumah sakit tersebut.
Dikisahkan dalam buku itu, Ibu Tien sempat berkumpul di markas Persit.
Saat itu, pertemuannya adalah mendengarkan penjelasan dari Menteri/Panglima AD Achmad Yani.
"Pak Yani dalam pertemuan tersebut menjelaskan situasi politik pada waktu itu yang makin gawat," kenangnya seperti terungkap dalam buku otobiografinya.
Ibu Tien mengatakan, sepanjang menjadi seorang istri prajurit, baru kali itulah dia diberi tahu hal-hal yang sifatnya rahasia.
Setelah mengikuti acara tersebut, dia pun pulang ke rumahnya di Jalan H Agus Salim.
Sesampainya di rumah, anak-anaknya meminta dibuatkan sup kaldu tulang sapi.
Ibu Tien akhirnya membuatkannya.
Namun, ketika dirinya sedang membawa panci berisi sup panas yang hendak ditaruh di ruang makan, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto yang sengaja menyenggol tangan ibunya.
Sup itu akhirnya tumpah dan mengguyur Tommy.
"Air sup tumpah dan mengguyur sekujur tubuhnya. Kulitnya terbakar dan melepuh-lepuh. Saya ingat pelajaran PPPK di Kostrad, kalau luka bakar obatnya leverstraan salf. Kebetulan ada persediaan di rumah. Maka obat itulah yang saya oleskan ke kulitnya," kata Ibu Tien.
Tommy pun dibawa ke RS Gatot Subroto untuk dirawat.
Bersama Ibu Tien, Soeharto sempat menunggui anaknya di rumah sakit.
Namun, sekitar pukul 00.00, Ibu Tien meminta Soeharto agar segera pulang ke rumah.
Pasalnya, Mamiek, putri bungsu Soeharto yang masih berusia satu tahun sedang sendirian di rumah.
"Kira-kira pukul 10 malam saya sempat menyaksikan Kol Latief berjalan di depan zal tempat Tomy dirawat. Kira-kira pukul 12 seperempat tengah malam saya disuruh oleh istri saya cepat pulang ke rumah di Jl H Agus Salim karena ingat Mamik, anak perempuan kami yang bungsu yang baru setahun umurnya. Saya pun meninggalkan Tommy, dan ibunya tetap menungguinya di RS," kenang Soeharto. (TribunJabar.id)
Bung Karno diapit dua jenderal Angkatan Darat, AH Nasution (kiri) dan Soeharto. Ketiganya tertawa lebar saat bertemu di Istana Merdeka, Jakarta, tahun 1966. (kompas.com)
Keesokan harinya, 1 Oktober 1965
Suasana di Jl H Agus Salim, kediaman Soeharto masih terlihat sepi.
Tiba-tiba seorang pria bernama Hamid mengetuk rumah Soeharto yang kebetulan menjadi Ketua RT.
Hamid adalah seorang juru kamera. Ia mengaku baru saja mengambil gambar tembak-tembakan yang terjadi di sejumlah tempat.
Tak lama kemudian datang Mashuri SH, tetangga Soeharto.
Kepada Soeharto, Mashuri mengaku mendengar suara tembakan.
Soeharto pun mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi.
Di tengah tanda tanya itu, muncul Broto Kusmardjo.
Lelaki itu mengabarkan bahwa telah terjadi penculikan terhadap sejumlah jenderal.
Sekitar pukul 06.00 Letkol Soedjiman datang ke rumah Soeharto.
Lelaki itu mengaku diutus Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, Panglima Kodam V Jaya.
Kepada Soeharto, Soedjiman memberi tahu bahwa ada konsentrasi pasukan di sekitar Monas.
Mendengar cerita itu, Soeharto bergegas mengenakan pakaian loreng lengkap, bersenjata pistol, pet dan sepatu.
Sebelum berangkat ke markasnya, Soeharto berpesan kepada Soedjiman.
"Segera kembali saja lah dan laporkan kepada Pak Umar saya akan cepat datang ke Kostrad dan untuk sementara mengambil pimpinan Komando Angkatan Darat," katanya.
Tak lama kemudian, Soeharto terlihat berjalan menuju Jeep Toyota, kendaraan dinasnya.
Tanpa seorang pengawal, Soeharto tancap gas menuju Markas Kostrad di Jl Merdeka Timur.
Ketika itu, Soeharto melihat suasana di ibu kota berjalan seperti biasa.
Sepertinya tak ada tanda-tanda telah terjadi sesuatu.
Lalu lalang manusia dan arus kendaraan terlihat seperti biasanya.
Begitu juga becak-becak yang biasa mangkal di ujung kampung.
Radio Republik Indonesia (RRI) juga terlambat menyiarkan tragedi pekat nan menyayat hati seluruh rakyat Indonesia.
Padahal, biasanya RRI sudah mengudara pukul 07.00 pagi.
Herannya, hingga pukul 07.00 pagi RRI tak juga bercuap-cuap.
Begitu juga ketika Soeharto memasuki markasnya, tak ada tanda-tanda bahwa telah terjadi aksi penculikan dan pembunuhan secara keji.
Justru, Soeharto hanya mendapatkan laporan dari petugas piket yang mengatakan bahwa orang terpenting Bung Karno tidak jadi ke Istana, tetapi langsung ke Halim.
Di Istana Presiden juga terlihat melompong.
Soekarno ketika itu sedang tidak ada di tempat.
Padahal, Jumat 30 September Bung Karno sempat tampil di depan peserta Munas Tehnik di Istora Senayan.
Setelah itu Bung Karno tak kembali ke Istana, melainkan memilih tinggal di Wisma Yaso. (*)
Artikel ini telah tayang di pos-kupang.com dengan judul TERNYATA Putri Ahmad Yani dan Putra DN Aidit Punya Hubungan 'Khusus', Tak Banyak yang Tahu! SIMAK, https://kupang.tribunnews.com/2020/09/28/ternyata-putri-ahmad-yani-dan-putra-dn-aidit-punya-hubungan-khusus-tak-banyak-yang-tahu-simak?page=all.
Editor: Benny Dasman