Opini Pos Kupang

Kepatuhan Terhadap Protokol Kesehatan: Compliance atau Obedience?

Merupakan sebuah tindakan pencegahan yang baik, yakni menjauhi kerumunan, memakai masker ketika keluar rumah, menjaga jarak dengan orang sekitar

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Kepatuhan Terhadap Protokol Kesehatan: Compliance atau Obedience?
Dok
Logo Pos Kupang

Oleh : Wardy Kedy, Alumnus Magister Psikologi UGM

POS-KUPANG.COM - Merupakan sebuah tindakan pencegahan yang baik, yakni menjauhi kerumunan atau keramaian, memakai masker ketika keluar rumah, menjaga jarak dengan orang sekitar, tetap tinggal di rumah jika tidak ada urusan yang mendesak, dan tidak bepergian ke tempat jauh/luar daerah.

Hemat saya, jika langkah-langkah ini dilaksanakan dengan penuh kesadaran, nicaya angka positif Covid-19 bisa menurun. Kesadaran untuk melaksanakan apa yang diimbau atau diinstruksikan Pemerintah merupakan modal utama dalam memutus penyebaran virus ini.

Akan tetapi, pada nyatanya, masyarakat kita masih `belum' terlalu taat menjalankan anjuran dan himbaun tersebut. Banyak orang yang masih menganggap sepele dan tidak peduli dengan anjuran Pemerintah.

Pesta Sonde Berenti-Berenti

Akibatnya, sampai sekarang kasus positif Covid-19 terus meningkat, sehingga Pemda DKI Jakarta kini harus kembali `menarik rem' menerapkan PSBB total mulai hari Senin (Kompas.com 14/9/2020).

Memang tidak mudah membuat orang untuk patuh dan taat pada suatu perintah, karena dipengaruhi oleh mental dan karakter kita yang terlalu `masa bodoh' dengan apapun.

Terlebih kita yang melabeli diri sebagai orang yang `kepala batu', saya bisa pastikan bahwa perilaku taat atau kepatuhan terhadap suatu imbauan (instruksi) masih rendah. Fakta ini kemudian membuat Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono menegaskan bahwa aparat keamanan (Kepolisian) akan menindak tegas masyarakat yang melanggar protokol kesehatan (Pos Kupang, Senin, 14/9/2020).

Tentara Sumbang Uang untuk Perawatan Bayi, Jemiana: Ini Rezeki dari Tuhan

Semua ini demi meningkatkan kesadaran dan kedisiplinan warga agar penyebaran Covid-19 bisa menurun.

Kita tahu bersama bahwa problem sulit taat atau tidak patuh pada peraturan dan/atau imbauan bukan sesuatu yang baru dalam realitas sosial kita. Kalau kita bertanya kepada masyarakat, jawaban mereka sangat biasa, bahwa ketidak-patuhan mereka selalu beralasan.

Memang tidak mudah menghadapi hal ini. Karena itu, tulisan ini akan mengulas tentang bentuk kepatuhan publik dari perspektif psikologi sosial, secara khusus dalam konsep dinamika kelompok dan pengaruh sosial.

Memahami Konsep Obedience dan Compliance

Sebagai pribadi yang hidup di tengah masyarakat, dengan tata aturan nilai dan norma sosial yang berlaku didalamnya, kita memiliki seperangkat aturan untuk dipatuhi sehubungan dengan diterimanya kita dalam suatu masyarakat. Apabila kita tidak mematuhi tata aturan tersebut, kita akan dianggap tidak patuh dan menyimpang.

Ini semua terjadi karena adanya pengaruh sosial (sosial influence), di mana pengaruh sosial tersebut akan mengubah sikap, perilaku, dan persepsi seseorang. Sedikitnya, ada 3 aspek penting dalam pengaruh sosial, yaitu: compliance, obedience dan conformity.

Teori compliance dikembangkan oleh Green dan Kreuters (1991), di mana menurutnya kepatuhan adalah ketaatan melakukan suatu yang dianjurkan atau respon yang diberikan terhadap sesuatu di luar subyek.

Sementara itu, teori obedience yang dikembangkan oleh Stanley Milgram (1963) menyatakan bahwa kunci seorang bisa patuh atau tidak, sangat bergantung pada figur otoritas.

Bila diterjemahkan ke dalam kata bahasa Indonesia, baik obedience maupun compliance memiliki arti yang sama yaitu kepatuhan. Namun sebenarnya jika dimaknai secara lebih detail, obedience dan compliance memiliki arti yang terpisah.

Dalam perspektif psikologi sosial, compliance berarti melakukan sesuatu yang dianjurkan, atau respon yang diberikan terhadap situasi dari luar subyek tanpa adanya paksaan, sehingga dapat dilakukan dengan bebas, tanpa merasa terbebani.

Dari sini, dapat disimpulkan bahwa compliance merupakan tindakan seseorang yang bersedia melakukan suatu hal karena dia menyetujui sebuah permintaan dan bukan karena perintah atau paksaan dari luar dirinya (dari orang lain).

Sementara itu, obedience merupakan suatu bentuk prilaku dimana seseorang mematuhi perintah langsung dari pimpinan. Obedience menjadikan seseorang melakukan perubahan sikap dan tingkah lakunya untuk mengikuti perintah orang lain.

Obedience dikatakan terjadi jika seseorang mengikuti perintah atasannya tanpa mempertanyakan untuk apa tujuan atau maksud perintah tersebut. Artinya, ia akan taat dan patuh karena ada orang lain atau karena ada instruksi/imbauan dari orang lain (yang lebih berkuasa), dan bukan dari kesadarannya sendiri.

Berdasarkan dua pemahaman tentang compliance dan obedience yang menjelaskan definisi kepatuhan tadi, dapat disimpulkan bahwa kepatuhan merupakan suatu tindakan yang dilakukan seseorang karena adanya stimulus tertentu.

Stimulus yang menyebabkan kepatuhan tersebut dapat berupa permintaan, peraturan, perintah, maupun paksaan, yang akhirnya menimbulkan perilaku patuh untuk mengikuti stimulus.

Kepatuhan sebagai perilaku positif dinilai sebagai sebuah pilihan. Artinya individu memilih untuk melakukan, mematuhi, dan merespon secara kritis suatu aturan, himbauan, hukum, norma sosial, permintaan, maupun keinginan dari orang lain yang memegang otoritas ataupun peran penting.

Bertolak pemahaman teoritis tersebut, kita sudah bisa menemukan bahwa bentuk kepatuhan masyarakat saat ini (khususnya orang NTT) dalam menghadapi pandemi Covid-19, sedikit banyak mengarah ke konsep obedience. Alasan sederhana, karena pada dasarnya, masyarakat kita akan lebih taat kalau diawasi atau kalau ada `power' yang berkuasa dan memaksa.

Memang, tidak semua yang seperti itu, masih ada banyak orang lain yang melaksanakan perilaku patuh berdasarkan konsep compliance. Akan tetapi jika berkaca pada realita saat ini, saya kira untuk mencapai kepatuhan yang `ideal' perlu melibatkan aparat keamanan. Ini bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk mendisiplinkan perilaku kita yang seolah `cuek' atau `tidak peduli' dengan situasi saat ini.

Modifikasi Perilaku untuk Meningkatkan Kepatuhan

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa ada begitu banyak perilaku yang tidak menyenangkan atau dianggap tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat, sehingga dalam ranah psikologi dibutuhkan suatu pendekatan/perlakuan yang umum dikenal sebagai `modifikasi perilaku'.

Modifikasi perilaku itu sendiri adalah segala usaha yang dilakukan untuk mengubah perilaku individu dengan memberikan intervensi psikologis tertentu. Dengan modifikasi perilaku diharapkan kita bisa fokus pada perubahan perilaku, alih-alih memahami mengapa atau bagaimana perilaku tersebut bisa terjadi.

Ada beberapa metode atau pendekatan yang bisa dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, antara lain: positive dan negative reinforcement, punishment, flodding, aversion therapy, extinction, dan lain sebagainya.

Namun kali ini saya hanya mengusulkan salah satu bentuk modifikasi perilaku yang sederhana, agar masyarakat bisa lebih taat atau patuh terhadap imbauan/instruksi Pemerintah dalam upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19, yakni pendekatan punishment.

Mengapa saya memilih pendekatan ini, karena punishment atau hukuman pada dasarnya merupakan pendekatan yang paling umum (lazim) dipakai dalam memodifikasi perilaku.

Dalam arti bahwa pendekatan dengan memberikan hukuman bagi masyarakat yang tidak taat/tidak patuh merupakan hal yang patut diterapkan dalam situasi seperti sekarang ini.

Bagi saya, hukuman biasanya dibuat bukan untuk menghilangkan perilaku tertentu, melainkan untuk memperlemahnya dengan memasangkan stimulus yang kurang menyenangkan terhadap perilaku tersebut.

Hemat saya, dengan memberi hukuman yang dilakukan dengan disiplin, saya kira bisa membuat efek jera bagi masyarakat yang tidak patuh pada protokol kesehatan. Inilah yang harus diterapkan.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved