News
Geleng-geleng Kepala, Tiga Warga Protes Tambang Dipanggil Polisi Diperiksa, Mas Tonda Bilang Begini
Ketiganya dipanggil polisi di Polres Ngada, Rabu (12/8) atas laporan pihak perusahaan pengelola tambang, PT Pesona Karya Bersama.
Penulis: Gordi Donofan | Editor: Benny Dasman
Laporan Wartawan Pos Kupang, Com, Gordi Donofan
POS KUPANG, COM, BAJAWA -Tiga orang warga Lengkosambi, Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada, yakni Mas Tonda, Ryan Seno dan Rikus Koa, rupanya mulai terusik, setelah ketiganya bersama warga Lengkosambi melancarkan aksi protes atas kerusakan lingkungan akibat tambang galian C, bulan Juli lalu.
Hanya berselang sebulan, ketiganya malah dipanggil polisi terkait dengan aksi protes yang sebenarnya bertujuan menyelamatkan ekologi yang rusak parah. Hal itu dilakukan demi menyelamatkan keutuhan ciptaan.
Ketiganya dipanggil polisi di Polres Ngada, Rabu (12/8) atas laporan pihak perusahaan pengelola tambang, PT Pesona Karya Bersama.
Mereka menilai janggal terkait pemanggilan itu, sebab aksi protes mereka belum lama berselang disampaikan melalui wakil rakyat di Lembaga DPRD Ngada, yang kemudian ditindaklanjuti dengan kunjungan anggota komisi I DPRD Ngada ke lokasi.
Menurut Mas Tonda, Bupati Ngada Paulus Soliwoa, pekan lalu, sudah meninjau langsung ke lokasi tambang galian C yang rusak berat itu.
Saat itu, Bupati meminta pihak pengelola untuk menghentikan aktivitas untuk sementara sampai ada penyelesaian.
Tambang di Ngada, kata Bupati Soliwoa, harus memperhatikan dampak sosial.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH), tambah Mas Tonda, sudah pula meninjau lokasi dan mengendus berbagai pelanggaran pihak pengelola dalam mengeruk pasir di Sungai Alo Korok, sepanjang lima kilometer itu. Pihak DLH minta agat tambang tidak dilanjutkan.
Ketika dipanggil polisi, ketiga warga ini justru bertanya-tanya ada apa ini? "Kami menyampaikan aspirasi melalui anggota DPRD dan sekarang sedang dalam proses, malah kami dilaporkan ke polisi. Ada apa sebenarnya, karena hak bersuara kami yang dijamin dengan undang-undang seolah dipasung," tandas Mas Tonda kepada wartawan di Bajawa Rabu (12/8).
Mas Tonda, Ryan Seno dan Rikus Koa, dipanggil polisi agar hadir di Polres Ngada untuk melakukan klarifikasi permintaan keterangan Rabu (12/8) pukul 09.00 Wita, melalui surat panggilan tertanggal 10 Agustus 2020 yang ditandatangani Kasat Reskrim Polres Ngada Anggoro.C. Wibowo, SIK.
Ketiganya memenuhi panggilan polisi dan tiba di Polres Ngada sekitar pukul. 09.00 wita. Setelah jedah, tiga warga yang tergabung dalam Forum Pemuda Lengkosambi Raya (FPLR) itu, berturut-turut dimintai keterangan di Ruang Unit Ldik II (Tipiter) Satuan Resrim Polres Ngada, di hadapan pemeriksa Ipda Gerry Agnar Timur, S.Tr.K, mulai pukul 10.00 wita hingga pukul 16.00 wita, setelah sempat jedah makan siang sejam.
Menjawab awak media usai memberi keterangan kepada polisi, Mas Tonda mengatakan, dirinya dicecar kurang lebih lima pertanyaan dengan sangkaan telah menghalang-halangi aktivitas kegiatan tambang galian C di Kali Alo Korok oleh PT Pesona Karya Bersama.
Mas Tonda, demikian juga Ryan Seno dan Rikus Koa dalam waktu berbeda juga ditanya tentang sangkaan telah menghalangi pekerjaan tambang galian C, sehingga pihak perusahaan mengalami kerugian.
Ketiganya juga ditanya tentang sejauh mana mengetahui tentang izin tambang yang dikantongi PT. Pesona Karya Bersama, status kepemilikan kali Alo Korok, lokasi pengerukan pasir, tujuan melakukan aksi protes dan apakah ketiganya mengetahui kerugian yang diderita pihak perusahaan tambang?
Terkait dengan tuduhan kepada pihaknya yang menghalang-halangi aktivitas tambang dengan melakukan penutupan jalan ke lokasi tambang galian C yang sedang dikelola PT. Pesona Karya Bersama, Mas Tonda mengatakan, pihaknya tidak pernah menutup jalan ke lokasi tambang.
"Kami tidak menutup atau memagari jalan menuju lokasi tambang, sebagai upaya menghalang-halangi. Kami hanya memagar lahan kebun kami. Selama ini justru pihak PT. Pesona Karya Bersama tidak pernah minta izin melewati kebun warga. Jadi menghalangi dimaksud itu yang mana," ujarnya.
Terkait seberapa jauh pihaknya mengetahui aktivitas tambang memiliki izin atau tidak, Mas Tonda mengungkapkan, baru tahu justru setelah melakukan aksi protes, ternyata memang izin bermasalah.
Setelah itu memang pihak DLH turun meninjau lokasi bahwa aktivitas tambang harus dihentikan karena tidak sesuai prosedur.
"Kami juga ditanya status kepemilikan kali (sungai), tempat pengerukan. Setahu kami, itu milik publik. Tetapi yang jelas kawasan kiri dan kanan kali terdapat lahan pertanian milik warga dan telah terjadi abarasi berat akibat pengerukan membabi-buta," ujarnya.
Menurut Mas Tonda dan Ryan Seno, tujuan warga melakukan protes sebagimana ditanyakan, sebenarnya sebagai wujud keresahan masyarakat karena telah terjadi dampak kerusakan luar biasa pada lingkungan sekitar, seperti terjadinya abrasi yang menyebabkan penyempitan lahan pertanian akibat muncul aliran sungai baru, abrasi lokasi dekat kuburan dan pengikisan di jembatan Alo Korok.
Dan soal kerugian yang diderita PT. Pesona Karya Bersama sebagaimana ditanya polisi. "Kalau itu kami tidak tau. Tanyakan saja kepada pihak perusahaan," ujarnya.
Baik Mas Tonda, Ryan Seno maupun Rikus Koa mengaku sangat kecewa dengan panggilan polisi dengan alasan sebagai upaya klarifikasi dalam melakukan penyelidikan dugaan tindak pidana menghalang-halangi usaha pertambangan yang berlokasi di Desa Lengkosambi, Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada.
"Kalau ini suatu klarifikasi, kenapa tidak sekalian menghadirkan pihak perusahaan sehingga ada titik temu. Karena aksi ini semata-mata demi kepentingan masyarakat Lengkosambi yang merasa dirugikan dengan kegiatan tambang pasir di Alo Korok. Jadi jangan sampai perjuangan kami menyelamatkan ekologi bagi kehidupan, malah diberi label sebagai tindakan provokasi,"ujarnya.
Mas Tonda juga merasa aneh, pihak perusahaan sudah meraup untung dari kegiatan tambang yang melebihi ketentuan tetapi dikatakan rugi. Sementara dampak yang begitu besar diderita masyarakat dianggap tidak rugi. *