Anak Tersangka Kasus Korupsi Laporkan Penyidik Polda NTT Atas Dugaan Pemerasan

Seorang Mahasiswa, Rivaldi Sentosa Baharudin (21) mendatangi SPKT Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur ( Polda NTT)

Penulis: Ryan Nong | Editor: Kanis Jehola
POS-KUPANG.COM/RYAN NONG
Kuasa Hukum tersangka Baharudin Tony, Joao Meco SH bersama pelapor Rivaldi Sentosa Baharudin (21) saat memberi keterangan pers kepada wartawan di Polda NTT, Kamis (13/8/2020). 

POS-KUPANG.COM | KUPANG -- Seorang Mahasiswa, Rivaldi Sentosa Baharudin (21) mendatangi SPKT Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur ( Polda NTT) pada Kamis (13/8/2020) sore.

Rivaldi datang bersama Joao Meco SH, selalu kuasa hukumnya dan salah seorang rekan, untuk melaporkan anggota Polisi di Polda NTT atas dugaan pemerasan.

Usai menyelesaikan laporan dan menerima Surat Tanda Terima Laporan Nomor B/328/VIII/RES.1.19/2020/SPKT tanggal 13 Agustus 2020, Rivaldi dan Joao Meco menemui wartawan yang menunggu di halaman Ruang SPKT Polda NTT.

Laporan DPD Partai Golkar Sumba Timur - Polisi Belum Periksa Gidion Mbilijora

Kepada wartawan, Joao menunjukkan bukti surat STTL yang telah ditandatangani oleh Rivaldi, Hanum SPKT Brigpol Petrick Marthin Billy dan Kepala SPKT Polda NTT AKP Muhammad Fachrudin.

Joao yang juga merupakan kuasa hukum dari ayah Rivaldi, Baharudin Tonny, satu dari sembilan tersangka dalam kasus korupsi pengadaan bibit bawang pada Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Malaka tahun anggaran 2018 mengatakan, pihaknya melaporkan dugaan pemerasan terhadap kliennya.

Cagar Alam Wae Wuul Labuan Bajo Terbakar

Dalam proses penyelidikan kasus tersebut, kata Joao, oknum penyidik Ditreskrimsus Polda NTT melakukan pemerasan terhadap kliennya. Pemerasan tersebut, sesuai STTL terjadi di Kupang pada 15 November 2019 silam.

"Laporan ini adalah laporan pemerasan penyidik Dirkrimsus Polda NTT terhadap klien kami dalam kasus proyek pengadaan bawang merah Kabupaten Malaka tahun anggaran 2018," kata Joao.

Joao menjelaskan, hal tersebut terjadi pada saat penyelidikan, dimana kasus korupsi itu belum dinaikan ke tahap penyidikan dan penetapan tersangka. Oleh karena itu, pihaknya melihat bahwa hal tersebut sebagai satu bentuk pemerasan.

"Karena harusnya kalau mereka bermaksud untuk membantu, itu kan kemudian klien saya tidak dinaikan statusnya menjadi tersangka. Tetapi mereka menggunakan kesempatan, kewenangan yang mereka miliki sebagai anggota penyidik Reskrimsus Polda NTT untuk meminta sejumlah uang sehingga kita klasifikasi ini sebagai pemerasan," tegas Joao.

Ia menjelaskan, pihaknya melaporkan Bripka DA usai mendapat informasi bahwa DA telah dikenakan demosi usai sidang kode etik di internal Polda NTT.

"Sebagaimana sesuai dengan sidang disiplin dia telah dikenakan demosi sehingga menurut saya demosi itu melalui proses. Ini berarti memang ada kesalahan. Oleh karena saya memperoleh informasi bahwa yang bersangkutan telah demosi maka saya ingin tingkatkan (laporan) tindak pidananya," ujar Joao.

Joao menyebut Bripka DA melakukan pemerasan kepada kliennya sekitar Rp 20an juta.

"Kita memiliki bukti transfer, yang kita miliki Rp 20 juta, yaitu sekali transfer Rp 5 juta sama Rp 15 juta. Selain itu ada bukti kes, ada saksinya, jadi total 20an juta," kata Joao.

Ia berharap dengan laporan tersebut, pengungkapan kasus akan berkembang ke penyidik lainnya. Pasalnya, kata Joao, dalam sidang disiplin hanya satu anggota penyidik yang diputuskan demosi.

Ia menyebut, terkait kasus korupsi yang menjerat kliennya, Baharudin Tonny, pada 15 Agustus 2020 nanti akan bebas demi hukum karena selesai masa penahanan.

Sementara itu, hingga Kamis (13/8) malam, Bripka DA mengaku belum mengetahui perihal laporan polisi terhadapnya itu. Namun demikian, penyidik yang getol membongkar kasus korupsi itu mengaku siap menghadapi laporan tersebut.

"Belum tahu, mungkin besok akan koordinasi supaya didampingi," ujar Bripka DA melalui sambungan telepon.

Sekitar dua bulan sebelumnya, pada 17 Juni 2020, Joao Meko membuat konferensi pers di On the Rock Hotel Kupang.

Pada saat itu, di hadapan wartawan, kuasa hukum tersangka Baharudin Tonny itu buka suara dan menuding pihak penyidik Ditreskrimsus Polda NTT telah melakukan kriminalisasi dalam kasus yang disebut merugikan negara hingga Rp 4,9 miliar.

Kriminalisasi tersebut dijelaskannya, terkait dengan kerugian negara yang terkesan "dipaksakan" oleh penyidik subdit Tipikor Ditreskrimsus Polda NTT dalam kasus tersebut. Hal tersebut, katanya, terbaca dari kerugian negara yang disebutnya tidak nyata dan penempatan BPKP NTT hanya sebagai pihak yang menjustifikasi temuan sendiri oleh penyidik.

"Setelah mempelajari berkas perkara maka patut diduga bahwa penyidik Direktorat Reskrimsus Polda NTT telah melakukan penyelidikan terlebih dahulu baru mengajukan permohonan kepada BPKP untuk dilakukan audit investigasi. Sehingga audit investigasi yang dilakukan BPKP adalah sebagai sarana untuk menjustifikasi temuan sendiri oleh penyidik melalui penyelidikan sebelumnya sehingga kerugian keuangan negara dalam perkara ini sebesar 4,9 miliar adalah angka yang tidak riil," ujar Joao.

Selain itu, Joao juga menyebut kliennya diperas oleh oknum penyidik Polda NTT. Tidak tanggung tanggung, kliennya diperas hingga lebih dari Rp 700 juta oleh para penegak hukum dalam kasus tersebut.

Ia mengatakan kliennya diperas oleh oknum penyidik Polda NTT dalam kurun waktu sebelum penetapan tersangka hingga setelah penetapan tersangka. Penetapan tersangka sendiri telah dilakukan pada 6 Maret 2020 dan dilanjutkan dengan rilis media pada 12 Maret 2020.

"Saya pengacara yang konsisten dengan kode etik. Saya mau katakan ada uang yang ditransfer. Faktanya ada juga uang yang mereka minta, lebih dari Rp 700 juta dari klien saya, kalau tersangka yang lain juga ada," ujar Joao saat itu.

Ia bahkan menyebut ada lima oknum penyidik dalam kasus tersebut yang terlibat dalam upaya pemerasan terhadap kliennya itu.

"Pertama ada transfer ke nomor rekening. Kedua penyerahan ada saksinya, saksi dua. Transfernya dua kali, penyerahan 2 kali, orang dan momen berbeda," ungkapnya.

Pihak penyidik Direktorat Reskrimsus Polda NTT telah melimpahkan berkas perkara Kasus Korupsi Proyek Pengadaan Bibit Bawang merah Kabupaten Malaka tahun 2018 kepada pihak penuntut Kejaksaan Tinggi NTT pada April 2020 silam. Namun hingga Agustus, lima berkas perkara untuk sembilan tersangka itu "bolak balik" Polda - Kejati.

Berkas perkara yang dilimpahkan Ke JPU terdiri dari berkas perkara dengan tersangka Yoseph Klau Berek, A.Pi yang bertindak selaku PPK, berkas perkara tersangka Agustinus Klau Atok bersama Karolus Antonius Kerek yang merupakan Pokja ULP serta berkas perkara tersangka Martinus Bere, SE yang merupakan Kabag ULP.

Juga dia berkas perkara lainnya yakni berkas perkara untuk tersangka Baharudin Tony, dkk serta berkas perkara tersangka Ir. Yustinus Nahak, M.Si.

Dalam kasus tersebut, Direktorat Kriminal khusus Polda NTT telah menetapkan dan menahan sembilan tersangka dan melakukan pemeriksaan hingga 46 orang saksi.

Selain menahan para tersangka yang terdiri dari para pejabat Pemerintah Kabupaten Malaka dan pihak swasta, pihak kepolisian juga telah menyita dan mengamankan satu unit mobil Honda HRV warna hitam dan uang tunai senilai Rp 665.696.000.

Selain itu, juga telah diamankan dua box dokumen perencanaan, proses pengadaan, dokumen pelaksanaan kontrak serta dokumen pembayaran terkait Paket Pekerjaan Pengadaan Benih Bawang Merah pada Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Malaka tahun 2018.

Para tersangka terdiri dari, Ir Yustinus Nahak M.Si yang merupakan Kepala Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura dan Perkebunan Kabupaten Malaka selaku pengguna anggaran, Egidius Prima Mapa Moda dan Severinus Devrikandus Siribein dari pihak swasta selaku makelar yang ditetapkan dan ditahan pada pada 6 Maret 2020.

Berikutnya, Yoseph Klau Berek A.Pi yang merupakan Kepala Bidang Hortikultura pada Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Malaka selaku pejabat pembuat komitmen, Agustinus Klau Atok selaku ketua Pokja ULP, Karolus Antonius Berek selaku Sekretaris Pokja ULP dan Martinus Bere, SE selaku Kabag ULP Kabupaten Malaka tahun 2018. Mereka ditetapkan dan ditahan pada 10 Maret 2020.

Selanjutnya, pada 11 Maret 2020, Direktur Utama CV. Timindo, Simeon Benu juga ditetapkan tersangka dan ditahan. Dan terakhir, menahan tersangka Baharudin Tony dilakukan pada Sabtu (18/4/2020).

Sesuai hasil pemeriksaan terhadap saksi, dokumen serta gelar perkara terhadap kasus tersebut, pera tersangka disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1), pasal 3 dan atau pasal 11 UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1e KUH Pidana.

Dalam kasus yang merugikan keuangan negara senilai Rp 4.915.925.000 itu, pihak kepolisian berhasil menyelamatkan keuangan negara senilai Rp 1.065.696.000. Total nilai tersebut terdiri dari uang tunai senilai Rp 665.696.000 serta satu unit mobil Honda HRV warna hitam senilai Rp 400.000.000. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ryan Nong)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved