DR Simon Nahak, SH, MH: Anak Petani Tembakau yang Sukses

TAK banyak orang yang tahu suka dan duka sebuah perjuangan. Terkadang, orang hanya melihat tangga sukses yang diraih

Editor: Kanis Jehola
ISTIMEWA
DR Simon Nahak, SH, MH 

POS-KUPANG.COM - TAK banyak orang yang tahu suka dan duka sebuah perjuangan. Terkadang, orang hanya melihat tangga sukses yang diraih ketimbang melihat masa lalu yang sungguh berat dijalani. Masa lalu itu awal sebuah langkah. Tangga pertama yang menjadi acuan atau titian hidup.

Meski mengalami berbagai "warna," dalam sebuah keyakinan utuh, masalah-masalah yang dihadapi itu justru menjadi sarana latihan jiwa dan olah kebatinan seseorang. Ketika mengalami persoalan lagi, maka pengalaman sebelumnya -meski berbeda -dapat menjadi kompas untuk keluar darinya.

Seperti halnya pengalaman Dr Simon Nahak, SH, MH. Lelaki yang sungguh rendah hati dan selalu iklas membantu itu boleh dibilang telah go international. Lama menimba ilmu dan berkarier sebagai dosen dan pengacara kawakan di Kota Denpasar, Provinsi Bali. Kini, dengan langkah tegap, ia siap untuk mengikuti kancah suksesi kepemimpinan di Kabupaten Malaka, Provinsi NTT, tanggal 9 Desember 2020.

Ucie Sucita: Terjun ke Pasar

Simon sudah pasti melangkah untuk mengabdi di Rai (tanah) Malaka. Ia telah mengantongi surat keputusan (SK) dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Bersama Louce Lucky Taolin atau yang dikenal dengan nama Kim Taolin, keduanya bernaung di bawah sandi politik SAKTI. SAKTI merupakan akronim nama keduanya.

Simon terlahir dari pasangan ayah Marselinus Taek dan ibu Bernadeta Hoar. Lahir di Desa Weulun, Kabupaten Malaka, 13 Juni 1964 sebagai sulung dari sembilan bersaudara.

Kedua orangtuanya petani tulen. Sang ayah pedagang tembakau sedangkan ibu perajin tenun ikat. Sebagai anak petani, ia sungguh merasakan denyut nadi perjuangan orang-orang di kampungnya teristimewa kedua orangtua.

New Normal Warga Lebih Memilih Wisata Alam Air Panas Mengeruda di Soa

Simon menyematkan predikat purna setia kepada orangtuanya dalam semua aspek. Mereka tangguh, militan dan sabar sesabar-sabarnya.

Memori Simon masih merekan dengan kuat masa-masa kecil ketika menyaksikan kegigihan orangtua membesarkan ia dan adik-adik di kampung. Setiap pekan, sang ayah Marselinus mendatangi pasar-pasar baik di wilayah Malaka maupun Belu (dulu, dua kabupaten ini masih bergabung dengan nama Kabupaten Belu) maupun di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Timor Tengah Selatan (TTS) untuk menjual tembakau, tenunan, ayam dan komoditi pertanian lainnya. Kedua orangtuanya kompak dalam membangun rumah tangga.

"Ibu mengurus saya dan adik-adik juga menenun. Ayah papalele dari satu pasar ke pasar yang lain," kisah Simon suatu ketika.

Karena itu motivasinya selalu ia tumbuhkan dalam belajar. Ia memompa semangat serta mimpi-mimpi itu untuk menjadi yang terbaik. Hasilnya sudah dipetik, kini. Di keluarga, Simon dipanggal sebagai Ulu yang artinya sulung.

Sebutan Ulu itu mengemban sebuah tanggung jawab yang tak kecil. Karena itu ia tunjukkan sebagai sulung terbaik, yakni dengan belajar secara tekun. Karena itu sejak masih kecil ia sudah dikenal sebagai anak yang pandai, pemberani, membela teman-teman serta selalu berjiwa sosial atau suka membantu.

Di rumah, ia membantu menumbuk padi atau menumbuk jagung serta pekerjaan domestik lainnya. Ia bilang, mama atau ibu harus dibantu karena ia seorang diri. Begitu juga sang ayah. Ia tak tega melihat keduanya bekerja sendirian. Karena itu, ketika Simon telah sukses dan sebagai bentuk membahagiakan orangtua, ia kerap meminta mereka untuk berlibur ke Bali.

Di sana, ia menyenangi kedua orang tua atau saudara-saudaranya. "Tak seberapa menyenangi orangtua yang telah melahirkan, membesarkan dan menyekolahkan saya," kata lelaki ini dalam percakapan dengan Pos Kupang, medio Juli 2020.

Mendaftar ke Kefamenanu

Selepas sekolah dasar (SD) di Weoe tahun 1977, Simon belum melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Ia masih membantu orangtuanya di ladang. Ia juga memelihara ternak dan membantu ibu di rumah. Pun mengurus adik-adiknya. Harapan untuk melanjutkan pendidikan nyaris hilang.

Keinginan yang kuat untuk sekolah itu akhirnya mendapat restu orangtua. Ia akhirnya mendaftar di SMP Santo Fransiskus Xaverius di Kota Kefamenanu, Ibukota Kabupaten TTU tahun 1981. Pada tahun 1984, Simon menyelesaikan pendidikan SMP.

Usai tamat SMP, ia mendaftar ke SMA Giovanni Kupang, sebuah lembaga pendidikan yang terbilang bergengsi di bawah asuhan para imam Katolik. Letak sekolah itu jauh dari kampungnya, sekitar 300 lebih kilometer. Namun, niat itu batal. Ibu dan ayah menginginkan ia kembali untuk menyelesaikan di SMU Sinar Pancasila Betun, Malaka.

Tak banyak protes. Simon mengikuti saja karena atas berbagai pertimbangan. Ia memahami kesulitan ekonomi kedua orangtua. Apalagi adik-adiknya juga membutuhkan biaya untuk pendidikannya. Simon akhirnya tamat pada SMU Sinar Pancasila, Betun tahun 1987.

Dari Betun ia ingin mencari pengalaman yang lebih jauh dan menantang. Keluar dari Pulau Timor. Ia menuju ke Pulau Dewata dan mendaftar sebagai mahasiswa di Universitas Warmadewa, Denpasar. Saat itu ia dibiayai oleh sang Guru Anis Mau dan Drs. Jhon Letto. Anak petani ini merasakan bagai mimpi ketika tiba di Denpasar dan mulai mengikuti kuliah.

Karena kecerdasannya, Simon diangkat menjadi asisten dosen pada semester empat di Kampus Universitas Warmadewa, sambil menyelesaikan pendidikan strata satu. Simon lulus tahun 1992 dengan menyandang predikat cumlaude.

Simon terus mengabdi di almamater tercinta. Pria bersahaja ini mencoba terjun ke dunia advokat, hingga namanya dikenal luas oleh masyarakat Bali. Di dunia kepengacaraan ini ia banyak belajar berinteraksi dan membangun komunikasi timbal balik dengan berbagai pihak.

Perkara yang ditangani tak hanya menimpa Warga Negara Indonesia saja, namun ia mengadvokasi pula sejumlah Warna Negara Asing. Jadi, betapa pergaulan lelaki ini sudah melintas antarnegara.

Berbekal jerih payah sebagai dosen dan advokat, Simon melanjutkan pendidikan pascasarjana pada Program Studi Magister Hukum Universitas Udayana (Unud) Bali, tahun 2001 hingga 2004. Seolah tak puas dengan capaian akademik yang ada, Simon melaju lagi ke Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur untuk menempuh studi S3 kajian Ilmu Hukum Pidana pada tahun 2010. Ia tamat (2014) dengan predikat cumlaude.

Bintangnya terus meroket. Ia tercatat sebagai pengacara yang populer di Pulau Dewata itu. Ia juga pernah duduk di DPP Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Bali, Nusa Tenggara (2010-2015) dan Ketua AAI Kota Denpasar (2014-2019). Simon juga pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Pakar Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) Kota Denpasar (2015-2018).

Simon tak meninggalkan almamaternya, Universitas Warmadewa yang telah membesarkannya. Ia tetap sebagai dosen di kampus ini hingga akhirnya diangkat menjadi Ketua Program Studi Magister Hukum (2015) hingga sekarang. Meski sudah menyandang gelar doktor dan masuk daftar advokat kawakan di Bali serta strata sosial yang tinggi, Simon selalu low profile. Kerendahan hati merupakan ciri khas yang melekat pada calon profesor ini. Ia memang anak petani tembakau dan perajin tenun yang sukses dalam meniti karier. (pol)

BIOFILE

Nama: Simon Nahak
Lahir : Desa Weulun, Kabupaten Malaka, 13 Juni 1964

Pendidikan :
- SD Weoe (1977)
- SMP Santo Fransiskus Xaverius Kefamenanu (1984)
- SMA Giovanni Kupang dan SMA Sinar Pancasila Betun (1987)
- Fakultas Hukum Warmadewa, Denpasar (1992)
- Pascasarjana Udayana, Denpasar (2004)
- Doktor Hukum Pidana Unbraw, Malang (2014)

Jabatan
- Ketua Program Studi Magister Hukum Warmadewa (2015-kini)
- DPP AAI Bali, Nusa Tenggara (2010-2015)
- Ketua AAI Kota Denpasar (2014-20`9)
- Ketua Dewan Pakar Peradi Kota Denpasar (2015-2018)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved