Ruang Gerak DPRD Lembata Terbatas Awasi Pemerintah

Semua pembicara yang hadir dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh #SaveLembata

Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Kanis Jehola
ISTIMEWA
Semua pembicara yang hadir dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh #SaveLembata, Senin (29/6/2020) malam kemarin, sepakat bahwa regulasi memberikan sejumlah batasan terhadap ruang gerak legislatif dalam menjalankan tiga tugas dan fungsi mereka yakni legislasi, budgeting dan pengawasan. 

POS-KUPANG.COM | LEWOLEBA - Semua pembicara yang hadir dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh #SaveLembata, Senin (29/6/2020) malam kemarin, sepakat bahwa regulasi memberikan sejumlah batasan terhadap ruang gerak legislatif dalam menjalankan tiga tugas dan fungsi mereka yakni legislasi, budgeting dan pengawasan.

Namun Peneliti Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia ( FORMAPPI) menegaskan, sebagai wakil rakyat, seorang anggota DPRD harus berani bersikap dan bertindak melampaui regulasi itu jika yang diperjuangkan adalah kepentingan rakyat.

Satu Unit Rumah di TTU Dilahap Si Jago Merah

Diskusi yang dipandu oleh wartawan senior, Ferdinandus DA Lamak itu menghadirkan pembicara antara Alexander Take Ofong selaku Anggota DPRD Provinsi NTT dari Partai Nasdem, Petrus Bala Wukak Anggota DPRD Kabupaten Lembata dari Partai Golkar, Anton Leumara Anggota DPRD Kabupaten Lembata dari Partai Demokrat dan Lucius Karus, peneliti senior dari Formappi.

Dua orang pembicara lain yakni Sekda Lembata Paskalis Tapobali mewakili Bupati Lembata dan Mantan Sekda Lembata Piet Toda Atawolo yang sudah mengonfirmasi hadir, mendadak berhalangan. Kendati demikian, dikusi berjalan hangat dan bernas.

Pemblokiran BST Tahap II Membuat Masyarakat Resah

Pieter Bala Wukak, Anggota DPRD Lembata dari Partai Golkar sejak awal sudah menegaskan kalau Kabupaten Lembata saat ini masih dalam kondisi yang normal. Kemitraan antara legislatif dan eksekutif pun berjalan dengan normal. Lebih jauh, menurut dia, secara regulasi pola kemitraan yang terjadi di Kabupaten Lembata antara pemerintah dan DPRD sudah seturut amanat regulasi perundang-undangan.

"Karena hari ini kalau bicara kewenangan, dari tanggungjawab anggaran dan sebagainya itu ada di bupati. Dia menjalankan itu sesuai dengan visi dan misinya. Jadi kemudian kita juga tidak lincah sebagai politisi, kita bisa teriak-teriak sendirian di gedung DPRD sementara pemerintahan jalan terus," ungkapnya.

Banyak hal dari sisi regulasi yang tidak memosisikan secara tegas DPRD itu sebagai apa, jantan ataukah betina. Demikian ia menganalogikan itu untuk merespons keinginan-keinginan dari sebagian pihak agar DPRD dapat mengambil langkah lebih jauh.

"Karena bicara dari fungsi pengawasan iya, anggaran iya, fungsi legislasi juga berjalan semua," tandasnya.

Sementara itu Alex Ofong mengatakan, ada siklus yang terjadi dalam aturan perundang-undangan yang terus berubah-ubah dalam menempatkan posisi eksekutif dan legisatif.

"Menurut saya, kita harus kembali kepada pribadi anggota DPRD, fraksi dan secara kelembagaan sehingga posisi tawar DPRD menjadi kuat diperhadapkan dengan posisi tawar pemerintah," kata Alex berpendapat.

Untuk di Lembata, menurut dia, jika ada kesan superioritas eksekutif terhadap legislatif mungkin ada benarnya juga. "Karena ada banyak hal yang kita gregetan juga lihat, kenapa ini tidak diawasi, kenapa ini dibiarkan saja?"

Menurut dia, anggota DPRD juga harus memahami ke arah mana pemerintahan ini berjalan. Sebagaimana yang dia lakukan di DPRD Provinsi NTT untuk mengawal program pemerintah provinsi yang notabene pihaknya berada sebagai partai yang berkuasa.

Sementara itu Anton Leumara, Anggota DPRD Kabupaten Lembata dari Partai Demokrat mengemukakan, ruang gerak DPRD menjadi sangat sempit dalam menjalankan tiga fungsi utama mereka. Fungsi pengawasan DPRD pun hampir tidak bisa dilakukan sebagaimana mestinya, karena pihaknya hampir tidak mengetahui isi perut dari APBD itu sendiri.

"Dalam urusan pengawasan kita juga kebingungan karena kita tidak kantongi dokumen apapun. Misalnya DPA, harusnya setelah bahasa RKA di komisi, lalu dia ke Banggar diputuskan di paripurna, lalu dia kembali ke eksekutif dan eksekutif menghasilkan DPA. DPA itulah yang menjadi pegangang DPRD untuk melakukan pengawasan tetapi dokumen ini tidak sulit untuk bisa didapatkan oleh DPRD. Lalu bagaimana kita bisa melakukan pengawasan terhadap penggunaan anggaran oleh pemerintah?," ungkap Anton sembari menambahkan kalau tidak hanya DPA, dokumen kontrak pun tidak dipegang oleh anggota DPRD.

Ia juga mengatakan, berbagai rekomendasi yang dihasilkan oleh lembaga legislatif selama ini, nyaris tidak pernah ditindaklanjuti oleh eksekutif.

"Ini bagian dari curhat saya," pungkas Anton Leumara. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ricko Wawo)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved