Bupati Nagekeo Ajak Generasi Muda Lestarikan Budaya dan Adat Istiadat
Kedatangan Bupati Don di Kampung Adat Boawae untuk menghadiri ritual adat perbaikan dan menggantikan tiang rumah adat.
Penulis: Gordi Donofan | Editor: Rosalina Woso
Bupati Nagekeo Ajak Generasi Muda Lestarikan Budaya dan Adat Istiadat
POS-KUPANG.COM | MBAY --Bupati Nagekeo Johanes Don Bosco Do mendatangi Kampung Adat Boawae di Kecamatan Boawae Kabupaten Nagekeo, Sabtu (20/6/2020).
Kedatangan Bupati Don di Kampung Adat Boawae untuk menghadiri ritual adat perbaikan dan menggantikan tiang rumah adat.
Ritual adat perbaikan dan menggantikan tiang rumah adat itu terdiri dari lima suku yang berada dikecamatan Boawae yaitu Suku Deu, Suku Mudi, Suku Kisa ola, Suku Kobajawa, dan suku Tegu.
Dalam bahasa daerah setempat, pergantian tiang rumah adat tersebut memiliki istilah yaitu "Pusi ta muzi, Kedhu ta Mewu".
Bupati Don pada kesempatan tersebut menyampaikan tentang penting kekuatan cerita atau dalam bahasa daerah disebut "Nu Nange" dalam mewariskan bagi kalangan penerus atau orang muda ke depan.
Bupati Don mengatakan adat dan budaya harus terus dilestarikan dan sebuah kaum bisa bertahan lama asalkan bisa mempertahakan tiga hal penting.
Tiga hal penting itu adalah pertama adalah cerita.
"Dimana kita hidup dalam adat istiadat kita sedikit sekali yang menulis tapi lebih banyak budaya lisan, oleh karena itu kekuatan cerita harus dibuat dan diulang-ulang sehingga generasi baru bisa mengatahui apa arti dari sebuah ritual", ujarnya.
Bupati Don menyebutkan, yang kedua, adalah unsur ritual atau disebut "Buku Gua" dimana dalam sebuah ritual tentu melibatkan banya orang sehingga khususnya generasi muda bisa melihat dan mendengar secarah langsung tata cara sebuah ritual.
Ia menyampaikan generasi muda harus mengikuti dengan baik tata cara dan ritual adat sehingga bisa mengetahui dan memahami ritual itu.
"Sebuah ritual harus terus dibuat agar masyarakat bisa menyaksikan secara langsung, karena saat ritual banyak orang yang bisa menyaksikan", ujarnya.
Ia menyebutkan ketiga, atau terahkir adalah pengorbanan atau dalam bahasa daerah disebut "Pa Laka,Wela Kesa".
Ia mengatakan jika masyarakat sudah patuh pada cerita dan ritual berarti ada semangat pengorbanan sehingga sebuah budaya dapat dijaga dan terus diwariskan.
Ia mengatakan kekuatan cerita menjadi penting dan harus diwariskan ke generasi muda.