Fadli Zon Buka Suara Soal Wacana Pemakzulan Presiden: Yang Takut Berarti Paranoid dan Anti Demokrasi

"Knp harus takut membicarakan pemakzulan, itu hal lumrah dlm demokrasi. Yg ketakutan pasti yg tak percaya diri, paranoid n anti-demokrasi" kata Fadli.

Editor: Frans Krowin
warta kota-tribunnews.com
Politisi Partai Gerindra, Fadli Zon yang mengritisi keputusan pemerintah tentang pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang tak ditaati rakyat. 

Fadli Zon Buka Suara Soal Wacana Pemakzulan Presiden: Yang Takut Berarti Paranoid dan Anti Demokrasi

POS-KUPANG.COM - Peristiwa teror terhadap penyelenggaran diskusi ilmiah yang digelar Constitusional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), terus menyita perhatian publik.

Kebebasan berpendapat di tengah pandemi Covid-19, hingga pemakzulan presiden pun menjadi isu yang bergulir pasca kejadian itu.

Soal wacana tentang pemakzulan presiden, turut dikomentari beberapa kalangan, termasuk politisi di Senayan. Anggota DPR RI dari Partai Gerindra, Fadli Zon buka suara.

Update Corona Sumba Timur : OTG di Kota Waingapu Sebanyak 42 orang.

Memperoleh Kesempatan Pertama dari Mario Gomez di Persib Dua Tahun Lalu, Kenangan Gian Zola, Info

Update Corona Sumba Timur - OTG Terbanyak di Kota Waingapu

Menurut Fadli, harusnya di negara demokrasi tidak ada yang perlu ditakuti untuk berbicara pemakzulan.

Ia mengatakan, yang ketakutan adalah orang yang tidak percaya diri, bahkan anti demokrasi.

"Knp harus takut membicarakan pemakzulan, itu hal lumrah saja dlm demokrasi. Yg ketakutan pasti yg tak percaya diri, paranoid n anti-demokrasi," tulis Fadli di Twitternya.

Pemakzulan Sangat Mungkin Dilakukan

Sementara itu, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia, MUI Pusat, Din Syamsuddin menjelaskan makna dari sebuah kebebasan berpendapat.

Mantan Ketum PP Muhammadiyah ini mengupas dari perspektif Islam dan pemikiran politik Islam.

Din mengatakan, ihwal kebebasan berpendapat, para ulama memahaminya sebagai salah satu dari tiga dimensi penting dari kebebasan.

Ia menegaskan kebebasan merupakan hak manusiawi dan hak makhluk. Bahkan Tuhan mempersilahkan manusia untuk beriman atau tidak.

Din Syamsudin, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
Din Syamsudin, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah (Tribunnews)

"Bahkan Sang Pencipta menyilahkan manusia mau beriman atau tidak beriman, ini pangkal dari sebuah kebebasan," kata Din dalam diskusi bertajuk `Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19', yang digelar secara virtual, Senin, 1 Juni 2020..

Oleh karena itu, menurut Din, kebebasan pada manusia ini dipandang sebagai sesuatu yang melekat pada manusia itu sendiri. Ia menyebut manusia punya kebebasan berkehendak dan berbuat.

"Oleh karena itulah, ada yang memandang, seperti yang saya kutip dari Mohammad Abdul melihat atau menilai kebebasan itu sebagai sesuatu yang sakral dan transendental. Sebagai sesuatu yang suci dan melekat dengan fitrah kemanusiaan, manusia bebas walupun terbatas," kata Din.

Lebih lanjut Din menjelaskan, Abdul menilai kebebasan itu hanya dapat diaktualisasikan oleh manusia kalau manusia sudah melewati dua fase kehidupannya.

Fase pertama yakni eksistensi, alamiah ketika manusia masih berada dalam masa jahiliah atau kebodohan. Fase kedua, yakni fase sosial atau komunal, saat manusia sudah berbudaya dan berperadaban. Din menyebut kebebasaan adalah sesuatu yang tinggi.

"Hanyalah pada manusia beradap ada kebebasan dan ada pemberian kebebasan. Tentu logika sebaliknya adalah tidak beradab kalau ada orang atau rezim yang ingin menghalang-halangi apalagi meniadakan kebebasan itu," kata Din.

Sementara itu, Ketua Umum Mahutama, Masyarakat Tata Negara Muhammadiyah, Aidul Faitriciada Azhari, mengutarakan pandangannya soal kebebasan berpendapat di tengah pandemi Covid-19.

Aidul mengecam tindakan teror oleh oknum tertentu terhadap penyelenggaran diskusi ilmiah yang digelar oleh CLS Fakultas Hukum UGM.

Terlebih pelaku teror sampai mencatut nama organisasi Muhammadiyah Klaten dalam ancamannya.

Aidul menyebut, kejadian itu menunjukan situasi yang membahayakan bagi negara Indonesia. Sebab masalah timbul hanya karena sebuah pendapat.

"Hanya karena pendapat kemudian berujung pada ancaman pembunuhan, ini satu hal yang sangat membahayakan masa depan kita bersama," kata Aidul dalam diskusi bertajuk "Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19", yang digelar secara virtual, Senin, 1 Juni 2020.

SMAN 5 Kupang Luncurkan Lagu Mars, Pada Hari Lahir Pancasila

Genap Setahun Ditinggal Ani Yudhoyono, SBY Tulis Surat Menyayat Hati untuk Sang Isteri

Rasanya Manis dan Banyak Manfaatnya, Begini Cara Membedakan Madu Asli & Palsu Biar Tidak Dibohongi

Sejatinya kebebasan berpendapat bagi setiap warga negara sebenarnya sudah diatur UUD 1945. Seperti di amandemen UUD 1945 Pasal 28 E Ayat 3 yang menyebutkan, setiap orang berhak atas kebebasan untuk mengeluarkan pendapat.

Selanjutnya Pasal 28 I Ayat 1 yang menyebut, bahwa hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Itu tegas dia, juga meliputi dalam konteks saat pandemi saat ini.

Menurut Aidul, dalam kehidupan di tengah pandemi Covid-19, banyak hak dibatasi. Hak untuk bepergian serta hak untuk berkumpul, misalnya.

Meski yang lain telah dibatasi, lanjut dia, bukan berarti hak untuk menyatakan pendapat pun harus ikut dibatasi.

"Dalam keadaan apapun, hak untuk menyatakan pendapat tidak bisa dikurangi, pikiran tidak bisa dibatasi, pikiran juga tidak bisa dipenjara dan tidak ada pengadilan terhadap pemikiran," tandasnya.

"Semua orang, katanya, boleh berpendapat, pikiran hanya bisa dilawan dengan pikiran, bukan dengan jeruji besi bukan dengan intimidasi bukan dengan represif."

Dalam konteks ini sebenarnya kita harus melawan setiap hal atau setiap upaya yang berusaha membatasi pemikiran, membatasi pendapat," ucapnya. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved