Menteri Luhut Akhirnya Buka Suara, Buka-bukaan Atas Tudingan Said Didu Teman Rocky Gerung

Menteri Luhut Binsar Pandjaitan Akhirnya Buka Suara, Buka-bukaan Atas Tudingan Said Didu Teman Rocky Gerung

Editor: Bebet I Hidayat
Kolase via Tribun Medan
Menteri Luhut Akhirnya Buka Suara, Buka-bukaan Atas Tudingan Said Didu Teman Rocky Gerung 

Sebelumnya ia hanya meminta juru bicaranya untuk menyampaikan jawabannya kepada publik soal polemik penghinaan yang disampaikan oleh Said Didu terhadapnya.

Namun kini melalui tulisan di Akun Facebooknya, dia menjelaskan sikap tegas yang akan dia ambil, yaitu membawa kasus tersebut ke jalur hukum.

Kolase foto Luhut Binsar Pandjaitan dan Muhammad Said Didu
Kolase foto Luhut Binsar Pandjaitan dan Muhammad Said Didu (Tribun Medan)

Aurel Hermansyah Ajukan Permintaan ke Anang-Krisdayanti Jika Ia Nikah, Sosok Raul Lemos Disinggung

Berikut Tulisan Lengkap Luhut Binsar Pandjaitan

Saya menghabiskan lebih dari 30 tahun masa hidup saya sebagai seorang prajurit, tanpa pernah merasa ada keraguan ketika terjun ke daerah operasi. Sebagai seorang prajurit Kopassus atau yang dulu disebut RPKAD pun saya terbiasa menghadapi banyak pertempuran jarak dekat, dengan situasi yang sangat mencekam.

Semua itu saya ingat waktu saya masih bujangan dan bahkan setelah saya menikah. Pada saat itu bahkan tidak pernah terlintas di pikiran saya bahwa seorang prajurit RPKAD itu bisa mati terkena peluru. Sampai suatu ketika saya terjun di Timor Timur bersama anak buah saya, keesokan harinya saya ketahui ternyata anak buah saya ada yang mati.

Tapi itu semua kami lakukan karena kecintaan dan janji kami pada Sumpah Prajurit dan Sapta Marga. Yang menjadi sebuah pedoman dan sumpah dari seorang perwira sewaktu kami jadi taruna di Lembah Tidar. Jadi saya tidak akan pernah mengingkari sumpah saya sebagai seorang prajurit.

Tapi saya baru disadarkan saat kehilangan prajurit saya di daerah operasi, pada tahun 1975. Ternyata manusia memang terdiri dari darah daging dan tulang, juga emosi.

Namun ketika saya pensiun sebagai tentara, begitu banyak perspektif hidup yang berubah. Terutama “utang” yang saya miliki kepada istri dan anak-anak. Selama puluhan tahun, ketika harus menjalani tugas operasi ke daerah lain, tak terhitung berapa kali saya harus meninggalkan mereka.

Ada satu momen yang saya ingat sampai saat ini, yaitu suatu waktu anak saya Uli yang waktu itu berumur 3 tahun menangis ketika melihat saya pulang ke rumah. Sayangnya dia bukan menangis karena lama menahan rindu ke ayahnya, tapi karena dia takut ada orang asing muncul di kamarnya. Dia tidak mengenali saya. Sebagai seorang ayah, hal itu sangat membuat saya terpukul.

Pada momen itu, saya berjanji pada diri saya sendiri, bahwa setiap berangkat menjalankan tugas negara, saya harus memastikan diri saya dan prajurit lainnya bisa pulang dengan selamat. Artinya, semua misi harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya, sehingga kami bisa pulang untuk menebus utang waktu kami dengan keluarga.

Selesai bertugas sebagai tentara dan diberikan amanah untuk mengabdi dengan menjadi pejabat publik, semangat pantang menyerah itu tidak pernah luntur. Saya selalu meyakini bahwa apa yang terbaik untuk masyarakat Indonesia maka harus diwujudkan, dengan berbagai macam risiko dan konsekuensinya. Sapta Marga mengajarkan saya untuk terus membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan.

Saya terbiasa untuk tidak mudah memasukkan semua kritik ke dalam hati karena saya senang mendapat masukan juga kritik yang membangun dari siapa saja. Saya selalu mempersilahkan siapapun yang ingin menyampaikan kritik untuk datang dan duduk bersama mencari solusi permasalahan bangsa. Bukan dengan melempar ucapan yang menimbulkan kegaduhan tanpa fokus pada inti permasalahan.

Belakangan, saya melihat dinamika yang terjadi sudah sangat melampaui batas ini. Saya tidak habis pikir, mengapa di tengah suasana pandemi seperti saat ini, ujaran kebencian dan fitnah terus dipelihara di tengah-tengah kita? Mengapa kita masih diliputi dengan sentimen sektarian di saat seluruh anak bangsa harusnya bersatu melawan musuh bersama yaitu virus corona, yang mengancam kesehatan serta keselamatan seluruh masyarakat Indonesia? Mengapa kita malah terus-terusan mencari perbedaan, tanpa sedikitpun berpikir persatuan?

Momen seperti ini membuat saya rindu kepada almarhum Gus Dur yang semangat positifnya selalu menginspirasi setiap langkah saya menjalani hidup sebagai pejabat negara. Dari Gus Dur pula saya belajar, bahwa perbedaan dan kritik pasti ada dan tidak bisa dihilangkan, karena perbedaan itu lahir bersama kita. Wejangan Gus Dur inilah yang membuat saya selalu berprinsip bahwa persaudaraan antar anak bangsa harus kita kedepankan.

Bangsa Indonesia saat ini sedang berada dalam situasi pandemi. Semua pihak sedang bergerak bersama mencari solusi untuk mempercepat penanganan Covid-19 untuk memastikan keselamatan dan kesehatan semua warga negara Indonesia.

Halaman
1234
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved