OPINI PASKAH: Menderita Bersama untuk Bangkit Lebih Kuat
Kita dipaksa menarik diri secara radikal. Mengurangi sedrastis mungkin waktu berada di luar rumah. Memotong kesibukan. Mengubah pola kerja.
Menderita Bersama untuk Bangkit Lebih Kuat
Oleh: Max Regus
(Imam Keuskupan Ruteng; Dekan FKIP Unika Santu Paulus Ruteng, Flores)
POS-KUPANG.COM - Nokia, yang pernah menjadi perusahaan raksasa handphone (HP) dunia, memiliki satu slogan. Connecting People (menghubungkan orang-orang). Konektivitas antar orang. Keterhubungan antar ruang hidup.
Kita tahu dengan pasti. Itu adalah penyokong utama globalisasi. Kotak-kotak hidup yang berjarak mesti terhubung. Dengan ringkas. Juga mesti dengan lekas. Akumulasi keberhasilan mesin globalisasi bergantung pada bekerjanya hukum ini.
Namun, sergapan Coronavirus mengatakan hal sebaliknya. Pada satu sisinya, hukum ini dianggap sebagai medium terbaik penyebaran Coronavirus. Secara fisik, kita diminta untuk membangun jarak. Tidak perlu terhubung satu sama lain lagi untuk jangka waktu yang tidak menentu.
Menderita Bersama
Kita sedang meniti hari-hari yang amat sulit. Segenap term yang membahasakan sesuatu yang negatif, justru dianggap memiliki makna positif. Terlebih menghidupkan. Isolasi diri, karantina mandiri, social-physical distancing, dan pembatasan sosial hadir begitu dominan.
Semuanya muncul sebagai mekanisme baru dalam usaha memutus rantai penyebaran Coronavirus. Kita dipaksa menarik diri secara radikal. Mengurangi sedrastis mungkin waktu berada di luar rumah. Memotong kesibukan. Mengubah pola kerja. Kita menderita. Pada titik tertentu.
Pergerakan sosial-ekonomi yang dibatasi, bagi sebagian dari antara kita, adalah pukulan mematikan. Terlalu banyak orang yang menggantungkan hidup dan asap dapur tetap mengepul dari arus lalu lintas manusia saban waktu. Semua itu tengah berhenti secara mendadak. Tidak ada uang. Tidak ada penghidupan. Siklus ekonomi bukan saja melambat, tetapi merongrong ketersediaan sembako. Orang-orang mulai menguras simpanan di buku tabungan mereka yang mungkin jumlahnya tidak seberapa.
Namun, sekali lagi, ada ajakan agar kita mau “menderita bersama”. Barangkali ini menjadi salah satu kristalisasi paling pedih dari usaha memerkaya solidaritas sosial saat ini. Di tengah amukan pandemi Coronavirus.
Namun, ajakan ini niscaya ditempatkan pada maknanya yang paling membius kita secara positif-konstruktif. Pengungkapan kesediaan memaknai ajakan ini nampak dalam beragam bentuk. Kita sedang melihat begitu banyak insiatif kesukarelawanan yang datang dari banyak ranah. Usaha gigih memperlambat dan menghentikan penyebaran Coronavirus.
Konsumerisme, yang sekian mewabah dalam ruang perilaku manusia, juga sudah sekian lama menjadi gaya hidup berkebudayaan. Coronavirus menghadirkan suatu situasi di kekinian dan sebagai, cepat atau lambat, proyeksi masa depan umat manusia, dalam apa yang disebut dengan ‘kelangkaan’ (scarcity).
Fenomena panic buying yang terjadi di beberapa tempat di awal-awal serangan Coronavirus sebetulnya mengungkapkan ketakutan laten yang berdiam di sudut-sudut kehidupan manusia modern yang dibanjiri begitu banyak kelimpahan yang teramat rapuh. Salah satu hal paling sulit dikerjakan adalah belajar untuk hidup ‘apa adanya’.
Bangkit Lebih Kuat
Tatapan mata Coronavirus terus mengintai kita. Jangkauan wilayah cengkeramannya semakin luas. Yang terinfeksi terus bertambah. Korban kian menumpuk. Sementara itu, kita belum tahu kapan dia akan berlalu dari lembaran kehidupan manusia.
Apa yang dapat kita lakukan adalah menjalankan protokol resmi yang dikeluarkan pemerintah. Juga menuruti langkah-langkah lembaga-lembaga sosial, agama, budaya yang berjalan bersama dalam ajakan-ajakan baik ini. Atau, sekedar menikmati cahaya Matahari pagi yang datang dengan gratis dan tanpa biaya.
Akhir cerita wabah Coronavirus ini memang masih menjadi tanda tanya. Namun, bagi kita, kehidupan harus bangkit kembali. Bangkit dengan lebih kuat. Menerobos kepengapan. Meretas jeruji ketidakpedulian. Menyediakan ruang belajar paling jujur tentang kehidupan dengan Coronavirus sebagai pelajaran utamanya. Sebab, ada bukti sahih mengapa wabah ini tidak merangsek lebih mengerikan lagi daripada kengerian yang sedang kita hadapi saat ini.Sejauh ini, usaha-usaha untuk “ada bersama” secara lebih bertanggung jawab ternyata cukup berhasil.
Belum lama berselang, Pemimpin Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan ini kepada dunia. Bahwa mungkin kita telah membayangkan peristiwa menyedihkan ini akan terjadi. Maka, sekarang adalah saat untuk bertindak. Ini bukan lagi satu ajang latihan. Selalu ada optimisme. Coronavirus ini dapat ditekan kembali. Tetapi, hal itu akan berhasil hanya dengan pendekatan kolektif dan komprehensif di tangan kita semua. Adalah hal yang sangat penting untuk membagikan sumber daya dan informasi di antara kita. Pengalaman pedih ini tidak hanya mengintai perjalanan satu bangsa.
Pada saat ini, ketika kita semua dipengaruhi oleh Coronavirus, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan jangkauan dampak fisik, biologis, psikologis, spiritual, dan ekonomis, kesadaran bahwa kita mesti bersama-sama adalah obat mujarab. Kita telah mendengar berulang kali, bahwa kita berada dalam pengalaman serangan wabah ini secara bersama. Karena itu, kita harus dan dapat berjalan melalui pengalaman ini secara bersama juga. Menderita bersama untuk bangkit lebih kuat.*